Politik

Jeda Pelantikan Pemilu 2024 Ciptakan Keunikan Pemerintahan

Yopi Makdori — Asumsi.co

featured image
ANTARA/Muhammad Zulfikar

Cendekiawan Muslim Prof Azyumardi Azra menyatakan jeda waktu
yang lama dari Pemilihan Presiden 14 Februari 2024, hingga pelantikan presiden
terpilih 20 Oktober 2024 akan menciptakan keunikan dalam sistem pemerintahan.

Menurut Azyurmardi, keanehan itu adalah Indonesia seakan memiliki ‘dua’ Presiden, yakni
Presiden yang masih menjabat, dan Presiden terpilih, hasil Pilpres.

Dalam situasi itu, kata Azyumardi saat berbicara dalam
Webbinar Moya Institute yang bertajuk “Pemisahan Pilpres dengan
Pileg”, presiden yang sedang menjabat tak ubahnya seperti Lame Duck atau
‘bebek lumpuh’.

“Yang dimaksud di sini sebagai ‘bebek lumpuh’, adalah
presiden yang sedang menjabat tak bisa lagi mengeluarkan kebijakan yang efektif
dan strategis, karena sudah ada presiden dan wakil presiden baru, meskipun
belum dilantik,” kata Azyumardi di Antara.

Apalagi, lanjut Azyumardi, apabila pascapemilu terjadi
gugatan hukum ke Mahkamah Konstitusi (MK), kemudian MK mengesahkan terpilihnya
Presiden dan Wakil Presiden hasil Pilpres 2024, maka legitimasi presiden
terpilih menjadi lebih kuat lagi.

Sebaliknya, untuk presiden yang sedang menjabat, akan
semakin menjadi “bebek lumpuh”. 
Situasi semacam itu, lanjut Azyumardi akan mengakibatkan kevakuman
pemerintahan selama delapan bulan, atau bisa juga berpotensi terjadi
disorientasi pemerintahan. 

Namun, Azyumardi menyadari keputusan itu susah diubah,
sehingga hal tersebut menjadi pelajaran penting bagi para anggota parlemen
hasil Pemilu Legislatif 2024.

“Semoga para anggota Parlemen hasil Pileg 2024 nantinya
akan memperbaiki hal ini, agar praktik demokrasi kita semakin membaik,”
ucap Azyumardi.

Direktur Eksekutif SMRC Sirojuddin Abbas membenarkan bahwa
segera setelah pilpres, baik putaran satu atau dua, pengaruh atau posisi tawar
presiden yang sedang menjabat kemungkinan besar akan menurun di kalangan sekutu
politiknya. Periode “lame duck” pun akan terjadi selama 8 atau 4
bulan.

“Pada saat itulah sekutu politik akan pergi ke pemenang
atau presiden terpilih. DPR juga mulai tidak responsif terhadap keinginan
presiden petahana,” kata Sirojudin.

Pengaruh lainnya, lanjut Sirojudin adalah penurunan pengaruh
presiden yang menjabat di organisasi pemerintahan, terutama di kementerian yang
dipimpin dari kalangan berlatar-belakang parpol. Kerja birokrasi pun menjadi
terhambat.

“Birokrasi kita cenderung mendekat kepada kabinet
bayangan atau tim pemenang,” ujarnya.

Sementara itu, Pemerhati isu-isu strategis Prof Imron Cotan
mengatakan “lame duck” akan berimplikasi pada penggunaan APBN,
“state procurement”.

Pemerintah yang terkena situasi bebek lumpuh, menurut Imron
tidak akan optimal menggunakan anggaran negara. Dan bila itu terjadi, lanjut
dia perekonomian negara akan terganggu.

“Belanja negara itu penting untuk memutar perekonomian
nasional, karena Indonesia dan negara-negara di dunia lain juga sedang
menghadapi disrupsi market, akibat dari beberapa hal, seperti pandemi COVID-19
dan perang Rusia-Ukraina,” ujar Imron.

Maka, menurut Imron yang harus menjadi perhatian bersama
adalah agar implementasi APBN pada 2024 tidak terganggu, dan diperlukan
kebijakan kolektif dari para elit, untuk menyatukan sikap mengatasi periode
tersebut.

Sebab, menurutnya bila hal itu tidak diantisipasi, maka
Indonesia berpotensi terjerumus pada krisis ekonomi dan sosial, yang tidak
diinginkan semua pihak.

“Kita mendengar Presiden Jokowi menyatakan sudah ada 60
negara menuju krisis ekonomi saat ini, dan bahkan beberapa di antaranya sudah
bangkrut. Seperti Sri Lanka, di sana sudah tak ada pemerintahan, sudah tak ada
lagi pelayanan publik. Jangan sampai Indonesia mengarah ke sana,” ujar
Imron.

Baca Juga

Share: Jeda Pelantikan Pemilu 2024 Ciptakan Keunikan Pemerintahan