Baru-baru ini perusahaan rintisan (startup) bidang
pendidikan, Zenius memutus hubungan kerja (PHK) ratusan karyawannya. Zenius
tidak sendirian, perusahaan rintisan lain juga mengambil langkah serupa dengan
dalih efisiensi perusahaan. Setidaknya ada tiga perusahaan rintisan di
Indonesia yang pada tahun ini melakukan pemecatan terhadap karyawannya, yakni
Zenius, Linkaja, dan TaniHub.
Jauh hari sebelum ketiganya, sejumlah perusahaan rintisan
lain juga telah lebih dahulu melakukan hal tersebut. Nama-nama startup seperti
Sorabel, Zomato Indonesia, Infokost, Blanja dan Ciayo, bahkan kini telah
tumbang.
Alasan
Pengamat perusahaan rintisan, Ignatius Untung membedah
sejumlah alasan yang membuat perusahaan rintisan layu di tengah jalan. Produk
kurang diterima pasar menjadi salah satu penyebab perusahaan rintisan sulit
memutar arus uang untuk menghidupi perusahaan. Ignatius mengatakan, kendati di
tataran konsep dan ide produk itu bagus, tapi jika pasar merasa tidak
membutuhkan maka sulit untuk memasarkan produk tersebut.
Kedua adalah perusahaan itu kalah saing dengan kompetitor.
Hal ini dipicu dua faktor, yakni internal dan eksternal. Faktor internal karena
sumber daya manusia yang kurang mumpuni, sementara faktor eksternal sebab
perusahaan kompetitor bermain curang.
“Di startup itu banyak juga yang bermain predatory pricing,
harganya dibanting, jual rugi segala macam. Cuma sekadar buat dia punya
traction. Karena model valuasi startup, dahulu ya, itu banyak dilihat dari GMV
[Gross Merchandise Value], total revenue-lah kasarnya begitu,” papar Ignatius
Untung kepada Asumsi.co, Rabu (25/5/2022).
Lantaran hanya melihat pendapatan tanpa memandang dengan apa
pendapatan itu dicapai, maka banyak perusahaan rintisan yang berlomba
menghalalkan segala cara untuk menjual produknya. Bahkan jika mengharuskan
melakukan praktik jual rugi demi membunuh kompetitor startup lain dengan modal
lebih minim, atau juga meraih pendanaan baru dengan pamer pendapatan.
“Ada startup-startup yang gak punya kemewahan karena uangnya
gak banyak. Kalau disuruh jual rugi ya gak bisa masuk, makanya ini harus diatur
predatory pricing. Dan Indonesia itu salah satu dari sedikit negara yang
discount-nya itu ampun-ampunan,” ujar Ignatius Untung.
Praktik ini membuat pertumbuhan dunia startup di Tanah Air
bukan karena hal murni, melainkan mengkanibal startup lain tapi dengan cara
tidak adil. Ignatius Untung mengumpamakan praktik kanibalisme antar-startup ini
layaknya bermain sebuah gim tapi tangan lawan main dipegang sehingga tidak
leluasa bermain.
Tidak Fokus
Ignatius Untung juga memandang banyak perusahaan rintisan
yang membangun bisnisnya secara kabur alias tidak fokus. Sebut saja perusahaan
rintisan yang semula berkutat pada agen perjalanan atau e-commerce, kini
merambah ke food delivery. Dia memahami bahwa hal itu banyak dilakukan startup
karena pendapatan dari lini bisnis utama sudah tidak mendongkrak.
Akhirnya mereka membuat anak perusahaan baru dengan lini
bisnis tidak sama perusahaan induknya. Dari sana, startup-startup ini akan
kembali bisa menggenjot pendapatan guna mendapat pendanaan baru dari investor.
“Contoh ini, dahulu kita punya marketplace jualannya
marketplace doang, tapi sekarang marketplace jual tiket pesawat. Online travel
agent juga sekarang jualan food delivery. Kenapa bisa begitu, itu tadi kalau
dia diharapkan untuk tumbuh dari bisnis eksisting sudah mentok, sudah gak bisa
tumbuh. Sementara angka itu dicapai tidak dengan profit, jadi dia masih butuh
uang dari tempat lain,” jelasnya.
“Bagaimana caranya dapat uang dari tempat lain? Dengan
revenue-nya tumbuh, tapi bagaimana revenue-nya udah mentok? Ya sudah kalau kita
cari dari kantong lain, dari bisnis yang lain, yuk kita akuisisi perusahaan,
yuk kita lebaran bikin divisi lain, bikin service lain,” Ignatius Untung
menambahkan.
Fajar resesi juga menjadi dalang dibalik pemecatan sejumlah
karyawan di beberapa startup. Ignatius Untung bilang, saat ini Indonesia berada
di pintu gerbang resesi ekonomi. Cepat atau lambat, terpaan resesi ini bakal
mampir ke Tanah Air.
Hal ini mengakibatkan banyak perusahaan-perusahaan modal
ventura yang mulai enggan menyuntik modal ke perusahaan-perusahaan rintisan.
“Kenapa? Karena, ‘entar dulu ini mau resesi, untung-untung
kamu bisa bertahan dari resesi. Disuntik buat apa, duitnya nanti abis itu
menguap begitu saja.’ Nanti dia gak bisa drive revenue dan segala macam.
Akhirnya mau gak mau mengurangi pegawai supaya bebannya lebih enteng, jadi
runaway-nya lebih panjang,” cetusnya.
Melepaskan karyawan, kata Ignatius Untung, dipandang
perusahaan rintisan itu menjadi opsi terbaik demi menghadapi resesi di depan
mata. Daripada tumbang ramai-ramai, perusahaan lebih memilih menumbalkan
sejumlah karyawan supaya lebih ramping dan tidak terlalu terbebani saat resesi
menghantam.
Bakar Uang
Pengamat startup digital, Heru Sutadi juga menguatkan
pendapat Ignatius Untung. Dia melihat praktik bakar uang yang selama ini
dilakukan sejumlah perusahaan rintisan mengakibatkan mereka kelimpungan.
Sementara kian ke sini perusahaan modal ventura makin sulit untuk mengucurkan
pendanaan.
“Sehingga, bagi startup generasi pertama yang kekurangan
modal, saat ini perlu efisiensi masuk ke bursa, mencoba konsolidasi dengan
pemain lain atau ya terpaksa gugur,” ujar Heru Sutadi kepada Asumsi.co, Rabu
(25/5/2022).
Melihat pola tersebut, Heru Sutadi meramal bahwa kedepannya
dalam setiap bidang hanya akan menyisakan tiga sampai empat pemain saja. Mereka
yang bertahan, kata Heru, hanya yang memiliki modal kuat. Pemain baru pun bakal
sulit menggeser posisi mereka tanpa modal yang mumpuni.
“Nantinya, masing-masing layanan, paling hanya tiga sampai
empat pemain utama. Seperti transportasi online ya Gojek dan Grab, pembayaran
digital ya Gopay, Ovo, lagi merangsek pasar Shopeepay, begitu juga e-commerce.
Pemain baru di bidang yang sama akan berat kecuali keuangannya kuat atau ada
solusi layanan baru yang berbeda,” ucap dia.
Sementara mereka yang tidak bertahan akan memilih PHK
menjadi solusi akhir dan jalan terbaik yang diambil.
Intervensi
Sementara itu mengenai potensi resesi ekonomi yang bakal
memukul Indonesia, Ignatius Untung menyarankan pemerintah untuk melakukan
intervensi untuk membantu perusahaan rintisan. Misalnya dengan melibatkan
mereka dalam sejumlah program pemerintah supaya arus kas perusahaan tetap
berjalan. Namun Ignatius Untung menekankan bahwa aplikasinya harus bebas
praktik koruptif.
“Dengan begitu semua kebagian, bukan kebagian profit, tapi
ada cash flow yang berjalan, ada uang masuk ada uang keluar. Sehingga secara
bisnis rapornya masih bagus. Jadi menurut saya kalau mau menyelamatkan [dengan
cara] begitu. Kalau ada bantuan-bantuan tangannya ditambah, tambah rantai
sehingga ada cash flow yang berputar,” jelas Ignatius Untung.
Di samping itu, Ignatius Untung juga menyarankan supaya
pemerintah menyuntikkan insentif kepada perusahaan-perusahaan tersebut dengan
syarat tidak boleh melakukan PHK terhadap karyawannya. Cara ini pernah
dilakukan di Jerman saat pandemi Covid-19 menghantam. Jika pemerintah dapat
melakukan hal-hal tersebut, dia menduga paling tidak sebagian stratup akan
mampu bertahan melewati resesi.
“Sebenarnya hal-hal kayak gini bagus. Ya dikasih insentif ke
pemain tapi mereka harus melindungi pegawai,” pungkasnya.
Startup edutek Zenius menjadi sorotan lantaran memecat
sekitar 200 karyawannya. Langkah ini juga diambil oleh perusahaan rintisan
lain, seperti TaniHub dan Linkaja. Alasan mereka rata-rata semisal, yakni demi
mampu beradaptasi dengan kondisi makro ekonomi yang dinamis dan mempengaruhi
industri.
Langkah mem-PHK ratusan karyawan yang diambil Zenius cukup
mengherankan. Pasalnya belum lama ini perusahaan yang dibangun Sabda PS dan
Medy Suharta itu telah mengakuisisi lembaga bimbingan belajar Primagama. Bulan
lalu, tak lama sebelum Zenius mengakuisisi Primagama, startup yang dikomandoi
Rohan Monga itu berhasil meraih pendanaan dari anak usaha Telkom, MDI Ventures
lebih dari US$ 40 juta atau Rp 576 miliar. Sebelumnya, Zenius juga telah
mendapatkan dana segar dari Northstar Group, Alpha JWC, Openspace Ventures,
hingga Beacon Venture Capital.
Baca Juga