Budaya Pop

11 Maret 1966: Supersemar dalam Balutan Misteri Kepemimpinan Soekarno-Soeharto

Winda Chairunisyah Suryani — Asumsi.co

featured image

Surat Perintah Sebelas Maret, atau biasa disingkat sebagai Supersemar, hingga kini dianggap sebagai surat yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno (Bung Karno) pada 11 Maret 1966. Surat ini dijadikan alat untuk memberi perintah kepada Letjen Soeharto agar mengambil tindakan yang diperlukan demi mengamankan Republik Indonesia. Sebab ketika itu, negara sedang terombang-ambing akibat perbedaan pendapat soal keberadaan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Dengan adanya Supersemar, tanpa basa-basi Soeharto langsung mengambil tindakan cepat. PKI pun dibubarkan. Supersemar juga difungsikan sebagai surat sakti yang menjadikan Soeharto untuk mengambil-alih pucuk pimpinan negara. Ajudan terakhir Bung Karno, Sidarto Danusubroto mengatakan pasca-terbitnya Supersemar, ada deretan kontroversi di dalamnya.

“Bung Karno merasa dikibuli. Dalam Supersemar, mana ada soal penahanan? Penahanan fisik, (dibatasi bertemu) keluarganya, penahanan rumah. Supersemar itu seharusnya melindungi keluarganya, melindungi ajarannya (Bung Karno),” kata Sidarto pada Minggu, 6 Maret 2016 silam.

Setelah 53 tahun berlalu, Supersemar masih menyimpan banyak misteri. Setidaknya masih ada kontroversi, baik dari sisi teks dalam Supersemar, proses mendapatkan surat itu, mengenai interpretasi perintah tersebut, sampai keasliannya. Apalagi, hingga kini yang menjadi persoalan, Supersemar tidak hanya ada satu versi saja.

Apa yang sebenarnya diperintahkan Presiden Sukarno kepada Letjen Soeharto hingga kini belum terkuak dengan pasti. Hingga 2013, setidaknya ada 4 versi Supersemar yang disimpan oleh pihak Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Keempat versi itu berasal dari tiga instansi, yakni satu versi dari Pusat Penerangan (Puspen) TNI AD, satu versi dari Akademi Kebangsaan, dan dua versi dari Sekretariat Negara (Setneg). Orde Baru mengamini versi pertama dari Puspen TNI AD.

Arsip Supersemar Tidak Ada yang Asli

Dari keempat versi yang ada, nyatanya tidak ada yang benar-benar asli. Hal ini diungkapkan langsung oleh mantan Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) M. Asichin. Ia mengungkapkan bahwa hasil ldari pemeriksaan laboratorium forensik (Labfor) Mabes Polri, keseluruhan versi yang dianalisis tidak ada yang orisinal.

“Dari bantuan pemeriksaan laboratorium forensik (Labfor) Mabes Polri, semuanya dinyatakan belum ada yang orisinal, belum ada yang autentik. Jadi, dari segi historis, perlu dicari terus di mana Supersemar yang asli itu berada,” beber Asichin, saat menjadi pembicara dalam Workshop Pengujian Autentikasi Arsip di Jakarta pada 21 Mei 2013 silam.

Baca Juga: 1 Maret 1964: Serangan Umum 1 Maret dan Propaganda Soeharto

Asichin juga mengungkapkan bahwa Supersemar yang selama ini dijadikan patokan kepemimpinan Soeharto itu tidaklah autentik. Sebab pada dasarnya ketika tahun 1966 dokumen biasanya menggunakan mesin ketik manual. Sedangkan Supersemar versi TNI AD itu dibuat dengan teknologi mesin komputer.

“Supersemar versi TNI AD itu sudah dibuat dengan teknologi mesin komputer. Padahal, tahun 1966 belum digunakan mesin komputer, masih menggunakan mesin ketik manual. Berarti dokumen itu palsu, dibuat setelah tahun 1970-an,” kata M. Asichin.

Maka dari itu, hingga sekarang debat akan keslian Supersemar masih terus berlangsung. Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bahkan merasa enggan untuk meributkan masalah Supersemar lagi. Sebab tokoh-tokoh yang dimaksud sudah meninggal dunia. Sehingga, siapa yang harus bertanggung jawab pun sulit ditemukan.

“Pak Harto sudah meninggal, Bung Karno juga sudah meninggal,” ucap Anhar Gonggong dalam diskusi Peringatan 50 Tahun Supersemar di Jakarta, 13 Februari 2016.

“Mari kita tempatkan ini sebagai peristiwa sejarah yang biasa saja,” ujar Anhar.

Supersemar Sebagai Kekuasaan Orde Baru Ubah Sistem Negara

Seperti yang sudah disebutkan di atas, belum ada yang bisa memastikan keaslian Supersemar hingga saat ini. Inti dari Supersemar adalah surat perintah dari Presiden Sukarno yang ditandatangani tanggal 11 Maret 1966. Fakta penerapannya memang sangat fatal.

Memang umumnya perdebatan terkait menyangkut naskah asli dokumen tersebut atau tentang cara pemerolehannya yang tak biasa. Namun yang jarang dibahas yaitu aspek internasional setelah keluarnya surat perintah tersebut. Selain PKI dibubarkan, yang tidak kalah pentingnya yaitu diberikannya izin modal asing Barat masuk ke Indonesia.

Beberapa hari setelah Supersemar dikeluarkan, teknisi Freeport sudah mendaki gunung di Papua. Karena belum ada aturannya, Amerika Serikat (AS) mengirim konsultan untuk membantu membuatkan undang-undang penanaman modal asing. AS menyerahkan nama pengurus PKI dan memberikan dana bantuan untuk meringkus komunis.

Dalam fakta sejarah, hadirnya perusahaan raksasa milik Amerika yaitu PT Freeport di Indonesia itu pada 7 April 1967, atau sekitar satu tahun setelah keluarnya Supersemar. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa dampak terbesar Supersemar adalah Indonesia kembali pada cengkraman negara-negara Barat terutama Amerika Serikat (AS). Kebijakan luar negeri Indonesia kemudian pun ikut mendukung.

Hal tersebut terlihat dari menguatnya hubungan Indonesia dengan AS. Bahkan Indonesia kembali melakukan hubungan dengan Malaysia padahal sebelumnya Bung Karno sangat membenci negara tetangga itu. Tindakan Soeharto berbeda 180 derajat dengan kebijakan pada masa pemerintahan Soekarno, khususnya pada masa Demokrasi Terpimpin.

Share: 11 Maret 1966: Supersemar dalam Balutan Misteri Kepemimpinan Soekarno-Soeharto