Badan Pusat Statistik (BPS) menganggap penduduk Indonesia yang pengeluaran hariannya di atas Rp19.841 bukan tergolong ke dalam kelompok miskin. Hal ini berdasarkan penentuan Garis Kemiskinan Nasional yang dilakukan oleh BPS pada September 2024, yakni sebesar Rp595.242 per kapita per bulan.
Angka Garis Kemiskinan tersebut mengalami kenaikan sebesar 2,11 persen dari Maret 2024 yang tercatat sebesar Rp582.932 per kapita per bulan.
“Garis Kemiskinan perkotaan naik sebesar 2,52 persen, atau lebih tinggi dari kenaikan Garis Kemiskinan pedesaan yang naik sebesar 1,47 persen dibandingkan kondisi Maret 2024,” ujar Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti di Jakarta, Rabu (15/1/2025).
Jika berpatokan pada harga beras di Jakarta, maka duit sejumlah Rp19.841 hanya mampu buat membeli 1 kilogram (kg) lebih beras jenis IR. I (IR 64). Berdasarkan laman Informasi Pangan Jakarta, harga beras jenis IR. I (IR 64) pada hari ini, Jumat (17/1/2025), berada di angka Rp15.143/kg.
Penetapan garis kemiskinan sebesar Rp19.841 per kapita per hari menandakan bahwa seseorang tidak dianggap miskin oleh BPS kendati ia hanya mampu membeli beras beserta lauk pauk sederhana.
Tingkat Kemiskinan Menurun
BPS menyatakan bahwa tingkat kemiskinan yang tercatat dalam Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) periode September 2024, yakni sebesar 8,57 persen, merupakan tingkat terendah sepanjang sejarah.
“Tingkat kemiskinan pada September 2024 sebesar 8,57 persen ini menjadi pencapaian terendah di Indonesia sejak pertama kalinya angka kemiskinan diumumkan oleh BPS pada tahun 1960,” kata Amalia.
Dia mengungkapkan bahkan pencapaian tersebut adalah pertama kalinya tingkat kemiskinan di Indonesia tercatat menyentuh angka 8 persen, yang mana sebelumnya selalu pada di atas 9 persen.
Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada September 2024 tercatat sebanyak 24,06 juta orang, atau turun sebanyak 1,16 juta orang dibandingkan dengan Maret 2024.
Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan pada September 2024 mengalami penurunan sebesar 0,46 basis poin dibandingkan dengan Maret 2024, yakni menjadi 8,57 persen dari sebelumnya 9,03 persen.
Berdasarkan wilayah tempat tinggal, Amalia mengatakan bahwa persentase penduduk miskin di perkotaan maupun pedesaan sama-sama mengalami penurunan. Namun, ia menuturkan bahwa masih terdapat disparitas kemiskinan yang lebar antara kedua wilayah.
Pada periode Maret 2024–September 2024, jumlah penduduk miskin perkotaan turun sebesar 590 ribu orang, sedangkan di perdesaan turun sebesar 570 ribu orang.
Dengan begitu, tingkat kemiskinan di wilayah pedesaan tercatat sebesar 11,34 persen pada September 2024, menurun dari 11,79 persen pada Maret 2024.
Angka tersebut lebih tinggi dari tingkat kemiskinan perkotaan yang tercatat sebesar 6,66 persen pada September 2024, atau turun dari 7,09 persen pada Maret 2024.
“Namun demikian, jika dilihat secara rata-rata, penurunan tingkat kemiskinan di pedesaan terjadi relatif lebih cepat dibandingkan dengan penurunan tingkat kemiskinan di perkotaan. Kemiskinan wilayah perkotaan turun sebesar 0,43 persen basis poin, sedangkan di pedesaan turun sebesar 0,45 persen basis poin,” katanya.
Mengenal Garis Kemiskinan
Garis Kemiskinan: Definisi dan Perdebatan
Garis kemiskinan merupakan batasan yang digunakan untuk menentukan apakah seseorang atau sekelompok orang hidup di bawah tingkat pendapatan yang dianggap cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, seperti makanan, tempat tinggal, dan pakaian. Di Indonesia, garis kemiskinan ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan diperbarui secara berkala berdasarkan survei konsumsi rumah tangga.
Garis kemiskinan biasanya diukur dengan dua pendekatan: garis kemiskinan absolut dan garis kemiskinan relatif. Garis kemiskinan absolut mengacu pada jumlah minimum pendapatan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar, sedangkan garis kemiskinan relatif mempertimbangkan standar hidup di masyarakat tertentu.
Di Indonesia, garis kemiskinan absolut ditetapkan berdasarkan nilai konsumsi minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Namun, terdapat sejumlah perdebatan mengenai garis kemiskinan. Perdebatan ini sering kali berkisar pada beberapa isu utama, sebagai berikut:
Kriteria Penetapan: Banyak ahli berpendapat bahwa kriteria yang digunakan untuk menetapkan garis kemiskinan sering kali terlalu sempit. Mereka berargumen bahwa garis kemiskinan tidak hanya harus mempertimbangkan kebutuhan dasar, tetapi juga faktor-faktor lain seperti akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan layanan publik.
Data dan Metodologi: Ada kritik terhadap metodologi yang digunakan BPS dalam menghitung garis kemiskinan. Beberapa peneliti berpendapat bahwa survei konsumsi rumah tangga tidak selalu mencerminkan realitas kehidupan masyarakat, terutama di daerah terpencil. Hal ini dapat menyebabkan angka kemiskinan yang dilaporkan tidak akurat.
Dampak Kebijakan: Penetapan garis kemiskinan juga berdampak pada kebijakan pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan. Jika garis kemiskinan terlalu rendah, maka banyak orang yang sebenarnya hidup dalam kondisi sulit tidak teridentifikasi dan tidak mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan.
Perubahan Sosial dan Ekonomi: Dengan adanya perubahan sosial dan ekonomi yang cepat, seperti urbanisasi dan inflasi, garis kemiskinan yang ditetapkan mungkin tidak lagi relevan. Oleh karena itu, ada seruan untuk memperbarui dan menyesuaikan garis kemiskinan secara berkala agar tetap mencerminkan kondisi terkini.
Baca Juga:
Survei BPS Laporkan 71 Ribu Perempuan di Indonesia Adopsi Konsep Childfree
BPS: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Kuartal III 2024 4,95 Persen
BPS Masih Pakai Standar Pendapatan Rp29.500 untuk Hitung Kemiskinan di Indonesia