Sebuah petisi yang menuntut pemerintah untuk membatalkan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen, muncul di platform Change. Petisi yang digagas pengguna dengan nama akun ‘Bareng Warga’ itu dibuat pada Selasa (19/11/2024).
“Rasa-rasanya Pemerintah perlu membatalkan kenaikan PPN yang tercantum dalam UU HPP (Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan). Sebelum luka masyarakat kian menganga. Sebelum tunggakan pinjaman online membesar dan menyebar ke mana-mana,” demikian bunyi tuntutan dalam petisi yang ditujukan kepada Presiden Prabowo Subianto itu, seperti dikutip pada Selasa (26/11/2024).
Sampai Selasa petang, petisi bertajuk “Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN!” itu telah mendapat dukungan sebanyak lebih dari 12 ribu warganet. Pembuat petisi beralasan bahwa rencana pemerintah untuk menaikkan PPN bakal memperdalam kesulitan masyarakat. Sebab kebijakan tersebut dapat menaikkan harga berbagai jenis barang kebutuhan, seperti sabun mandi hingga bahan bakar minyak (BBM).
“Padahal keadaan ekonomi masyarakat belum juga hinggap di posisi yang baik,” katanya.
Pembuat petisi menyinggung persoalan pengangguran di Tanah Air yang sampai Agustus tahun ini berjumlah 4,91 juta orang. Sementara terdapat 83,83 juta orang yang bekerja di sektor informal.
Belum lagi dari sisi pendapatan masyarakat yang dinilai rata-rata upah pekerja semakin mendekati upah minimum provinsi (UMP). Menurut data BPS selisih antara rata-rata upah pekerja dengan UMP hanya sebesar Rp154 ribu pada tahun 2023.
“Selain itu, kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang akan berimbas pada kenaikan harga barang sangat mempengaruhi daya beli masyarakat. Sejak Mei 2024, daya beli masyarakat terus merosot, dan jika PPN terus dipaksakan naik, diperkirakan daya beli akan mengalami penurunan yang lebih drastis,” ujarnya.
Seperti diketahui, pemerintah bakal menaikkan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari tahun depan. Kebijakan ini merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (PPN).
Kebijakan ini menjadi kontroversi lantaran dilakukan di saat kondisi ekonomi Indonesia tidak dalam keadaan baik-baik saja. Di tambah. Pemerintah juga belum lama menaikkan pajak serupa dari 10 persen menjadi 11 persen dua tahun silam.
Sementara itu, Komisi Informasi (KI) Pusat menyatakan pemerintah belum terbuka soal alasan menaikkan pajak pertambahan nilai tersebut. Komisioner KI Pusat Rospita Vici Paulyn menyatakan, pemerintah seharusnya menyampaikan pemanfaatan kenaikan PPN kepada masyarakat secara jelas agar masyarakat menganggap kenaikan PPN memberikan manfaat.
Baca Juga:
Lampaui Negara Kaya Singapura, Tarif Pajak PPN Indonesia Tertinggi Kedua di ASEAN
RSPPN Panglima Besar Soedirman Diresmikan, Terintegrasi BPJS dan Pakai Alat Modern
IDI-PPNI Merasa Tak Dilibatkan Penyusunan RUU Kesehatan Nasional