Mahkamah Konstitusi (MK) mengizinkan partai politik (parpol) yang tidak memiliki kursi di DPRD untuk mengusung calon kepala daerah sendiri. Hal itu berdasarkan putusan terhadap perkara 60/PUU-XXII/2024 yang diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora, pada sidang di Gedung MK, Jakarta, Selasa (20/8/2024).
Putusan MK itu menyatakan bahwa ambang batas pencalonan kepala daerah oleh partai politik disamakan dengan ambang batas pencalonan kepala daerah dari jalur independen atau nonpartai dan juga perseorangan.
Kedua partai itu menggugat Pasal 40 pada UU Pilkada yang pada intinya berisi aturan ambang batas pencalonan kepala daerah sebesar 20 persen kursi DPRD atau 25 persen perolehan suara sah pada pileg sebelumnya.
MK menganggap ketentuan Pasal 40 pada UU Pilkada tidak relevan sehingga dinyatakan inkonstitusional. Pasalnya, pembentuk UU Pilkada dinilai abai terhadap putusan MK terdahulu nomor 005/PUU-III/2005.
Dalam putusan tahun 2025 itu, MK mengizinkan partai politik di luar DPRD untuk mengusung calon kepala daerah, sepanjang memenuhi akumulasi suara sah di pileg sebelumnya.
Akan tetapi menurut MK, norma pada putusan itu justru diabaikan dalam revisi UU Pilkada yang terbit pada 2016 lalu itu.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengkhawatirkan bahwa jika norma pada Pasal 40 UU Pilkada itu dibiarkan, maka dapat mengancam proses berdemokrasi di Indonesia.
“Jika dibiarkan berlakunya norma Pasal 40 ayat (3) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 secara terus-menerus dapat mengancam proses demokrasi yang sehat,” kata Enny dalam sidang tersebut.
Dengan putusan ini, maka aturan ambang batas pencalonan gubernur-wakil gubernur diubah menjadi:
a. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai 2 juta jiwa harus didukung partai politik/gabungan partai politik dengan perolehan suara paling sedikit 10 persen;
b. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap 2-6 juta jiwa harus didukung partai politik/gabungan partai politik dengan perolehan suara paling sedikit 8,5 persen;
c. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap 6-12 juta jiwa harus didukung partai politik/gabungan partai politik dengan perolehan suara paling sedikit 7,5 persen;
d. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12 juta jiwa harus didukung partai politik/gabungan partai politik dengan perolehan suara paling sedikit 6,5 persen
Sedangkan aturan mengenai ambang batas pencalonan wali kota/bupati dan wakilnya diubah menjadi:
a. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 250.000 jiwa harus didukung partai politik/gabungan partai politik dengan perolehan suara paling sedikit 10 persen;
b. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap 250.000-500.000 jiwa harus didukung partai politik/gabungan partai politik dengan perolehan suara paling sedikit 8,5 persen;
c. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 500.000-1 juta jiwa harus didukung partai politik/gabungan partai politik dengan perolehan suara paling sedikit 7,5 persen;
d. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 1 juta jiwa harus didukung partai politik/gabungan partai politik dengan perolehan suara paling sedikit 6,5 persen.
Baca Juga:
PDIP Terus Upayakan Anies Bisa Maju Pilkada Jakarta, Siapkan Hendrar Prihadi Sebagai Wakilnya
Survei: Mayoritas Pemilih NasDem, PKS, dan PKB Pilih Anies Ketimbang RK dalam Pilkada Jakarta