Israel menargetkan serangan bom ke sebuah sekolah di Gaza yang mengakibatkan sedikitnya 100 orang tewas pada Sabtu (10/8/2024) pagi waktu setempat. Israel menyerang para korban yang termasuk laki-laki dewasa dan wanita serta anak-anak, saat mereka tengah menunaikan ritual Salat Subuh.
Sekolah yang terletak di Tabin, Distrik al-Daraj, Kota Gaza itu dihantam tiga roket Israel. Sekolah tersebut digunakan sebagai tempat pengungsian warga Gaza yang kehilangan tempat tinggalnya akibat bombardir tanpa henti Israel sejak insiden 7 Oktober lalu.
Video yang diperoleh Middle East Eye (MEE)menunjukkan tubuh hangus dan anggota badan berserakan di lantai beton, ketika orang-orang bergegas mencari orang yang mereka cintai setelah serangan tersebut. Video lain menunjukkan puluhan jenazah ditutupi kain dan dibaringkan di sebuah area lapang.
Para korban serangan dibawa ke Rumah Sakit Maamadani yang sebagian berfungsi, salah satu dari sedikit rumah sakit yang beroperasi di Gaza utara. Moatasem Dalloul, seorang aktivis dan warga Kota Gaza, mengatakan kepada Middle East Eye bahwa rumah sakit tersebut tidak memiliki cukup tempat tidur untuk korban luka dan banyak yang terpaksa berada di lorong.
Dalam video yang dibagikannya kepada MEE, seorang anak laki-laki yang menderita luka bakar dan luka di sekujur tubuhnya terlihat dibalut dan terbaring di tandu di koridor. “Mayat orang-orang yang terbunuh ditempatkan di mana-mana di halaman rumah sakit dan orang-orang yang mereka cintai mengucapkan selamat tinggal,” kata Dalloul, yang bertandang ke sekolah tersebut setelah pembantaian itu.
Dalloul menilai, Israel bisa dengan leluasa terus melakukan pembunuhan massal terhadap warga Gaza yang tak bersalah karena tidak ada sebuah entitas pun yang mampu menjegalnya.
“Pasukan pendudukan Israel terus melakukan pembantaian terhadap pengungsi di tempat penampungan karena tidak ada seorang pun di dunia yang mampu menghentikannya,” kata Dalloul.
“Dukungan Amerika dan Barat, secara finansial dan militer, serta diamnya komunitas internasional mendorong Israel untuk terus melakukan kejahatan terhadap orang-orang tak berdosa di Jalur Gaza,” tambahnya.
Potongan Tubuh Berserakan di Tempat Salat
Seorang pria di lokasi pembantaian, yang tidak menyebutkan namanya, menggambarkan kengerian usai di lokasi kejadian usai serangan tersebut. Dia bilang bahwa ketika dirinya memasuki sekolah, dia melihat potongan tubuh berserakan di ruang salat.
Direktur Departemen Pasokan Otoritas Pertahanan Sipil Gaza, Mohammed al-Mughair mengatakan Sekolah Tabin menampung sekitar 2.400 pengungsi Palestina. “Sekolah itu menjadi sasaran tiga rudal, termasuk setidaknya satu rudal MK-84, yang berbobot 2.000 pon,” kata Mughair.
Pertahanan sipil mengatakan roket-roket tersebut menargetkan dua lantai sekolah itu. Roket pertama menghantam area yang dihuni oleh perempuan pengungsi, dan yang kedua menghantam area lantai dasar yang digunakan sebagai ruang salat.
“Tentara pendudukan secara langsung mengebom para pengungsi saat mereka sedang melaksanakan salat subuh,” kata kantor media pemerintah Gaza dalam sebuah pernyataan.
“Karena kengerian pembantaian tersebut dan banyaknya korban tewas, tim medis, pertahanan sipil, serta tim bantuan dan darurat sejauh ini belum dapat menemukan jenazah para korban,” tambahnya.
Tudingan Tanpa Dasar
Tentara Israel mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa mereka menargetkan sekolah itu lantaran dinilai sebagai “pusat komando dan kendali” yang berfungsi sebagai tempat persembunyian para teroris dan komandan Hamas. Namun, mereka tidak memberikan bukti apa pun untuk mendukung klaim tersebut.
Hamas telah berulang kali menolak tuduhan Israel bahwa mereka beroperasi dari fasilitas sipil seperti sekolah dan rumah sakit.
Seorang Profesor Bahasa Inggris yang berhasil melarikan diri ke Afrika Selatan sebelum penutupan penyeberangan Rafah, Haidar Eid mengatakan tanpa dukungan dan keterlibatan langsung Barat, Israel tidak akan mampu menyerang sekolah tersebut.
Menurut Pemerintah Palestina, Israel telah menyerang setidaknya 172 tempat penampungan, sebagian besar sekolah, yang menampung ribuan keluarga pengungsi sejak dimulainya perang pada Oktober 2023. Bulan lalu, Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) mengatakan pasukan Israel telah mengebom hampir 70 persen sekolah di Gaza, menewaskan lebih dari 500 orang.
Serangan dahsyat pada hari Sabtu terjadi kurang dari sehari setelah Pemerintah Israel mengonfirmasi akan mengirim delegasi ke pertemuan puncak (KTT) gencatan senjata yang diusulkan oleh para pemimpin Amerika Serikat (AS), Qatar, dan Mesir pada tanggal 15 Agustus mendatang. Ketiga negara mengatakan sudah tiba waktunya untuk menyelesaikan kerangka perjanjian yang dibahas.
“Ini adalah waktu untuk memberikan bantuan segera kepada masyarakat Gaza yang telah lama menderita serta para sandera dan keluarga mereka yang telah lama menderita. Waktunya telah tiba untuk mengakhiri gencatan senjata dan kesepakatan pembebasan sandera dan tahanan,” kata ketiga negara dalam pernyataan bersama pada hari Kamis pekan lalu.
Menurut Axios, sebuah sumber yang mengetahui perundingan tersebut menggambarkan KTT itu sebagai upaya “Salam Maria” oleh Pemerintahan Presiden AS, Joe Biden untuk mencegah perang regional setelah pembunuhan pimpinan Hamas Ismail Haniyeh di Teheran dan seorang komandan senior Hizbullah di Beirut pekan lalu.
Haniyeh, seorang pejabat veteran Hamas yang memainkan peran penting dalam negosiasi gencatan senjata, terbunuh bersama pengawalnya yang telah lama menjabat, Wasim Abu Shaaban, beberapa jam setelah mereka menghadiri upacara pelantikan presiden baru Iran, Masoud Pezeshkian.
Tiga orang yang berada di gedung yang dijaga ketat pada saat itu mengatakan kepada Middle East Eye bahwa dia terbunuh oleh proyektil yang ditembakkan ke kamarnya. Israel telah bersiap menghadapi kemungkinan pembalasan dari Iran dan Hizbullah sebagai tanggapan atas pembunuhan tersebut, sehingga meningkatkan kekhawatiran akan terjadinya perang habis-habisan.