Petinju putri Italia, Angela Carini mundur dari pertandingan setelah hanya 46 detik melawan petinju putri Aljazair, Imane Khelif, dalam pertarungan tinju pembukaan Olimpiade Paris 2024, Kamis (1/8/2024).
Imane Khelif selama ini dituding sebagai transgender usai dirinya didiskualifikasi dari kejuaraan dunia setelah gagal dalam tes kelayakan gender yang tidak ditentukan pada tahun 2023 silam. Namun tidak ada indikasi dia mengidentifikasi dirinya sebagai transgender.
Dilansir dari NBC New York, tutup kepala Carini copot sebanyak dua kali sebelum dia berhenti melanjutkan pertarungan. Carini menolak menjabat tangan Khelif setelah keputusan diumumkan, dan dia menangis di atas ring sebelum pergi.
Setelah itu, Carini yang masih menangis mengatakan dia berhenti karena rasa sakit yang hebat di hidungnya setelah pukulan pembuka. Carini, yang memiliki bercak darah di celananya, mengaku tidak membuat pernyataan politik dan tidak menolak melawan Khelif.
“Saya merasakan sakit yang sangat parah di hidung saya, dan dengan kedewasaan seorang petinju, saya berkata ‘cukup’ karena saya tidak mau, saya tidak mau, saya tidak bisa menyelesaikan pertandingan,” kata Carini.
Carini lebih lanjut mengatakan bahwa dia tidak memenuhi syarat untuk memutuskan apakah Khelif harus diizinkan berkompetisi, namun dia tidak memiliki masalah melawannya. “Saya di sini bukan untuk menghakimi atau memberikan penilaian,” kata Carini.
“Jika seorang atlet seperti ini, dan dalam artian itu tidak benar atau benar, itu bukan hak saya untuk memutuskan. Saya hanya melakukan tugas saya sebagai petinju. Saya masuk ke ring dan bertarung. Saya melakukannya dengan kekuatan saya,” tambahnya.
Carini mengaku bersedih karena dia harus gugur bahkan sebelum menyelesaikan ronde pertama pertarungan. “Saya patah hati karena saya seorang pejuang,” kata Carini.
Carini yang memiliki ayah seorang atlet mengaku kerap mendapat wejangan darinya bahwa dirinya harus menjadi seorang pejuang bagi bangsanya lewat kariernya sebagai atlet. Untuk itu sejak awal dia tidak mundur ketika melawan Imane Khelif. Namun ketika mendapat pukulan dari petinju itu, Carini mengaku benar-benar merasakan kesakitan.
“Aku tidak melakukannya karena aku tidak bisa bertarung lagi, jadi aku mengakhiri pertandingannya,” ujarnya.
Khelif (25 tahun) adalah seorang petinju perempuan amatir berprestasi yang memenangkan medali perak di kejuaraan dunia Asosiasi Tinju Internasional tahun 2022 lalu. Badan pengelola yang sama mendiskualifikasi dia dari kejuaraan tahun lalu, sesaat sebelum pertandingan perebutan medali emas karena apa yang diklaim sebagai peningkatan kadar testosteron pada tubuh atlet itu.
Testosteron adalah hormon steroid yang ditemukan pada pria dan wanita. Kadar testosteron pada pria lebih tinggi daripada pada wanita. Menurut Asosiasi Urologi Amerika, kadar testosteron darah normal pada pria setidaknya 300 nanogram per desiliter (ng/dL). Pada wanita, kadar testosteron jauh lebih rendah, sekitar sepersepuluh dari kadar pada pria.
Komite Olimpiade Aljazair mengeluarkan pernyataan pada Rabu (31/7/2024), yang mengutuk kebohongan dan fitnah terhadap atlet mereka, Imane Khelif dari sejumlah media asing. Mereka menyebut apa yang dikatakan media tuduhkan media terhadap atlet mereka adalah sebuah bentuk propaganda.
Sementara itu, Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni, yang mengunjungi atlet Italia di Permukiman Olimpiade pada Kamis, menyuarakan kritik bahwa Carini harus melawan Khelif. Dia mengatakan bahwa dirinya sejak tahun 2021 menentang mengizinkan atlet dengan karakteristik “secara genetik laki-laki” untuk berkompetisi melawan perempuan.
“Kita harus memperhatikan, dalam upaya untuk tidak melakukan diskriminasi, bahwa kita sebenarnya melakukan diskriminasi terhadap hak-hak perempuan,” kata Meloni.
Ia mengatakan, hak-hak para atlet perlu dijamin agar bisa berkompetisi secara merata. “Dalam hal-hal ini yang terpenting adalah dedikasi Anda, kecerdasan dan karakter Anda, namun yang juga penting adalah memiliki kekuatan yang setara,” kata Meloni.
Khelif adalah satu dari dua petinju yang diizinkan bertarung di Olimpiade meski didiskualifikasi dari kejuaraan dunia putri tahun lalu karena gagal dalam tes kelayakan gender. Seorang atlet lainnya ialah Lin Yu ting, petinju perempuan Taiwan.
Fitnah terhadap Imane Khelif
Platform pengecek fakta, MISBAR menyebut Imane Khelif bukan merupakan seorang transeksual. Mereka pada 2023 lalu, telah menyelidiki klaim yang menuding Khelif seorang transgender, namun mereka menemukan bahwa klaim tersebut palsu.
“Petinju Imane Khelif adalah seorang wanita cisgender [seseorang yang memiliki persepsi gender yang sesuai dengan jenis kelamin biologisnya]. Imane Khelif telah mengikuti banyak kompetisi internasional sebagai cisgender wanita, termasuk Olimpiade seperti dapat dilihat di bawah ini,” tulis MISBAR.
Tudingan Imane Khelif sebagai seorang transgender bermula ketika ia diskualifikasi dari Kejuaraan Dunia Wanita di New Delhi, India, beberapa jam sebelum perebutan medali emasnya pada 2023 lalu. Menurut beberapa laporan, atlet tersebut didiskualifikasi karena kadar testosteronnya yang tinggi.
Diskualifikasi tersebut menyebabkan gelombang informasi yang salah tentang gender Khelif. Padahal berbagai penyakit bisa menyebabkan perubahan hormonal pada wanita. Penyebab paling umum dari tingginya kadar testosteron pada wanita adalah hirsutisme, sindrom ovarium polikistik, dan hiperplasia adrenal kongenital.
Kadar testosteron dapat meningkat secara alami dan tidak membuktikan adanya transeksualitas. Beberapa badan pengelola olahraga telah menerapkan kebijakan yang mengharuskan atlet perempuan memiliki kadar testosteron di bawah ambang batas tertentu untuk berkompetisi di nomor putri.
Hal itu menimbulkan tuduhan diskriminasi, karena hal ini secara tidak proporsional mempengaruhi perempuan dengan kadar testosteron yang lebih tinggi secara alami, suatu kondisi yang dikenal sebagai hiperandrogenisme. Mereka yang mendukung peraturan tersebut berpendapat bahwa testosteron dikaitkan dengan atribut fisik seperti massa dan kekuatan otot, sehingga memberikan keuntungan yang tidak adil bagi atlet dengan tingkat testosteron yang lebih tinggi. Mereka mengklaim bahwa peraturan tersebut dirancang untuk memastikan adanya kesetaraan dalam persaingan.
Atlet yang terkena dampak peraturan ini mungkin diharuskan menjalani intervensi medis seperti terapi hormon untuk mematuhi peraturan. Intervensi ini dapat menimbulkan dampak fisik dan psikologis yang serius. Peraturan ini berulang kali menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana seks dan gender didefinisikan dalam olahraga. Dalam beberapa kasus, para atlet harus menjalani tes verifikasi jenis kelamin yang memalukan dan invasif untuk menentukan kelayakan mereka.
Kebijakan-kebijakan ini dapat menantang identitas gender para atlet yang terlibat dan berkontribusi terhadap stigmatisasi lingkungan. Masalah ini menimbulkan pertanyaan etika yang mendalam, seperti “apakah adil untuk mengecualikan wanita yang secara alami memiliki kadar testosteron lebih tinggi?” “Bagaimana seharusnya seks dan gender didefinisikan dan diatur dalam olahraga?”
Masih ada perdebatan dalam komunitas ilmiah tentang seberapa besar manfaat yang diberikan testosteron, dan apakah tingkat hormonal yang ketat merupakan ukuran kelayakan yang valid atau adil. Beberapa peneliti berpendapat bahwa hubungan antara testosteron dan kinerja atletik tidak sejelas yang digambarkan. Namun demikian, menurut temuan penelitian yang dipresentasikan pada pertemuan tahunan Masyarakat Endokrinologi Eropa tahun 2019:
“Atlet wanita papan atas cenderung memiliki kadar testosteron lebih tinggi dan kelainan ringan, serta kondisi lebih parah dan jarang yang meningkatkan kadar testosteron. Temuan ini menunjukkan bahwa kadar testosteron yang lebih tinggi dapat meningkatkan kinerja fisik pada wanita, ke tingkat yang lebih sebanding dengan fisiologi pria.”
Oleh karena itu, pertanyaan-pertanyaan ini pelik dan problematis.