General

Standarisasi Tata Kelola Hibah Pemerintah di Bidang Kebudayaan

Admin — Asumsi.co

featured image
Unsplash/jauzax/Ilustrasi Budaya Indonesia

Indonesia belum mengoptimalkan kekayaan budayanya untuk menopang pembangunan ekonomi. Padahal, saat ini ada banyak medium yang bisa dimanfaatkan untuk menjadikan kekayaan budaya sebagai soft power untuk Indonesia.  Misalnya, film dapat menjadi soft power dengan mengangkat kebudayaan Indonesia, yang bahkan bukan sekadar berdampak pada perekonomian, melainkan juga meningkatkan citra negara.

Indonesia dapat berkaca dari sejarah Jepang yang berupaya mengembalikan kejayaan dengan mengandalkan sektor perbankan, transportasi, industri, serta telekomunikasi pasca perekonomian Negeri Sakura itu merosot pada 1990-an. Namun, perekonomian Jepang tetap stagnan, bahkan pengaruh budaya populernya dalam dunia internasional memudar seiring munculnya Hallyu Wave dari Korea Selatan dan Tiongkok dengan industri game online-nya. 

Pada 2013, Jepang mulai mengejar ketertinggalan dengan membentuk institusi pendanaan bersama swasta, Cool Japan Fund, untuk mengembangkan budaya populer sebagai soft power yang memiliki multiplier effect. Di antaranya, meningkatkan jumlah wisatawan mancanegara setiap tahunnya, yang salah satunya disebabkan Jepang sejak 2016 gencar membantu para agen mempromosikan berbagai destinasi wisata di daerah-daerah pedesaan dengan memanfaatkan budaya populer anime. 

Dukungan pendanaan dari pemerintah Indonesia untuk pemajuan kebudayaan diperlukan agar bisa menjadi soft power, yang pada gilirannya turut menopang perekonomian negara, seperti Jepang. Indonesia memang sudah sepatutnya mendukungnya dengan skema pendanaan melalui hibah yang didasarkan atas pertimbangan investasi, sebagaimana Pasal 47 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Berdasarkan Pasal 48 ayat (1) UU 5/2017, pendanaan pemajuan kebudayaan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pendanaan pemajuan kebudayaan bisa berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), sampai sumber lain yang sah, serta tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 Fasilitasi Bidang Kebudayaan

Salah satu resolusi dalam Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) yang digelar pada 2018 adalah Fasilitasi Bidang Kebudayaan (FBK). Di tahun 2020, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek memprakarsai FBK yang merupakan tolok ukur (benchmark) tata kelola hibah kebudayaan di masa mendatang. Bahkan, FBK adalah cikal bakal Dana Indonesiana. FBK menjadi wadah bagi pemanfaatan kekayaan budaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus memperkuat kedudukan Indonesia di dunia internasional.

Di sisi lain, FBK juga menguatkan peran pemerintah pusat sebagai fasilitator pemajuan kebudayaan dengan membantu menyokong keberlanjutan dari organisasi seni dan komunitas kebudayaan, sehingga ekosistem seni budaya beserta proses produksi karya di dalamnya tetap bisa terus berjalan. Apalagi, organisasi seni dan komunitas budaya yang masih bergantung dengan sumbangan dana dari pihak eksternal, terseok-seok akibat pandemi Covid-19.

Meski tidak bisa menggantikan seluruh potensi pendanaan dalam situasi normal, FBK setidaknya mampu mempertahankan agar kegiatan kebudayaan tidak berhenti total pada saat diberlakukannya pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Jadi, FBK bukan sekadar memenuhi amanat UU 5/2017, melainkan pula untuk menopang kebutuhan pelaku kebudayaan supaya bisa tetap berkegiatan di masa pandemi Covid-19. 

FBK dirancang sebagai pilot project dari metode pengelolaan dana perwalian kebudayaan yang baru lahir saat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 111 Tahun 2021 terbit. Program Dana Indonesiana yang diluncurkan pada 2022 menjadi titik puncak dari amanat pembentukan dana perwalian kebudayaan yang diatur dalam Pasal 49 UU 5/2017. Program Dana Indonesiana mendistribusikan hibah pemerintah pusat di bidang kebudayaan secara terintegrasi dan saat ini FBK menjadi bagian darinya.

Program Indonesiana terdiri dari tiga sumber pendanaan. Pertama, APBN yang disalurkan melalui program FBK. Kedua, hasil pengelolaan dana abadi kebudayaan. Ketiga, hasil pengelolaan dana abadi pendidikan yang disalurkan lewat program beasiswa pelaku budaya. FBK tidak ditujukan untuk pembangunan fisik dan yang bersifat non komersial.

Di awal rilis tahun 2020, alokasi dana hibah untuk program FBK mencapai Rp80 miliar dengan kategori yang terdiri dari fasilitasi bidang kebudayaan perseorangan/lembaga/komunitas budaya, fasilitasi sarana kesenian, fasilitasi komunitas budaya di masyarakat, fasilitasi kegiatan kesenian, serta fasilitasi penulisan buku sejarah.

Standarisasi Tata Kelola

Program FBK pada 2020 menyeleksi ribuan permohonan proposal yang diajukan. Yang dinyatakan lolos ke tahap lokakarya hanya puluhan proposal saja. Ini menunjukkan betapa ketatnya proses seleksi agar seluruh proposal disetujui untuk diberi dana hibah bisa memenuhi standar yang telah ditetapkan.

Urgensi standarisasi tata kelola dalam penyaluran dana hibah dari pemerintah pusat diperlukan bukan sekadar karena banyaknya jumlah permohonan proposal yang diajukan. Namun, juga dibutuhkan untuk menjaga mutu kualitas dari output yang dihasilkan dan demi mewujudkan good governance. Standarisasi tata kelola tersebut juga untuk meminimalisir atau bahkan mencegah penyalahgunaan dana hibah dari pemerintah pusat yang berpotensi menyuburkan budaya korupsi.

Standarisasi tata kelola menuntut kementerian/lembaga dan pemerintah daerah menyamakan mekanisme yang diterapkan dalam penyaluran dana hibah di bidang kebudayaan. Sebagai tolok ukur tata kelola hibah kebudayaan, standarisasi dalam FBK yang diadopsi Dana Indonesiana dapat menjadi contoh bagi kementerian/lembaga dan pemerintah daerah. Misalnya, model tata kelola hibah dalam FBK yang diadopsi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif untuk program bantuan kepada pelaku usaha kreatif. Atau, model tata kelola hibah dalam FBK yang diadopsi pemerintah provinsi (Pemprov) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) untuk program bantuan dari Dana Keistimewaan.

Terdapat beberapa standarisasi tata kelola dalam FBK yang dapat ditiru. Pertama, permohonan hibah dengan pelayanan satu pintu agar tidak tersebar ke berbagai direktorat. Pelayanan satu pintu bisa memudahkan masyarakat dalam mengakses informasi tentang program dana hibah tersebut.

Kedua, komite seleksi independen yang berasal dari pelaku budaya. Mekanisme seleksi independen dengan melibatkan partisipasi publik sangat penting mengingat masyarakat adalah pemilik sekaligus penggerak kebudayaan di daerahnya masing-masing. Ketiga, lini masa program hibah yang regular. Jadwal kegiatan dalam program hibah harus terencana, terstruktur, sistematis, serta terpublikasi secara serentak dan seragam.

Keempat, persyaratan pengajuan permohonan dana hibah. Program hibah harus menggunakan standar yang sama agar memudahkan masyarakat untuk memahami persyaratannya. Di antaranya, penerapan standar yang sama dalam metode seleksi, format dokumen proposal, rencana anggaran biaya (RAB), dan bentuk pertanggungjawaban permohonan dana hibah kebudayaan yang diajukan.

Kemudian, standarisasi dalam tata cara administrasi seperti transaksi non tunai atau bukti pembayaran yang disertakan. Termasuk, standarisasi dalam biaya masukan untuk pengadaan barang dan jasa di bidang kebudayaan yang lebih akomodatif. Standarisasi tata kelola hibah pemerintah di bidang kebudayaan diharapkan bisa berdampak pula pada peningkatan partisipasi masyarakat yang pada akhirnya mempengaruhi kualitas akuntabilitas dan transparansi publik.

Share: Standarisasi Tata Kelola Hibah Pemerintah di Bidang Kebudayaan