Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengungkapkan jumlah pengguna internet di Tanah Air pada 2024 mencapai 221 juta jiwa atau 79,5 persen dari total penduduk. Penetrasi internet konsisten meningkat dalam lima tahun terakhir.
Tingginya tingkat penetrasi internet dan harga paket data yang terjangkau memungkinkan masyarakat Indonesia sangat aktif bermain sosial media. Pada November 2023 lalu, Direktur Jenderal UNESCO, Audrey Azoulay memperingatkan, media sosial bisa mempercepat penyebaran informasi palsu yang direkayasa untuk mempengaruhi opini publik (disinformasi), sehingga berpotensi mengancam kohesi masyarakat dan stabilitas politik.
Di sisi lain, algoritma media sosial mengkondisikan warganet untuk menerima informasi yang homogen secara berkesinambungan, sehingga berpotensi menumbuhkan fanatisme dan mempolarisasi masyarakat. Bahkan, penyalahgunaan media sosial sebagai alat kampanye hitam dengan mengamplifikasi disinformasi yang mendemonisasi lawan-lawan politiknya memiliki efek berganda (multiplier effect). Yaitu, menghancurkan citra lawan-lawan politiknya sekaligus menggaet banyak pengikut fanatik yang berpotensi memicu intoleransi dan mendorong diskriminasi terhadap individu atau kelompok lain dengan pandangan berbeda.
Fanatisme sebagai strategi politik dapat menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya, termasuk memprovokasi mayoritas dengan isu agama, ras, dan ideologi. Padahal, unsur religiusitas maupun nasionalisme yang menyusup ke dalam berbagai ekspresi politik di media sosial akan mengentalkan fanatisme dan mengukuhkan polarisasi masyarakat. Jika tidak segera diatasi, menguatnya fanatisme dan polarisasi masyarakat berpotensi menyulut konflik sosial serta mengancam persatuan bangsa.
Jalan Menuju Keberagaman
Kebudayaan sebenarnya mampu menjawab tantangan zaman untuk mencegah sekaligus mengatasi polarisasi masyarakat akibat fanatisme di era disinformasi. Menurut F. Budi Hardiman dalam buku Aku Klik maka Aku Ada (2021), orang-orang fanatik perlu melatih kesadaran akan keterbatasan sudut pandangnya untuk mengurangi obsesi terhadap klaim kebenaran atas pemahamannya sendiri. Dampak polarisasi masyarakat akibat fanatisme dapat diminimalisir jika orang-orang fanatik diberi kesempatan untuk mengalami kontak dengan berbagai kebudayaan dan agama, hingga terbiasa menghadapi keberagamaan.
Kebudayaan memang menjadi salah satu jalan untuk mengembangkan masyarakat yang ramah terhadap keberagaman. Namun, kebudayaan tidak selalu bisa menjadikan masyarakat ramah terhadap keberagaman. Apalagi, masyarakat dengan kebudayaan yang homogen tentunya tetap memiliki risiko menjadi intoleran. Indonesia beruntung diberkati masyarakat dengan kebudayaan yang heterogen. Imbasnya, kebudayaan di Indonesia berguna sebagai penjaga persatuan bangsa lantaran secara alamiah masyarakatnya sudah terbiasa menemui perbedaan dalam kehidupan sehari-hari.
Kebudayaan mempunyai fungsi yang vital sebagai fondasi fundamental dalam sendi kehidupan masyarakat. Jika nilai-nilai kebudayaan telah mengakar dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, maka polarisasi masyarakat akibat fanatisme di era disinformasi bisa dengan mudah dicegah sekaligus diatasi. Nilai-nilai kebudayaan yang dimaksud adalah ramah pada keberagaman dan peduli terhadap sesama.
Kebudayaan dapat mengubah pola pikir manusia menjadi lebih terbuka terhadap perbedaan. Kegiatan seni budaya bisa memberikan visibilitas terhadap pengalaman kekerasan yang dibungkam, sehingga menciptakan narasi solidaritas dan seiring berjalannya waktu membantu merekonstruksi tatanan sosial melalui keterlibatan secara eksplisit dalam trauma. Hal tersebut menunjukkan kontribusi kegiatan seni budaya terhadap peningkatan kesadaran akan kekerasan struktural di masyarakat. Kegiatan seni budaya yang melibatkan masyarakat dapat mengembalikan fungsi ruang publik untuk memulihkan rasa kebersamaan dan mengurangi kerentanan terhadap kekerasan.
Nilai intrinsik kegiatan seni budaya sebagai mekanisme pengalaman bersama (secara individu maupun kolektif) untuk menghadapi kerasnya kenyataan hidup memberi makna dalam konteks sosial-politik, kekerasan yang terjadi, serta kemungkinan adanya perubahan. Kegiatan seni budaya perlu melibatkan keberagaman untuk menyuarakan kerentanan terhadap kekerasan yang terjadi di masyarakat agar memungkinkan adanya inklusivitas. Masyarakat dari generasi dan kelompok identitas yang berbeda harus secara bersama-sama mendefinisikan kegiatan seni budaya dalam makna membangun kembali ikanan sosial dan mendorong interaksi damai.
Misalnya, pencegahan ekstremisme kekerasan pasca konflik sosial di Ambon pada tahun 1999 dengan menggunakan musik HipHop. Melalui teknik rap dalam musik HipHop, anak-anak muda di Ambon bisa menyuarakan keluh kesahnya serta berkawan tanpa rasa takut dan curiga terhadap perbedaan agama. Selama bertahun-tahun pasca konflik, permukiman warga di Ambon dipisahkan berdasarkan kelompok agama. Namun, komunitas musik HipHop dapat menjadi medium rekonsiliasi sekaligus ruang perjumpaan anak-anak muda Ambon dari beragam latar belakang dan agama.
Meski tidak secara langsung menangani konflik struktural dan ekonomi, musik cenderung menghentikan kekerasan yang intens. Sebagai alat pembangun perdamaian, musik bisa menumbuhkan rasa empati, menangani luka dan trauma masa lalu, serta menyebarkan informasi baru terkait konflik yang bersifat stereotip. Selain itu, sebagai alat pembangun perdamaian, musik juga dapat menjadi pemersatu yang inklusi dan ruang netral untuk berekspresi melalui narasi. Dampaknya terhadap peningkatan harapan akan masa depan tanpa kekerasan menyebabkan UNESCO menetapkan Ambon sebagai kota musik dunia.
Selain itu, pentingnya mengupayakan untuk memanusiakan manusia tercermin pula dalam efektivitas kebudayaan sebagai metode rekonsiliasi konflik sosial yang diusulkan sejumlah mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) dalam penelitiannya terkait sentimen negatif Indonesia-Malaysia. Metode rekonsiliasi ini berupaya meminimalisir aspek potensi dan risiko konflik, serta memulihkan hubungan antara kedua belah pihak dengan berbagai pendekatan kebudayaan. Absherina Olivia Agatha, Adinda Dwi Safira, Riqko Nur Ardi Windayanto, dan Arif Akbar Pradana menawarkan rekonsiliasi konflik dengan pendekatan kebudayaan untuk memperbaiki hubungan kedua negara agar tidak terlalu bergantung pada upaya politik-diplomatik.
Rekonsiliasi konflik dengan pendekatan kebudayaan tersebut merujuk pada konsep negara serumpun. Hasil penelitian mengamati sentimen negatif Indonesia-Malaysia meningkat selama periode 2016-2021. Sentimen negatif Indonesia-Malaysia terlihat dari ujaran kebencian seperti indon, malingsial, sampai ganyang Malaysia. Sentimen negatif kedua negara dilanggengkan media massa dan diamplifikasi media sosial.
Komunikasi digital melalui media sosial telah melampaui batas wilayah antar negara. Kalau komunikasi digital lintas negara melalui media sosial tidak diimbangi dengan sikap ramah keberagaman dan peduli terhadap sesama manusia, maka berpotensi menimbulkan berbagai permasalahan yang lebih runyam.
Di tengah derasnya arus informasi dan cepatnya komunikasi digital dari luar negeri, program Indonesiana TV menyajikan berbagai kebudayaan lokal yang menyatukan bangsa Indonesia dalam keberagaman, kesetaraan, dan keterbukaan. Program Indonesiana TV dikelola Balai Media Kebudayaan (BMK) dan berada di bawah naungan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek. Melalui jaringan televisi kabel, website, dan mobile app, Indonesiana TV menyebarluaskan tayangan edukasi tentang kekayaan dan keragaman budaya Indonesia sebagai perwujudan akses publik yang merata serta berkeadilan pada bidang konten kebudayaan digital.
Selain Indonesiana TV, peran pemerintah sebagai regulator, fasilitator, dan motivator dalam mengoptimalkan kebudayaan sebagai pemersatu bangsa juga terwujud dalam program Pekan Kebudayaan Nasional (PKN). Direktorat Jenderal Kebudayaan untuk pertama kalinya menyelenggarakan PKN di Istora Senayan, Jakarta pada 7-13 Oktober 2019 lalu.
PKN merupakan perwujudan amanat Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. PKN menjadi wadah yang memfasilitasi ruang ekspresi keberagaman dan mendorong interaksi budaya agar kebudayaan Indonesia makin inklusif.
Sebagai ruang bersama, PKN bisa menggiatkan masyarakat untuk bersikap saling memahami, menghargai, dan menghormati. Apalagi, PKN menjadi momen pertemuan langsung antar kebudayaan di seluruh Indonesia untuk saling berkolaborasi dan memahami perbedaan satu sama lain. Indonesiana TV dan PKN sama-sama menjadi program yang mendorong pertemuan dan pertukaran budaya dengan menghilangkan berbagai hambatan menuju masyarakat ramah keberagaman, terutama terkait batas-batas geografis.