Sejumlah orang yang menjadi pemegang saham PT Garuda Mitra Sejati (GMS) diduga menjadi korban penipuan investasi hotel di Yogyakarta. Salah satu korban yang juga pemegang saham PT GMS bernama Anton Juwono melaporkan dugaan penipuan tersebut kepada Polisi Daerah (Polda) DI Yogyakarta sejak Jumat (8/12/2023).
“Korban telah melaporkan terduga pelaku berinisial SKN ke Kepolisian Daerah (Polda) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY),” kata kuasa hukum para korban, Julius Rutumalessy di Yogyakarta, Jumat (5/1/2024).
Julius Rutumalessy menjelaskan, dugaan penipuan bermula saat PT GMS menawarkan penambahan saham sebanyak 49 lembar dengan harga Rp1,160 miliar per lembar kepada para pemegang saham pada tahun 2018 silam. SKN selaku direktur utama PT GMS membeli 24 lembar saham tersebut.
Pembayarannya berdasarkan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) pada waktu itu disepakati secara tunai. Dalam praktiknya, SKN tidak membayar saham sesuai dengan kesepakatan sebelumnya.
SKN membayar dengan menerbitkan 24 lembar cek atau bilyet giro yang masing-masing cek bernilai Rp1,160 miliar. Namun, dari sekian cek hanya ada satu cek yang dapat dicairkan.
“Namun, dari puluhan cek itu hanya satu yang bisa dicairkan oleh PT GMS. Sampai jatuh tempo pada bulan Mei 2018 hanya satu lembar cek yang bisa dicairkan, sedangkan 23 cek lainnya tidak bisa dicairkan,” katanya.
Buat Kebijakan Sepihak Untungkan SKN
Kemudian pada Maret 2019, direksi PT GMS melakukan tindakan yang tidak dikomunikasikan terlebih dahulu dengan para pemegang saham, dan secara sepihak mengambil tindakan-tindakan yang diduga menguntungkan SKN yang saat itu menjabat direktur utama.
Tindakan itu berupa pihak direksi tetap memproses pembeloan saham yang dilakukan SKN, mesikpun 23 cek yang diberikan tidak dapat dicairkan.
“Tindakan direksi yang menguntungkan SKN antara lain 23 cek tidak bisa dicairkan tetapi pembelian saham tidak dibatalkan, pembayaran yang disepakati secara tunai tetapi secara sepihak diubah menjadi tukar guling dengan aset yang dimiliki SKN,” kata Julius.
Menurut Julius, tidak ada setoran modal kepada PT GMS dalam transaksi pemeblian saham yang dilakukan SKN. Sebab yang terjadi adalah proses tukar guling dengan aset berupa sebidang tanah yang di atasnya berdiri hotel di kawasan Kota Yogyakarta.
Apalagi proses tukar guling yang dilakukan SKN secara hukum bermasalah karena dilakukan di bawah tangan, tidak ada akta nota riilnya. Belum lagi ternyata aset yang akan ditukargulingkan hingga saat ini masih dijaminkan di Bank Bukopin oleh SKN untuk keperluan perusahaannya yang lain.
Berhubung tidak ada akta nota riil, maka proses penyertaan modalnya menjadi bermasalah. Secara normal dalam praktik hukum, ketika seseorang menyertakan modal berupa aset maka harus ada akta inbreng untuk memasukkan aset itu menjadi aset perusahaan.
Sementara aset yang masih dijaminkan di Bank Bukopin akhirnya tidak bisa dibuatkan akta nota riil, sehingga akta inbreng pun tidak terjadi. Buntutnya aset yang hendak ditukargulingkan SKN dengan saham sampai sekarang masih atas nama SKN belum atas nama PT GMS.
Kerugaian GSM
Akibat hal itu PT GSM mengalami kerugian berupa tidak mendapatkan tambahan modal dari 24 saham yang diambil SKN karena tidak ada pembayaran senilai Rp26 miliar sebagaimana yang dijanjikan. Selain itu, PT GMS harus menanggung beban utang ke Bukopin karena aset yang ditukargulingkan oleh SKN masih dijaminkan dan belum lunas pembayarannya.
“PT GMS yang menaungi usaha di bidang mal dan perhotelan yaitu Jogja City Mall, Sleman City Hall, dan Hotel Rich ini harus menanggung beban utang SKN di Bank Bukopin,” kata Julius.
Mantan Direktur Umum PT GMS yang juga turut terlapor, GSS mengakui ada penyimpangan dalam pembelian 24 lembar saham oleh SKN. Sebab pada waktu itu aset Hotel Top Malioboro masih dijaminkan di Bukopin.
“Kami tidak tanya kepada Bukopin, yang penting SKN itu sah untuk 24 sahamnya. Pada waktu itu 24 saham sudah disahkan dan para owner tidak tahu kalau SKN membeli dengan tukar guling,” katanya.
“Setelah itu terjadi polemik dan kami juga memikirkan kalau tidak ada perjanjian jual beli (PJB)-nya yang dibuat notaris bagaimana ini. Direksi PT GMS kemudian membuat PJB tanpa notaris,” sambung GSS.
Akhirnya mereka membuat PJB tanpa notaris. Pada waktu itu harganya dibuat Rp45 miliar, meskipun nilai aslinya hanya Rp21 miliar.
“Saya akui salah membuat PJB tanpa notaris yang akhirnya merugikan PT GMS. Saya tidak mau lepas tangan dan siap menerima risiko dari kejadian itu secara hukum,” katanya.
Sementara itu, pihak korban kata Julius, memohon kepada Kapolda DIY agar benar-benar memberikan perhatian khusus dalam penyelesaian kasus dugaan tindak pidana penipuan ini.
“Dan ingin segera ditingkatkan status pemeriksaan perkara pada tahap penyidikan, untuk selanjutnya dapat dilimpahkan kepada Kejaksaan Negeri,” katanya.
Sampai saat ini pihak SKN sendiri masih belum buka suara terkait dugaan kasus yang menjeratnya.