Ketua BPN Perhimpunan Bantuan Hukum & Hak Asasi Manusia (PBHI), Julius Ibrani mendesak impeachment atau pemakzulan terhadap Presiden Joko Widodo. Dia menduga Jokowi telah melakukan obstruction of justice atau menghalangi penyidikan dalam kasus korupsi mega proyek E-KTP yang melibatkan Setya Novanto.
“Kami menyarankan (Jokowi) di-impeachment, bukan hanya interpelasi. Kami menyarankan DPR RI melakukan impeachment,” ujar Julius saat dihubungi, Minggu (3/11/2023).
Julius menuturkan tidak ada dasar hukum Jokowi bisa memanggil eks Ketua KPK Agus Raharjo untuk bertanya terkait dengan kasus yang sedang ditangani oleh KPK.
“Artinya setiap bentuk pertanyaan terhadap perkara, setiap bentuk intip-intipan terhadap perkara itu harus dianggap sebagai bukan hanya intervensi, tapi perbuatan menghalang-halangi proses hukum,” ujarnya.
Dalam wawancara dalam program Rossi di Kompas TV, Agus mengaku pernah dipanggil Jokowi ke Istana Negara, Jakarta. Kala itu, Agus menyebut Jokowi marah dan meminta kasus korupsi E-KTP yang menjerat Setnov dihentikan.
Namun, Agus menyebut tidak bisa melakukan itu lantaran KPK tidak memiliki kewenangan untuk menghentikan perkara.
Dalam prosesnya, Setnov divonis terbukti korupsi dan dijatuhi hukuman penjara 15 tahun dan denda Rp500 juta. Eks Ketum Golkar ini juga diminta membayar uang pengganti sebesar US$7,3 juta. Hak politiknya juga dicabut selama lima tahun.
Terkait dengan impeachment, Julius mengingatkan DPR bisa menjadi target selanjutnya Jokowi meski saat ini berkoalisi. Sebab, dia berkata Jokowi sudah berhasil menghancurkan lembaga sebesar KPK.
“Bukan berarti Jokowi selanjutnya bisa menghancurkan DPR RI lewat UU MD3 dan lain-lain. Sedangkan partai besar yang membesarkan dia saja bisa dia khianati. Apa jaminan ke depan partai yang memenangkan dia atau anaknya tidak dia khianati,” ujar Julius.
“Preseden buruk ini harus dihentikan, bukan hanya pada level interpelasi. Maka perlu ada ruang untuk impeachment. Apakah impeachment itu terbukti atau tidak di MK, itu urusan belakangan,” ujarnya,
“Tapi publik perlu terbuka mata dan telinganya mendapat informasi yang penting seperti ini sehingga anggaran negara bobrok hancur karena korupsi tapi tidak bisa ditangani oleh KPK karena sengaja didesain untuk dibunuh,” ujar Julius.
Lebih lanjut, Julius menegaskan Jokowi secara sistematis telah membunuh KPK. Hal itu terlihat dari revisi UU KPK yang membuat KPK menjadi di bawah presiden. Intervensi terhadap perkara yang ditangani KPK seperti kasus E-KTP juga memperkuat hal tersebut.
Bahkan, Julius membeberkan Jokowi pernah memanggil tiga ahli hukum, yang salah satunya kini sudah menjadi hakim MK guna bertanya bahwa Setnov tidak bersalah.
“Teman-teman perlu tahu juga ada tiga ahli hukum yang dipanggil ketika itu. Tiga ahli hukum yang dipanggil ini pertanyaanya juga sama tanpa ada pengantar terlebih dahulu dari Presiden Joko Widodo. Jadi langsung di tembak ‘Setya Novanto tidak bersalah kan?’, ujar Julius.
“Ketiganya kompak menjawab jelas bersalah dengan berbagai penjelasan,” ujarnya menambahkan.
Julius menjelaskan KPK adalah lembaga independen, bukan di bawah kekuasaan politik subordinasi manapun yang bekerja dalam penegakan hukum, secara spesifik terkait dengan tindak pidana korupsi.
Oleh karena itu, Julius berkata KPK yang menjalankan fungsi ajudikasi tidak boleh mendapat intervensi dalam menjalankan tugas pemberantasan korupsi oleh lembaga lain.
“Sama seperti proses hukum manapun, dia (KPK) tidak boleh ditanyain, diintervensi, diintip-intip segala macam, tidak boleh. Dan seluruh kinerjanya, dokumennya merupakan rahasia negara. Seperti BAP, bukti-bukti, keterangan-keterangan dan segala macamnya,” ujar Julius.
Di sisi lain, Julius juga menilai Jokowi telah melanggar etika sebagai kepala negara. Merujuk filsafat, dia menegaskan bentuk pelanggaran hukum sudah pasti melanggar etik.
“Makanya ketika ia (Jokowi) menanyakan itu (kasus E-KTP), menurut saya itu jelas obstruction of justice. Itu sudah melanggar etik, moralitas publik juga, termasuk melanggar moralitas ketata negaraan kita,” ujarnya.