Menkopolhukam Mahfud MD mendukung penerapan hukuman mati bagi koruptor, menganggapnya sebagai sebuah tindakan yang merusak jantung dan aliran kehidupan sebuah bangsa. Pernyataan ini disampaikannya di Kantor Kemenkopolhukam, Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat (10/12/2019).
“Saya sejak dulu sudah setuju hukuman mati koruptor, karena itu merusak nadi, aliran darah sebuah bangsa, itu dirusak oleh koruptor,” kata Mahfud di Kantor Kemenkopolhukam, Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat (10/12/2019).
Saat ini Mahfud MD secara resmi diumumkan sebagai calon wakil presiden (Cawapres) yang akan mendampingi Ganjar Pranowo. Pengumuman ini disampaikan oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dalam acara deklarasi bersama partai-partai koalisi yang berlangsung di Kantor DPP PDIP, Jakarta (18/10/2023).
Melalui pernyataannya yang eksplisit dan pengumumannya sebagai Cawapres, apakah kemungkinan bahwa undang-undang (UU) terkait korupsi akan diperkuat jika Mahfud MD berhasil memenangkan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 dan menjabat sebagai Wakil Presiden RI?
Kendala Hukuman Mati Koruptor Menurut Mahfud
Hal ini mengingat adanya beberapa kendala yang menghalangi keadilan hukum dan keinginan masyarakat. Kendala pertama adalah keputusan akhir dari hakim dan jaksa. Kendala kedua adalah kelemahan UU Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR).
“Karena perangkat hukum yang tersedia sudah ada. Makanya sudah masuk di UU, artinya pemerintah serius, tapi kan itu urusan hakim,” ujar Mahfud.
Perangkat hukum atau UU yang dimaksud oleh Mahfud merujuk pada UU Nomor 31 Tahun 1999 dan telah diubah serta dimuat kembali dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 terkait Tindak Pidana Korupsi.
Terlepas dari hukuman dan pasal yang telah berlaku terkadang hukuman bagi peklaku korupsi tetap berada di tangan hakim dan jaksa. Mahfud menjelaskan bahwa dalam beberapa kasus, pelaku korupsi justru dijatuhi hukuman yang ringan atau bebas.
“Kadang kala hakimnya malah mutus bebas, kadang kala hukumannya ringan sekali. Kadang kala sudah ringan dipotong lagi. Ya sudah itu, urusan pengadilan. Di luar urusan pemerintah” lanjutnya.
Selain dari keputusan final yang berada di tangan hakim dan jaksa, UU Tipikor menurutnya butuh perincihan lebih lanjut.
“Sebenarnya kan sudah ada ancaman hukuman mati kalau melakukan pengulangan dan atau melakukan korupsinya di saat ada bencana. Itu sudah ada, cuma kriteria bencana itu yang belum dirumuskan,” ujar Mahfud.
Dalam UU tersebut, bencana yang dimaksud dijelaskan kembali dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor menyebutkan:
Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Menanggapi pertanyaan ini, Mahfud MD menyatakan bahwa perangkat hukum yang ada sudah ada, termasuk dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah direvisi oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 mengenai Tindak Pidana Korupsi. Namun, penegakan hukum tetap tergantung pada hakim.
Selain itu, UU TIPIKOR, menurutnya, memerlukan klarifikasi lebih lanjut, terutama dalam kriteria ‘bencana’. Sampai saat ini, hukuman mati bagi koruptor belum ditegaskan karena belum ada definisi yang jelas mengenai ‘bencana’ dalam UU TIPIKOR.
Penjelasan pasal 2 ayat (2) UU TIPIKOR mengenai ‘keadaan tertentu’ menyebutkan bahwa ini mencakup pengulangan tindak pidana korupsi, korupsi saat bencana alam nasional, atau saat negara mengalami krisis ekonomi dan moneter.
Mahfud menekankan perlunya klarifikasi lebih lanjut mengenai kriteria ‘bencana’ dalam UU TIPIKOR agar hukuman mati bagi koruptor dapat ditegakkan.
Mampukah Mahfud MD mewujudkan mimpi keadilan hukum masyarakat Indonesia menghilangkan opini ‘hukum tumpul tajam kebawah tumpul keatas’.