Eksklusif

Tak Selamanya Gula itu Jahat

Yopi Makdori — Asumsi.co

featured image
Ilustrasi

Gula menjadi barang penting bagi Tya Shakina Putri. Tanpa gula, bisa jadi perempuan berusia 22 tahun itu bakal menjalani hari sambil uring-uringan.

Tya punya seribu alasan untuk terus mengkonsumsi makanan dan minuman manis. Bila dahaga tiba, minuman manis obatnya. Bahkan Tya sempat menjadi orang yang menolak air mineral.

“Waktu itu saya sama sekali tidak mau minum air putih, rasanya enek kayak mau muntah. Tapi baru-baru ini saya sudah bisa minum air putih, sejak tinggal sama kakak di Jakarta,” kata Tya berbicara kepada Asumsi.co beberapa waktu lalu.

Tak hanya soal minuman. Untuk masalah cemilan pun ia sudah pasti akan memilih yang manis-manis. Kebiasaan Tya ini sudah berlangsung sejak ia masih anak-anak.

“Rasanya kayak lebih bahagia ketika minum manis atau makan-makanan manis,” ungkapnya.

Namun, Tya kini sudah berdamai dengan air mineral. Semakin dewasa, kesadaran soal kesehatan makin terbuka. Sekarang ia paham betul, kalau gula berlebih tak baik bagi kesehatannya.

Sebenarnya apa yang terjadi apa Tya bukanlah hal aneh. Apalagi sifat primitif manusia disebut tetap melekat pada manusia modern.

Peneliti di BrainsCAN, Western University, Kanada, Amy Reichelt mengatakan, manusia memiliki sistem otak bawaan yang membuat mereka menyukai makanan manis karena merupakan sumber energi yang bagus untuk bahan bakar tubuh. Mekanisme dalam sistem otak manusia ini ditujukan untuk memaksimalkan kelangsungan hidup mereka sebagai spesies di dunia.

“Ketika kita makan makanan manis, sistem penghargaan otak, yang disebut sistem dopamin mesolimbik, diaktifkan. Dopamin adalah zat kimia otak yang dilepaskan oleh neuron dan dapat memberi sinyal bahwa suatu peristiwa itu positif. Ketika sistem penghargaan diaktifkan, itu memperkuat perilaku, membuatnya lebih mungkin bagi kita untuk melakukan tindakan ini lagi,” kata Amy Reichelt melalui The Conversation.

Amy Reichelt menerangkan, otak manusia secara fungsional masih sangat mirip dengan nenek moyang mereka dalam kesukaannya terhadap gula. Padahal dahulu nenek moyang manusia cukup sulit mencari makanan yang mengandung gula.

Sehingga membuat otak secara alamiah mendorong manusia mencari lebih banyak gula untuk mempertahankan eksistensi mereka. Namun konsumsi gula nenek moyang manusia saat itu masih tergolong rendah. Berbeda dengan era modern di saat makanan dan minuman yang mengandung gula begitu berlimpah.

Mekanisme seperti ini pada gilirannya membuat otak terus menerus untuk merangsang manusia mengonsumsi gula. Menurut Amy, aktivitas berulang dengan banyak mengonsumsi makanan manis menyebabkan otak beradaptasi dengan rangsangan yang sering, yang mengarah ke semacam toleransi.

“Dalam hal makanan manis, ini berarti kita perlu makan lebih banyak untuk mendapatkan perasaan memuaskan yang sama — ciri klasik kecanduan,” jelasnya.

Baca Juga:

Mengintip Akibat Kebanyakan Mengkonsumsi Gula

Share: Tak Selamanya Gula itu Jahat