Pertamina bakal mulai menguji coba mekanisme pembelian bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite dan solar menggunakan platform My Pertamina mulai 1 Juli mendatang. Uji coba hanya dilakukan di sejumlah provinsi, seperti Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Jawa Barat, dan DI Yogyakarta.
Paksa rakyat: Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menuding kebijakan tersebut sebagai langkah pemerintah untuk memaksa masyarakat menggunakan bahan bakar minyak non-subsidi, seperti Pertamax.
“Kalau sekarang pasti banyak yang keberatan karena dipaksa beli Pertamax, padahal ada 115 juta orang kelas menengah rentan di Indonesia,” ujar Bhima kepada Asumsi.co, Rabu (29/6/2022).
Tingkatkan celah: Bhima menyampaikan, penggunaan platform My Pertamina untuk pembelian BBM bersubsidi dapat memperlebar celah BBM tersebut jatuh ke tangan dunia industri. Karena bisa saja kalangan industri meminjam Nomor Induk Kependudukan (NIK) dari mereka yang berhak mendapatkan BBM bersubsidi.
“Sangat mungkin yang terjadi justru penggunaan My Pertamina meningkatkan celah untuk menjual kepada pelaku industri (pihak yang tidak berhak), karena oknum yang harusnya tidak berhak mendapat subsidi dapat meminjam NIK, atau kendaraan dengan pelat nomor berbeda,” ujarnya.
Verifikasi sulit: Belum lagi verifikasi di lapangan, kata Bhima, bukan perkara mudah. Sebab petugas harus melayani pembeli sekaligus melakukan pendataan. Ini menambah rumit pengawasan di lapangan.
“Celah ini muncul karena belum adanya verifikasi dan akurasi data penerima BBM jenis subsidi terutama solar. Kalau solar misalnya untuk nelayan atau UMKM, maka pemerintah harus punya dahulu data by name by address tiap rumah tangga atau NIK nelayan dan pelaku UMKM,” ujar dia.
Data belum siap: Sementara untuk BBM jenis Pertalite, menurut Bhima fase pertama adalah sinkronisasi data dengan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Sehingga yang berhak membeli BBM subsidi benar-benar rumah tangga tidak mampu.
“Sekarang pertanyaannya, My Pertamina mau disinkronkan dengan data apa? Belum ada informasi detailnya, karena baru rencana menyinkronkan dengan data kendaraan. Masalah utamanya, data belum siap,” tekannya.
Terlebih lagi pembatasan BBM bersubsidi dilakukan saat disparitas harga BBM non-subsidi dan subsidi terlampau jauh. Contohnya, kata Bhima Pertamax dan Pertalite yang selisihnya mencapai Rp 4.000 lebih per liter.
Baca Juga:
Polisi Bongkar Praktik SPBU Curangi Takaran Pakai Remote Control
Uji Coba Beli Pertalite Pakai MyPertamina Tak Berlaku untuk Motor