Penembakan massal kembali terjadi untuk sekian kalinya di Amerika Serikat (AS). Paling segar adalah yang berlangsung di luar sebuah klub malam di Chattanooga, Tennessee pada Minggu malam (5/6/2022). Penembakan itu setidaknya menewaskan tiga orang, sementara 14 orang lainnya luka-luka.
Kemudian ada aksi penembakan di Klinik Warren, Tulsa, negara bagian Oklahoma, AS yang menewaskan lima orang termasuk penembak pada awal Juni ini.
Belum lama penembakan massal juga menimpa sebuah sekolah dasar (SD) di Uvalde, negara bagian Texas, AS pada 24 Mei 2022. Penembakan massal yang menimpa Robb Elementary School itu menewaskan 19 anak dan tiga orang dewasa, serta mengakibatkan sejumlah lainnya dilarikan ke rumah sakit.
Selang lima hari sebelum insiden itu, AS juga mengalami kasus penembakan massal di dekat sebuah restoran waralaba pada Kota Chicago, negara bagian Illinois. Peristiwa yang terjadi pada 19 Mei 2022 itu mengakibatkan dua orang tewas dan delapan lainnya terluka parah.
Melansir laporan sebuah organisasi pengumpulan data independen, Gun Violence Archive, sepanjang tahun ini setidaknya AS mengalami 246 kali aksi penembakan massal. Kelompok ini memakai parameter penembakan massal dengan kriteria di mana empat orang atau lebih ditembak atau terbunuh, tidak termasuk si penembak.
Gun Violence Archive menyebut kasus penembakan massal di negeri Paman Sam mengalami tren peningkatan sejak 2018. Tahun lalu insiden penembakan massal di sana menyentuh angka lebih dari 600 kasus. Padahal di 2018 baru di angka 300-an kasus.
Sejumlah pihak berjibaku untuk mengurai akar masalah. Beberapa pihak berspekulasi, hal itu karena masyarakat Amerika yang luar biasa kejam, atau perpecahan rasialnya telah merusak ikatan masyarakat. Ada juga yang beranggapan warga AS tidak memiliki perawatan kesehatan mental yang layak.
Namun, penjelasan di atas telah dibantah oleh temuan sejumlah ilmuwan. Mengutip tulisan yang diturunkan The New York Times (7/11/2017), satu-satunya variabel yang dapat menjelaskan tingginya tingkat penembakan massal di Amerika adalah jumlah senjata yang sangat banyak.
Populasi orang Amerika hanya sebanyak sekitar 4,4 persen dari total populasi global, tetapi mereka memiliki 42 persen senjata dunia. Menurut sebuah studi yang dilakukan profesor di University of Alabama, Adam Lankford pada 2015 menunjukkan selama rentang waktu 1966 hingga 2012, 31 persen orang bersenjata dalam penembakan massal di seluruh dunia adalah orang Amerika.
Riset Lankford menemukan, tingkat kepemilikan senjata suatu negara berkorelasi dengan kemungkinan terjadinya penembakan massal. Hubungan ini bertahan bahkan ketika dia mengecualikan Amerika Serikat. Hasil itu bertahan ketika dia mengendalikan variabel tingkat pembunuhan di suatu negara. Itu menunjukkan bahwa penembakan massal lebih baik dijelaskan oleh akses masyarakat ke senjata daripada oleh tingkat kekerasannya yang menimpa negara itu.
Di sisi lain, kesehatan mental juga kata Lankford tidak menjadi pendorong utama maraknya kasus penembakan massal di AS.
Jika kesehatan mental membuat perbedaan, maka itu bermakna bahwa orang Amerika memiliki lebih banyak masalah kesehatan mental daripada orang di negara lain dengan lebih sedikit kasus penembakan massal. Tetapi faktanya tingkat pengeluaran perawatan kesehatan mental di Amerika Serikat, jumlah profesional kesehatan mental per kapita dan tingkat gangguan mental yang parah semuanya sama dengan negara-negara maju lainnya.
Sebuah studi tahun 2015 memperkirakan bahwa hanya 4 persen kematian Amerika yang dapat dikaitkan dengan masalah kesehatan mental. Dan Lankford, dalam sebuah email kepada The New York Times mengatakan, negara-negara dengan tingkat bunuh diri yang tinggi cenderung memiliki tingkat penembakan massal yang rendah.
Video gim juga tidak menjadi faktor utama terjadinya aksi penembakan massal di AS. Keragaman ras atau faktor lain yang terkait dengan kohesi sosial juga menunjukkan sedikit korelasi dengan kematian akibat senjata. Di antara negara-negara Eropa, ada sedikit hubungan antara imigrasi atau metrik keragaman lainnya dan tingkat pembunuhan senjata atau penembakan massal.
Senada dengan Lankford, riset Julian Santaella-Tenorio, dan kawan-kawan yang bertajuk “What Do We Know About the Association Between Firearm Legislation and Firearm-Related Injuries?” mengungkap bahwa banyaknya warga negara yang memiliki senjata sejalan dengan maraknya aksi penembakan.
Sementara undang-undang kontrol senjata cenderung mengurangi pembunuhan senjata. Ini menunjukkan bahwa senjata itu sendiri yang memicu kekerasan.
Meski demikian, sejumlah upaya telah dilakukan AS untuk menekan penembakan massal, terutama di sekolah. Mereka sampai memperkerjakan polisi sekolah untuk mencegah insiden nahas itu menimpa pelajar. Odis Johnson, Direktur Eksekutif Pusat Johns Hopkins untuk Sekolah Aman dan Sehat sekaligus seorang profesor kebijakan sosial berkata sebaliknya.
Mengutip laporan pada laman resmi Johns Hopkins University, dia melihat bahwa kebijakan keamanan sekolah tidak memperlambat terjadinya penembakan pada sekolah di Amerika Serikat. Menurut Odis Johnson, akses senjata yang mudah di AS menjadi biang kerok meningkatnya aksi penembakan massal selama ini. Alih-alih menempatkan polisi pada sekolah, menurut dia pembuat kebijakan mestinya memperketat akses rakyat AS terhadap senjata.
Meskipun ratusan penembakan massal terus terjadi di AS, Kongres telah berulang kali gagal meloloskan undang-undang kontrol senjata di tingkat Federal. Pendukung pengendalian senjata telah menguraikan rencana yang luas dan spesifik untuk menurunkan jumlah kematian yang disebabkan oleh senjata api di AS.
Kebijakan tersebut termasuk mewajibkan pemeriksaan latar belakang untuk semua pembelian senjata, termasuk yang diawasi oleh penjual tidak berlisensi secara online atau di pameran senjata, dan memberlakukan masa tunggu setelah seseorang membeli senjata api.
Para aktivis juga menyerukan untuk memperluas pembatasan pada orang-orang yang dapat memperoleh senjata secara legal. Melansir The Guardian (25/5/2022), mereka mendesak supaya orang yang kasar, mereka yang dihukum karena kejahatan kebencian dan orang-orang dengan penyakit mental yang menimbulkan risiko keamanan harus dilarang membeli senjata api. Beberapa telah mengusulkan pelarangan pembelian senjata oleh orang-orang di bawah 21 tahun.
Beberapa negara bagian AS sebetulnya telah memberlakukan undang-undang senjata yang lebih ketat, tetapi undang-undang Federal akan memperkuat pembatasan secara nasional.
Menurut survei Morning Consult/Politico yang dilakukan tahun lalu, 84 persen pemilih Amerika mendukung pemeriksaan latar belakang universal untuk pembelian senjata. Tetapi pendapat lebih bervariasi ketika orang Amerika ditanya tentang pemikiran mereka mengenai undang-undang senjata yang lebih ketat secara umum.
Sebuah jajak pendapat November yang dilakukan oleh Gallup menemukan bahwa 52 persen orang Amerika mendukung kontrol senjata yang lebih ketat, yang menandai peringkat terendah pada pertanyaan tersebut sejak 2014. Dukungan untuk larangan pistol juga mencapai titik terendah baru pada tahun 2021, dengan hanya 19 persen orang Amerika yang memberi tahu Gallup bahwa mereka akan mendukung kebijakan semacam itu.
Keraguan mereka terhadap pengetatan senjata mungkin berasal dari fakta bahwa puluhan juta orang Amerika memiliki senjata sendiri. Survei Pew Research Center di 2021, menunjukkan bahwa empat dari 10 orang Amerika tinggal di rumah tangga dengan senjata api, sementara 30 persen mengatakan mereka memilikinya secara pribadi.
Fraksi Partai Demokrat di Kongres telah berulang kali mendorong untuk memperkuat undang-undang senjata yang dapat membantu menurunkan jumlah penembakan massal di Amerika. Terutama, Kongres mencoba meloloskan RUU kompromi untuk memperluas pemeriksaan latar belakang pada tahun 2013, beberapa bulan setelah penembakan di sekolah dasar Sandy Hook di Newtown, Connecticut. Namun RUU itu gagal dalam filibuster [prosedur politik di mana satu atau lebih anggota badan legislatif memperpanjang perdebatan tentang undang-undang yang diusulkan sehingga menunda atau sepenuhnya mencegah keputusan diundangkan] Senat.
Hal itu karena sebagian besar Republikan dan segelintir Demokrat menentang undang-undang tersebut. Setelah RUU itu dikalahkan, kemudian Presiden Barack Obama menyampaikan pidato berapi-api menyalahkan kegagalan Asosiasi Senapan Nasional, yang menentang keras undang-undang tersebut dan bersumpah untuk berkampanye melawan senator mana pun yang mendukungnya.
“Alih-alih mendukung kompromi ini, lobi senjata dan sekutunya dengan sengaja berbohong tentang RUU itu,” kata Obama saat itu.
“Tapi kita bisa berbuat lebih banyak jika Kongres menyatukan tindakannya,” tambahnya.
Kini, legislatif yang dikuasai Demokrat telah meloloskan RUU untuk memperluas pemeriksaan latar belakang ke semua penjualan atau transfer senjata api. Jika resmi diundangkan, maka UU itu akan meningkatkan jumlah waktu yang harus ditunggu oleh penjual senjata berlisensi untuk menerima pemeriksaan latar belakang yang lengkap sebelum mentransfer senjata ke pembeli yang tidak berlisensi.
Tetapi RUU yang telah disahkan DPR itu saat ini memiliki peluang yang sangat kecil untuk lolos di Senat yang terbagi rata. Senator Republik kemungkinan besar akan melakukan filibuster terhadap undang-undang pengendalian senjata yang diusulkan. Sementara Demokrat tidak memiliki 60 suara yang diperlukan untuk mengajukan RUU tersebut.
Senator Demokrat Joe Manchin beberapa hari lalu juga menjelaskan bahwa dia tidak akan mendukung amandemen filibuster untuk meloloskan undang-undang pengendalian senjata, yang berarti Demokrat tidak memiliki suara untuk membuat aturan tersebut.
Baca Juga:
Penembakan Massal Kembali Terjadi di AS, Korbannya 3 Orang
Gereja Katolik di Nigeria Diserang saat Misa, Puluhan Tewas
Lagi, 3 Orang Tewas dalam Penembakan Massal di Philadelphia