Menteri Sosial Republik Indonesia Tri Rismaharini menuai kritik setelah dirinya memaksa tunarungu untuk berbicara. Risma memang telah mengklarifikasi kejadian tersebut. Namun tindakannya kadung jadi bola liar. Tak pelak Risma pun banyak mendapat komentar negatif.
Banjir Kritik
Perlakuan Risma di atas panggung langsung disambut kritik oleh Stefanus, perwakilan Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (Gerkatin). Stefan, melalui bahasa isyarat menyebut Risma tidak bisa memaksa anak tunarungu untuk berbicara seperti itu.
Menurut Stefan, bahasa isyarat penting bagi penyandang disabilitas rungu wicara. Menurut Stefan, seperti mata untuk melihat, bahasa isyarat akan memperjelas maksud dari percakapan yang disampaikan kepada orang dengan disabilitas rungu wicara.
Menanggapi kritik Stefan, Risma berargumen. Menurut dia, dirinya tidak mengesampingkan bahasa isyarat. Namun, ia mencontoh kemampuan Stafsus Kepresidenan, Angkie Yudistia yang penyandang disabilitas tuna rungu tapi bisa bicara karena berlatih.
“Sekarang dilatih terus oleh Mbak Angkie, sekarang bicaranya sangat jelas. Mengerti ya Stefan?,” kata Risma.
Ia juga menyebut kalau Tuhan memberikan mulut tentu ada manfaatnya. Oleh karena itu, Risma meminta agar penyandang disabilitas rungu wicara bisa memaksimalkan pemberian Tuhan.
Pernyataan Risma dibalas lagi oleh Stefan. Menurut dia, kemampuan bicara anak dengan disabilitas rungu wicara bermacam-macam. Ada yang akhirnya bisa berbicara, namun ada juga yang mengandalkan bahasa isyarat. Bahkan ada juga yang tidak bisa berbahasa isyarat.
“Jadi itu yang harus dihargai,” kata Stefan.
Termasuk Bullying
Kepada Asumsi.co, Phieter Angdika dari Gerkatin menyebut apa yang dilakukan Risma sangat berbahaya bagi keluarga dan anak yang menyandang disabilitas rungu wicara. Menurut dia, Risma memberi contoh yang kurang manusiawi kepada orang tua anak dengan disabilitas rungu wicara dan guru-guru.
“Orang tua dan guru pasti mengharapkan anak bisa bicara. Kalau bu Risma mencontohkan seperti itu, bisa jadi nanti ditiru oleh orang tua dan guru,” kata Phieter.
Padahal cara ini tidaklah tepat. Apalagi cara menekan yang dilakukan Risma di acara tersebut cenderung bisa mempermalukan anak di depan umum. Risma juga hendaknya mampu membedakan situasi seorang anak penyandang disabilitas rungu wicara dengan yang lainnya.
“(Ini) menekan, bullying. Tidak bisa toleransi dengan kemampuan anak secara individu,” kata dia.
Phieter pun menambahkan, pernyataan Risma soal Angkie juga tidak bisa digeneralisir. Menurut dia, untuk contoh seperti Angkie hanya ada satu dari lima orang dengan disabilitas rungu. Oleh karena itu, Risma tidak bisa membawa contoh Angkie untuk menekan semua anak dengan disabilitas rungu.
“Itu kembali kepada mutu pendidikan, keluarga, ekonomi, dan sebagainya,” ucap dia.
Hormati Hak Berekspresi
Dalam pernyataan tertulisnya Gerkatin menyebut apa yang dilakukan Risma juga telah melanggar UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Dalam UU itu, diatur penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan terhadap hak penyandang disabilitas.
Menurut Gerkatin, Risma mestinya menghormati hak berekspresi tunarungu untuk berbicara menggunakan bahasa isyarat alih-alih memaksakan penyandang disabilitas rungu untuk berbicara. Gerkatin juga mengingatkan bahasa isyarat juga merupakan bagian hak memperoleh informasi dan komunikasi bagi penyandang disabilitas rungu.
“Intinya ada pasal penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas rungu, hak berekspresi dan hak memperoleh informasi dan komunikasi,” tulis Gerkatin. (zal)
Baca Juga: