Warga DKI Jakarta bakal dilarang menggunakan air tanah untuk
kebutuhan keseharian. Dirjen Cipta Karya Kementerian PUPR Diana Kusumastuti
mengatakan, konsumsi air tanah oleh warga membuat penurunan daratan Jakarta
lebih cepat terjadi.
“Kami harus menghentikan penggunaan air tanah di DKI
Jakarta dan sekitarnya. Tentu untuk menjaga agar penurunan tanah di Jakarta tak
terjadi kembali,” kata Diana seperti dikutip Antara, Rabu (6/10/2021).
Walhi Ingin Transisi
Kebijakan Diperhatikan
Direktur Eksekutif Walhi Tubagus Soleh Ahmadi mengatakan,
Jakarta memang menghadapi laju penurunan permukaan tanah yang sangat cepat.
Bahkan, di beberapa titik di Jakarta, laju penurunan permukaan tanahnya ada
yang mencapai 20cm lebih. Namun, yang juga menjadi problem adalah, adanya
pencemaran air tanah yang dalam kategori cukup memprihatinkan.
“Di beberapa titik itu mencapai 20cm lebih pertahunnya
(penurunan permukaan tanah). Selain itu, kita dihadapi oleh pencemaran air
tanah jakarta yang juga sudah dalam tahap yang cukup mengerikan karena di
beberapa titik itu terdapat kategori tercemar berat ya,” katanya kepada Asumsi.co, Rabu (6/10/2021).
Maka, lanjut Tubagus, solusinya apabila pelarangan
penggunaan air tanah ini diberlakukan adalah, dengan memperluas cakupan sanitasi
air PAM ke seluruh pelosok warga DKI Jakarta. Sebab, kata dia, saat ini
ketersediaan fasilitas air PAM di DKI baru mencapai 64%.
“Nah di satu sisi, sambungan air oleh PDAM ini baru
mencapai 64%, artinya masih ada 36% warga DKI yang tidak terfasilitasi cakupan
air bersih. Apakah kebijakan ini dibutuhkan, ya sangat dibutuhkan. Tapi proses
transisinya yang harus diperhatikan oleh pemerintah. Pertama upaya transisi ini
harus dibarengi, kalau tidak berbarengan ini akan sulit,” jelas Tubagus.
Menurutnya, pelarangan penggunaan air tanah harus diikuti
dengan kebijakan di lapangan. Misalnya, dengan menertibkan seluruh gedung baik
swasta maupun milik pemerintah di DKI Jakarta, yang menggunakan air tanah untuk
beralih menggunakan air saluran terpusat.
Kebijakan itu juga harus diperkuat dengan data wilayah mana
saja di DKI Jakarta yang belum tercakup aliran PDAM.
“Dari sisi data harus diperkuat. Mana saja
gedung-gedung swasta dan pemerintahan atau pelaku bisnis apapun di area Jakarta
yang menggunakan air tanah. Maka mereka harus dilakukan prosedur transisi, di mana
mereka harus beralih menggunakan air saluran terpusat seperti PDAM, tidak lagi
air tanah. Kemudian misalnya data terkait wilayah, mana saja yang sejauh ini
belum mencakup fasilitas PDAM. Maka sambungan air bersih harus segera
dilengkapi hingga seluruh DKI Jakarta,” jelasnya.
“Kemudian prosedur ini juga harus didahulukan kepada
masyarakat, di mana wilayah mereka telah tercemar permukaan airnya. Dan juga
wilayah yang mengalami penurunan air tanah secara signifikan,” imbuhnya.
Rehabilitasi Air
Sungai dan Danau Juga Penting
Menurut Tubagus, rencana kebijakan ini juga harus diikuti
dengan semangat untuk memulihkan sumber air permukaan seperti danau dan sungai.
Karena itu merupakan sumber alternatif terkait penggunaan air tanah bagi kota-kota
modern seperti Jakarta.
“Berbarengan dengan itu, sumber air permukaan itu juga
harus dipulihkan karena air permukaan itu adalah alternatif. Dulu menjadi hal
utama, penggunaan air danau, sungai untuk kebutuhan sehari-hari. Tapi tetap
upaya pemulihan harus dilakukan,” jelasnya.
Meski demikian, Tubagus menegaskan bahwa pemerintah harus
perkuat data dalam proses transisi kebijakan penggunaan air ini.
“Sejauh ini belum ada yang memuat di wilayah mana di
DKI yang penyerapan air tanahnya itu paling besar, yang menyebabkan permukaan tanah
itu paling signifikan dimana? dimuali dari situ dulu mestinya pemerintah. Dari
stu kemiudian dicari gedung mana saja atau bisnis mana saja yang menggunakan
air tanah secara besar-besaran. Data ini harus diperbaiki, supaya kita punya
neraca air yang baik dan presisi,” tutupnya.
Penyebab Penurunan
Permukaan Tanah
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara,
Tata Mustasya, mengatakan, persoalan penurunan air tanah secara signifikan di
Jakarta akibat pembangunan ekonomi yang berlebihan. Tata kelola pembangunan
yang tidak mempertimbangkan faktor lingkungan, menjadi sebab utama mengapa
ancaman DKI Jakarta tenggelam pada 2045 sangat nyata.
“Meski sudah terlambat, tapi kebijakan ini harus
ditempuh dan menjadi sebuah keharusan ya. Ini akibat dari pembangunan ekonomi
yang tidak memasukan faktor lingkungan ke dalam skala prioritas,” ucap
Tata kepada Asumsi.co saat dihubungi
terpisah.
Selain itu, Tata juga meminta pemerintah untuk mengutamakan
kebutuhan penduduk DKI dengan memaksimalkan pelayanan dan cakupan saluran air
bersih atau PDAM secara menyeluruh.
“Secara konseptual ini arah yang baik dan harus
ditempuh. Tapi di sisi lain pemerintah tidak siap dengan pelayanan airnya untuk
warga. Pelayanan PDAM misalnya, kita ketahui sejauh ini belum tercukupi 100% wilayah
Jakarta. Artinya, masih ada warga DKI yang tidak bisa menikmati pelayanan ini.
Sehingga pemerintah harus dimulai dari sini dulu, sebelum memutuskan untuk
melarang penggunaan air tanah. Kota-kota modern mestinya penyaluran airnya harus
terpusat,” ujar Tata.