Banyak komentar miring soal pengakuan korban. Ironisnya, komentar itu justru dialamatkan langsung di kolom reply cuitan korban yang tentu akan masuk ke notifikasinya. Komentar tak punya empati itu kebanyakan menyalahkan kehadiran si korban di acara itu, pakaian yang dikenakan, hingga tudingan panjat sosial karena sosok Gofar sedang terkenal.
Tudingan dan komentar miring ini tentu membuat si korban perlu mengumpulkan lagi serpihan keberaniannya untuk tetap bersuara. Sementara yang dilakukan oleh para komentator ini adalah bentuk victim blaming.
Apa Itu Victim Blaming?
Secara sederhana, victim blaming adalah perilaku menyalahkan korban. Alih-alih mendapat pembelaan, korban malah dipersalahkan atas suatu tindakan jahat atau bahkan diminta bertanggung jawab atas kejahatan yang mereka terima.
Dalam jurnal Kecenderungan Menyalahkan Korban dalam Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan Sebagai Dampak Kekeliruan yang ditulis oleh Erika Putri Wulandari dan Hetty Krisnani, dalam isu ini ada beberapa parameter yang kerap menjadi bahan victim blaming. Di antaranya, ketersediaan melakukan kontak romantis berdasarkan kesetujuan kedua belah pihak, jenis pakaian yang dipakai saat kejadian, dan mengundang atau menemani teman kencan ke tempat tinggalnya.
Baca Juga: Kenapa Korban Kekerasan Seksual Enggan Melaporkan Kasusnya?
Faktor Victim Blaming
Salah satu faktor mengapa victim blaming masih sering terjadi adalah masih kuatnya pembagian peran gender di masyarakat. Mengutip penelitian Krisnani dan Wulandari, pembagian gender mengasosiasikan jenis kelamin dengan kemampuan naturalnya. Laki-laki, misalnya, diasosiasikan sebagai seorang pemimpin yang mandiri dan kompetitif, bertolak belakang dengan perempuan yang dihubungkan dengan kasih sayang dan kepekaan. Hal ini memfasilitasi maskulinitas yang membuat laki-laki merasa lebih superior ketimbang perempuan.
“Sederhananya, muncul praktik standar ganda di sini. Laki-laki yang mengekspresikan hawa nafsu dan maskulinitasnya dirasa sah-sah saja. Kepercayaan membatasi peran dan hak perempuan menjadi salah satu kontribusi tingginya penganut mitos pemerkosaan,” demikian dikutip dari jurnal itu.
Seksisme juga bisa membuat kasus-kasus pemerkosaan sering diremehkan atau bahkan disalahkan pada korban. Ini misalnya lewat stereotip perempuan suka melebih-lebihkan masalah, terlalu emosional ketika menghadapi sesuatu, dan sengaja mencari keuntungan demi keuntungan pribadi.
Belum lagi, persepsi mengenai dampak psikologis yang dihasilkan dari kejadian ini sering kali dianggap kurang valid sehubungan dengan buktinya yang tidak terlihat secara nyata.
Selain itu ada anggapan bahwa pemerkosaan hanya terjadi ketika dilakukan oleh orang asing stranger rape. Sementara jika yang melakukan adalah orang yang dikenal korban maka kemungkinan victim blaming sangat besar dengan tudingan mau sama mau atau pertanyaan seperti: “mengapa tidak waspada sejak awal”.