Mantan Menteri Sosial Republik Indonesia Juliari Batubara telah divonis 12 tahun penjara, Senin (23/8/2021). Vonis ini lebih berat dari yang diajukan Jaksa Penuntut Umum KPK bulan lalu yakni 11 tahun penjara. Terkait vonis ini, tim kuasa hukum Juliari dan KPK masih akan pikir-pikir.
Meski lebih berat satu tahun dari tuntutan semula, hukuman untuk Juliari masih dirasa kurang. Pasalnya, kelakuan Juliari dan komplotannya yang mengambil untung dari bantuan sosial Covid-19 telah merugikan banyak pihak. Apalagi selama masa pandemi ini, masyarakat banyak yang terdampak ekonominya.
Pertimbangan hakim yang meringankan hukuman Juliari karena dia telah mendapat hinaan dari publik pun dikritik oleh masyarakat. Publik mempertanyakan, bagaimana bisa hinaan publik jadi meringankan hukuman seorang yang telah mencuri hak rakyat di tengah pandemi?
Pertanyaan salah satunya muncul dari cendekiawan NU, Nadirsyah Hosen. Melalui akun Twitter-nya @na_dirs, pria yang akrab disapa Gus Nadir heran, apakah kalau kemudian rakyat memuji terdakwa, maka hakim akan menambah hukuman si terdakwa. Ia pun menyindir Indonesia sebagai negara puja-puji.
”Bahkan mengkritik koruptor pun kita dianggap keliru dan bisa menurunkan hukuman mereka. Yang salah harus dipuji. Sungguh negara yang penuh sopan santun,” cuit akademisi Indonesia yang mengajar di Fakultas Hukum Monash University Australia ini.
Sementara itu warganet lain berkomentar serupa. Ada yang meminta untuk berhenti menghujat Juliari, karena semakin dihujat ada kemungkinan Juliari malah mendapat grasi. Ada juga yang sambil berkelakar kalau ringannya hukuman buat Juliari lagi-lagi disalahkan kepada rakyat.
Tapi, memangnya bisa hinaan pada terdakwa jadi malah meringankan?
Pertimbangan yang tidak tepat
Ahli hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai pertimbangan hakim soal hinaan ini jelas mengada-ada dan terlalu jauh. Fickar justru menilai hakim memilih main aman dengan menaikkan sedikit vonis Juliari lebih berat dari pada yang dituntut jaksa.
”Begitulah salah satu warna dari kebebasan hakim. Ia menafsir ‘gejala sosiologis’ yang merupakan konsekuensi logis dari perbuatan terdakwa sebagai bagian dari ‘penghukuman publik’,” kata Fickar kepada Asumsi.co.
Alasan ini pula yang tampaknya membuat hakim mempertimbangkan keringanan tadi. Padahal, perbuatan Juliari telah memenuhi kondisi “keadaan tertentu” pada UU Tipikor Pasal 2 Ayat 2. Dalam pasal itu, dinyatakan dalam keadaan tertentu terdakwa dapat dipidana mati.
Pada bagian penjelasan UU Tipikor, Pasal 2 Ayat 2 menyatakan: “Yang dimaksud dengan ‘keadaan tertentu’ dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.”
”Tetapi hakim tidak berani memutuskan maksimal (hukuman mati) sebagaimana ditentukan pasal 2 ayat 2 UU Tipikor. Ya paling tidak seumur hiduplah,” kata Fickar.
Ia menambahkan, tak ada sedikit pun alasan meringankan hukuman Juliari. Soalnya, ia mengambil untung di tengah situasi masyarakat Indonesia sedang membutuhkan banyak biaya dalam menghadapi pandemi.
”Perbuatannya ironis, tega, dan kejam, sehingga hukumannya seharusnya maksimal seumur hidup,” kata Fickar.
Senada, Boyamin Saiman dari Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) juga tak habis pikir dengan kritik publik yang jadi pertimbangan hakim meringankan hukuman Juliari. Menurutnya, perundungan pada koruptor tidak hanya terjadi pada Juliari, sehingga seharusnya poin ini tidak jadi pertimbangan hakim.
”Enggak usah ditambahi bahwa dia di-bully, dan apakah dulu Setya Novanto di-bully itu menjadi faktor meringankan? Kan enggak juga,” kata Boyamin.
Selain itu Boyamin mengatakan, tindakan kooperatif Juliari dalam persidangan semestinya tidak perlu dijadikan alasan untuk meringankan vonis. Sebab, ia justru menilai Juliari tak kooperatif karena tidak terbuka dan tidak mau mengakui perbuatannya.
”Sehingga semestinya faktor itu menyulitkan dari sisi persidangan, karena ada pihak-pihak yang tertutup,” ujar dia.
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana menarik lebih jauh. Dari hulu, Kurnia menganggap KPK sedari awal memang takut dan enggan untuk mengembangkan perkara ke pihak-pihak lain. Indikasi itu sudah terlihat sejak proses penyidikan. Misalnya, keterlambatan melakukan penggeledahan dan keengganan memanggil sejumlah politisi sebagai saksi.
Tidak hanya itu, saat fase penuntutan pun tidak jauh berbeda. Mulai dari menghilangkan nama sejumlah pihak dalam surat dakwaan, keengganan jaksa untuk memanggil pihak yang diduga menguasai paket pengadaan bansos, dan rendahnya tuntutan terhadap Juliari.
”Di luar proses hukum, KPK juga diketahui memberhentikan Kasatgas Penyidikan dan Penyidik perkara bansos melalui Tes Wawasan Kebangsaan serta membangun dalih seolah-olah ingin menyelidiki dugaan kerugian negara, padahal diduga kuat tindakan itu untuk memperlambat dan melokalisir perkara ini agar berhenti hanya terhadap Juliari,” ujar dia.
”Begitu juga majelis hakim yang menyidangkan perkara ini. Selain putusannya sangat ringan, terhadap isu lain – gugatan korban bansos – juga ditolak dengan argumentasi yang sangat janggal,” ujar Kurnia menambahkan.
Sebelumnya, dalam sidang pembacaan vonis Juliari Batubara, Ketua Pengadilan Tipikor Jakarta, Muhammad Damis menjatuhkan hukuman 12 tahun penjara kepada Juliari atas tindakannya melakukan korupsi bansos Covid-19. Ia juga denda Rp 500 juta subsider 6 bulan penjara. Selain itu, Juliari juga dijatuhi pidana pengganti sebesar Rp14,59 miliar dan mencabut hak politiknya selama 4 tahun.
Hakim menyatakan, salah satu hal yang meringankan vonis karena Juliari telah dicaci dan dimaki oleh masyarakat meskipun belum dinyatakan bersalah secara hukum. “Terdakwa telah divonis oleh masyarakat telah bersalah, padahal secara hukum terdakwa belum tentu bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,” kata Damis.
Sementara itu, Kuasa Hukum Juliari Batubara, Maqdir Ismail jusrtu kaget dengan vonis yang lebih tinggi dari tuntutan jaksa ini. Menurutnya, ini sangat memberatkan. Ia meyakini, kliennya tidak pernah menerima uang suap pengadaan bantuan sosial (bansos) Covid-19.
Meski begitu, ia belum bisa memastikan bahwa pihaknya bakal mengajukan banding atas putusan majelis hakim tersebut.