Peretasan kini seakan menjadi pola untuk memberangus mereka
 yang bersuara. Kini hal tersebut menimpa para aktivis Badan Eksekutif Mahasiswa
 Universitas Indonesia. Peretasan ini berlangsung hanya selang sehari sejak meme
 “The King of Lip Service” untuk Jokowi diunggah BEM UI via Twitter. 
Mengutip Tempo,
 Ketua BEM UI Leon Alvinda Putra menyebut peretasan ini mengenai akun WhatsApp
 dan media sosial sejumlah pengurus BEM UI. Salah satu korbannya ialah Kepala
 Biro Hubungan Masyarakat BEM UI 2021, Tiara.
Menurut Leon, akun WhatsApp Tiara tidak bisa diakses. Pada aplikasi
 WhatsApp-nya, tertulis bahwa akun Tiara sudah log-out dari gawainya. Hingga
 Senin siang akun WhatsApp Tiara masih belum bisa diakses.
Hal yang sama juga terjadi pada akun WhatsApp Wakil Ketua BEM UI, Yogie. Meski
 kini akun Yogie sudah bisa diambil alih, sebelumnya muncul juga notifikasi
 bahwa akunnya digunakan oleh ponsel lain.
Baca juga: Panggil BEM Karena Meme, Tindakan UI Dinilai Bentuk Pembungkaman | Asumsi
Koordinator Bidang Sosial Lingkungan BEM UI Naifah Uzlah juga hampir mengalami
 hal serupa. Leon melaporkan ada upaya masuk ke akun telegramnya pada malam
 lalu. 
Mengenai hal ini, Leon menyebut pihaknya mengecam keras tindakan peretasan
 ini. “Kami mengecam keras segala bentuk serangan digital yang dilakukan
 terhadap pengurus BEM UI,” ucap dia.
Bukan Sekali
 Peretasan kepada mereka yang bersuara memang bukan kali ini terjadi. Ingatan
 kita soal aksi peretasan pada mereka yang mengkritik pemerintah malah masih
 hangat. Yakni saat terjadi gonjang ganjing TWK-KPK yang berujung pada peretasan
 sejumlah akun media sosial dan aplikasi percakapan daring milik aktivis
 Indonesia Corruption Watch.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menyebut
 jelas sekali ada pembiaran negara terhadap aksi-aksi teror secara daring
 seperti ini. Pembiaran ini setidaknya mulai masif terasa sejak aksi September
 2019. Saat itu, sejumlah aktivis dan gerakan publik menggelar aksi besar
 menolak ragam kebijakan negara yang membangkang pada semangat reformasi.
Sayangnya, sejumlah laporan yang dilayangkan oleh korban peretasan kepada
 pihak berwajib pun tidak pernah ditindaklanjuti.
Padahal, pelanggaran soal peretasan sudah diatur dalam Pasal 30 UU ITE.
 Deliknya pun bukan delik aduan sehingga mestinya pihak berwenang bisa
 memprosesnya tanpa adanya laporan. Adapun langkah yang bisa dilakukan saat ini untuk mengantisipasi peretasan
 adalah dengan meningkatkan keamanan digital, seperti menggunakan prosedur two
 step verification. Namun tak dimungkiri dalam banyak peristiwa, prosedur
 standar ini sering juga dijebol oleh peretas.
Represi Digital
Damar Juniarto, Direktur Eksekutif Southheast Asia Freedom of Expression
 Network (SAFEnet) menyebut peretasan seperti ini adalah bentuk teror digital.
 Praktik semacam ini merupakan bagian tak terpisahkan dari represi digital yang
 marak terjadi.
”Teror ini semakin memperkeruh dan memperburuk iklim demokrasi,”
 kata Damar kepada Asumsi.
Menurut dia, publik tidak bisa terus menerus membiarkan praktik teror digital
 seperti ini terjadi. Apalagi sampai dianggap normal. Sebagai bentuk kejahatan,
 kata Damar, pelaku peretasan mestinya diungkap dan dihukum sesuai dengan
 kejahatan yang dilakukan.
”Kami mengecam pelaku serangan digital pada BEM UI,” kata Damar
 seraya menyebut pihaknya telah mendapat laporan dari lima anggota BEM UI yang
 diganggu secara digital dan saat ini tengah menindaklanjuti laporan itu.
Ia menambahkan, pihak yang berada bersama para pelaku penyerangan harus
 berhenti memakai cara-cara teror untuk mengganggu dan membungkam mereka yang
 berbeda pendapat. Bila tidak suka dengan kritik, balaslah dengan argumentasi
 yang meyakinkan untuk mematahkan kritik-kritik tersebut.
”Bukan dengan melakukan upaya serangan yang mengganggu,” ucap dia.