Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD menekankan pentingnya Keanggotaan Indonesia di Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) karena akan meningkatkan persepsi positif terhadap sistem keuangan Indonesia.
Klaim Sejajar Negara Maju
Pernyataan itu disampaikan Mahfud dalam sambutannya, selaku Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Komite TPPU), pada acara peluncuran Penilaian Resiko Indonesia 2021, yang diselenggarakan secara hybrid di kantor PPATK, Kamis (19/8).
Mahfud menyampaikan bahwa Penilaian Risiko Indonesia Tahun 2021 selain dipandang sebagai jalan menuju Keanggotaan Penuh Indonesia dalam Lembaga FATF, juga diharapkan menjadi dasar dalam pengambilan arah, kebijakan, serta langkah strategi nasional dalam pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Kemudian, strategi Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT) dan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal (PPSPM).
“Hal ini akan memperkuat confidence dan trust terhadap Indonesia dalam bisnis internasional dan iklim investasi di Indonesia. Dengan demikian, reputasi Indonesia akan dapat sejajar dengan negara-negara maju. Indonesia merupakan satu-satunya negara anggota G-20 yang belum menjadi negara anggota FATF,” kata Mahfud dalam keterangan resminya, (19/8).
Ia memaparkan langkah maju Indonesia dalam menanggulangi pencucian uang telah ditinjau oleh FATF berdasarkan hasil Mutual Evaluation Review (MER) Indonesia melalui Asia Pacific Group on Money Laundering (APG) Tahun 2018. Laporan MER tersebut mengukur tingkat kepatuhan Indonesia terhadap 40 Rekomendasi FATF dan tingkat efektivitas sistem anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme sesuai dengan rekomendasi FATF.
Hal tersebut ditunjukkan oleh skor hasil penilaian Basel AML Index Indonesia yang pada tahun 2018 tercatat sebesar 5,73, turun menjadi 4,62 angka indeks pada tahun 2020. Besarnya penurunan dalam skor risiko pencucian uang di Indonesia terutama didorong oleh kemajuan yang signifikan dalam penilaian Mutual Evaluation Review (MER) APG selaku regional bodies FATF di Kawasan Asia Pasifik.
“Momentum baik ini, mari kita manfaatkan dengan memperkuat sinergi dan koordinasi nasional yang terkonsolidasi, untuk meningkatkan efektivitas upaya pencegahan dan pemberantasan TPPU, TPPT, PPSPM di Indonesia, sehingga menjaga integritas dan stabilitas sistem perekonomian dan sistem keuangan di Indonesia,” pungkas Mahfud.
Sedangkan Kepala PPATK, Dian Ediana Rai, menekankan pentingnya pemutakhiran dokumen Penilaian Risiko Indonesia terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang dalam bentuk Kegiatan National Risk Assessment on Money Laundering and Terrorist Financing/Proliferation Financing (NRA on ML/TF/PF) Tahun 2021 ini.
“Hal ini sangat penting bagi seluruh stakeholders rezim APU-PPT, dalam rangka mengidentifikasi, menganalisis, dan mengevaluasi berbagai risiko pencucian uang, pendanaan terorisme, serta pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal dalam lingkup risiko domestik dan luar negeri (inward risk dan outward risk),” ujar Dian.
Inisiatif yang terlambat
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bima Yudhistira Adhinegara berpendapat inisiasi pemerintah untuk ikut tergabung dalam FATF sedikit terlambat. Sebab, sudah banyak negara G20 yang sejak dulu telah bergabung di FATF.
“Dalam konteks bergabungnya Indonesia di FATF sedikit terlambat, karena negara G20 lainnya seperti India sudah join sejak 2010, kemudian Argentina dan Brazil sejak tahun 2000,” jelasnya.
Meski begitu, Bima mengapresiasi rencana tersebut. Namun menurutnya tidak tepat apabila klaim Indonesia akan sejajar dengan negara maju, karena di dalam FATF juga banyak negara berpendapatan menengah.
“Kebijakan untuk bergabung di FATF tentu perlu diapresiasi. Tapi bukan kemudian klaim sejajar dengan Negara maju ya, lebih pas dibandingkan dengan negara ekonomi terbesar di dunia, karena didalam G20 juga ada negara berpendapatan menengah (middle income country) seperti Brazil, Argentina, China juga.
Bhima berkata FATF seharusnya ditujukan untuk meningkatkan kerjasama dalam pencucian uang lintas negara dan pemberantasan terorisme yang lebih efektif.
“Posisi Indonesia saat ini menurut Bank Dunia adalah Lower Middle Income Country, setelah sebelumnya sempat menjadi negara Upper Middle Income Country pada 2019,” tutupnya.