Orangutan Tapanuli diprediksi memiliki
risiko kepunahan lebih cepat daripada yang diperkirakan sebelumnya. Mengacu
pada laporan ilmiah terbaru yang dirilis pada Januari 2021, sebab dari
kepunahan spesies kera besar terlangka ini adalah hilangnya habitat yang cepat
dan perburuan yang masih berlangsung.
Untuk diketahui, saat ini, orangutan
Tapanuli tersisa kurang dari 800 ekor di wilayah pegunungan kecil Batang Toru
di Sumatera Utara, Indonesia. Mengutip thehill.com, penurunan populasi orangutan Tapanuli merosot cukup tajam
hingga 83 persen hanya dalam tiga generasi. Mereka juga menempati hanya 2,7
persen dari habitat aslinya yang telah ditinggali sejak 130 tahun yang lalu.
Erik Meijaard, peneliti studi terbaru
dan pendiri kelompok konservasi Borneo Futures menyebut jika lebih dari 1
persen populasi dewasa diekstraksi baik dengan cara dibunuh, ditranslokasi atau
ditangkap dari alam liar setiap tahun, maka kepunahan spesies tidak dapat
dihindari.
“Ini juga menandakan kepunahan
kera besar pertama di zaman modern,” kata Meijaard.
Apa Saja Yang Mengancam?
Di antara banyak ancaman yang dihadapi
oleh orangutan Tapanuli adalah pembangunan pembangkit listrik tenaga air yang
direncanakan akan berdiri di sepanjang Sungai Batang Toru, Kabupaten Tapanuli
Selatan. Meski perusahaan bertanggung jawab membangun bendungan, tetapi lokasi
proyek ini terletak di persimpangan tiga subpopulasi orangutan Tapanuli yang
pembangunannya dapat memisahkan secara permanen habitat orangutan Tapanuli.
Pelanggaran batas habitat terakhir
orangutan Tapanuli inilah yang membuat proyek PLTA tersebut menjadi sorotan
internasional. Mengacu pada temuan Sumatran
Orangutan Conservation Programme (SOCP), penghalangan beberapa subpopulasi
oleh pembangkit listrik seluas 122 hektar ini bisa menyebabkan perkawinan
sedarah sehingga keanekaragaman genetik spesies ini akan sangat terbatas.
Selain itu, habitat yang makin terpojok
membuat mereka terjebak di dataran tinggi yang sebenarnya lokasi ini tidak
begitu optimal untuk orang Tapanuli. Idealnya, orangutan Tapanuli bisa
berpindah di berbagai lingkungan termasuk dataran rendah untuk memaksimalkan
peluang dalam bertahan hidup.
Mengingat pembangunan PLTA ini menjadi
ancaman paling besar, Meijaard dan timnya ingin ada penelitian ulang apakah
lokasi PLTA mengganggu habitat orangutan Tapanuli atau tidak. Sebelumnya, PT
NHSE yang bertanggung jawab pada proyek tersebut menyimpulkan bahwa pembangunan
PLTA tidak akan mengancam habitat kera. Namun, International Union for
Conservation of Nature (IUCN) merilis laporan yang membantah penilaian PT NHSE.
Adapun saat ini PT NHSE telah
menghentikan sementara pembangunan pembangkit listrik karena pandemi. Meijaard
pun menilai, penghentian sementara ini jadi kesempatan untuk semua pihak dalam
melakukan penelitian independen.
“Kami mendesak untuk menggunakan
penangguhan proyek sebagai kesempatan untuk melakukan investigasi independen
bekerja sama dengan semua pemangku kepentingan, termasuk pengembang,
pemerintah, SOCP, dan IUCN,” kata Meijaard.
Ancaman lain yang dihadapi orangutan
Tapanuli
Serge Wich dari IUCN juga menyebut
hilangnya habitat orangutan Tapanuli di daerah tersebut, selama bertahun-tahun,
telah diperburuk oleh berbagai kegiatan ekstraktif, termasuk penebangan,
penambangan emas dan perak, dan pembangkit listrik tenaga panas bumi. SOCP telah
berhasil mengadvokasi perubahan status pada tahun 2014 untuk 85 persen
Ekosistem Batang Toru dari “produksi” menjadi “hutan lindung” yang akan
melarang kegiatan ekstraktif.
Selain itu, risiko lain adalah
perburuan dan penangkapan yang tidak berkelanjutan. Ini telah menjadi praktik
turun temurun yang diyakini berlangsung sejak berabad-abad lalu.
Julie Sherman, direktur eksekutif dari
organisasi nirlaba Wildlife Impact menilai meskipun orangutan dilindungi oleh
hukum Indonesia dan konvensi internasional, ada semacam keinginan politik yang
rendah untuk menghukum para pelanggarnya. Mengutip sebuah studi ilmiah, Sherman
membandingkan tingkat penuntutan untuk perburuan ilegal dan perdagangan harimau
berada di 90 persen berbanding jauh dengan orangutan yang hanya ada di angka
0,1 persen.
Meijaard menambahkan, sekitar 80 juta
USD dihabiskan untuk konservasi orangutan setiap tahun. Namun jumlah populasi
ketiga spesies orangutan yakni orangutan Kalimantan, Sumatera dan Tapanuli
malah terus menyusut.
Direktur SOCP, Ian Singleton, menyebut
fokus saat ini pada translokasi, rehabilitasi dan reintroduksi orangutan ke
alam liar memang sangat mahal. Namun, data yang tersedia tentang kesejahteraan
atau tingkat kelangsungan hidup orangutan terbatas karena pemantauan
pasca-translokasi yang tidak bisa dilakukan menyeluruh.
“Setelah mereka dilepasliarkan
kembali ke alam liar, sulit untuk melacak orangutan dari jarak jauh karena
belum ada teknologi yang tersedia, seperti chip yang ditanamkan ke hewan yang
dilepasliarkan, yang dapat diandalkan dan aman untuk orangutan,” kata
Singleton.
Dengan begitu, Singleton beranggapan
kalau translokasi bukanlah solusi berkelanjutan untuk masalah manusia-orangutan.
COVID-19
Memperburuk Risiko Kepunahan
Mengutip dari Thehill.com, meski informasi tentang dampak kesehatan COVID-19 pada
kera besar sangat terbatas, para konservasionis tidak mau mengambil risiko pada
kemungkinan tertularnya spesies orangutan lewat manusia. Apalagi spesies ini
sudah di ambang kepunahan.
Oleh karena itu, meskipun upaya
penyelamatan, translokasi, dan rehabilitasi terus dilakukan, tidak ada
orangutan yang dilepasliarkan oleh SOCP sejak Maret 2020. Sebagian besar
penelitian yang berfokus pada orangutan liar juga telah ditangguhkan dalam 12
bulan terakhir untuk mengurangi risiko penularan.
Fasilitas penangkaran orangutan SOCP
beroperasi dengan tindakan pencegahan yang ketat telah menimbulkan biaya yang
cukup besar. Terlebih ketika organisasi
konservasi tengah bergulat dengan dana yang semakin menipis dari donor atau
kegiatan yang menghasilkan pendapatan seperti pariwisata.
Selain itu, berdasarkan citra satelit
dan sumber lainnya, Singleton mengingatkan bahwa aktivitas ilegal di hutan
semakin meningkat, seperti pembunuhan orangutan. Toleransi terhadap kera besar
yang turun ke pemukiman warga untuk mencari makan semakin menurun karena
penduduk desa juga sedang berjuang untuk mendapatkan mata pencaharian di tengah
krisis ekonomi COVID-19.