Pandemi Covid-19 yang
sudah terjadi setahun terakhir tidak hanya menyerang kesehatan dan ekonomi.
Lebih jauh lagi, pandemi covid-19 turut memperburuk kondisi kebebasan beragama
dan berkeyakinan di Indonesia.
Dalam laporan SETARA Institute yang dirilis
pada 6 April 2021, selama tahun 2020, terjadi 180 peristiwa pelanggaran
kebebasan beragama/berkeyakinan, dengan 422 tindakan. Jumlah ini hanya menurun
tipis jika dibanding tahun sebelumnya di mana terjadi 200 peristiwa pelanggaran
kebebasan beragama/berkeyakinan.
Kidung Asmara Sigit, Peneliti kebebasan
beragama/berkeyakinan SETARA Institute menyebut meski dari segi jumlah turun
tipis, dari sisi tindakan justru melonjak tajam. Kalau tahun ini tindakan yang
melanggar kebebasan beragama/berkeyakinan mencapai 422 pelanggaran, pada 2020
tindakannya hanya 327 pelanggaran.
Kidung menyebut pelanggaran kebebasan
beragama dan berkeyakinan di tahun 2020 tersebar di 29 provinsi di Indonesia.
SETARA berkonsentrasi pada 10 provinsi utama yaitu Jawa Barat (39), Jawa Timur
(23), Aceh (18), DKI Jakarta (13), Jawa Tengah (12), Sumatera Utara (9),
Sulawesi Selatan (8), Daerah Istimewa Yogyakarta (7), Banten (6), dan Sumatera
Barat (5).
“Tingginya jumlah kasus di Jawa Barat hampir
setara dengan jumlah kumulatif kasus di 19 provinsi lainnya,” kata Kidung kepada Asumsi.co, Rabu (7/4/2021).
Peristiwa pelanggaran kebebasan
beragama/berkeyakinan mengalami fluktuasi di setiap bulannya sepanjang tahun
2020. Pada bulan Januari ditemukan 21 kasus, meningkat tajam di Februari
menjadi 32 kasus, menurun di Maret jadi 9 kasus, 12 kasus pada April, naik
menjadi 22 kasus di bulan Mei, dan 10 kasus di bulan Juni.
Pada Juli, SETARA mencatat ada 12 kasus,
menjadi 13 di bulan Agustus, 16 kasus di bulan September, 15kasus di bulan Oktober,
10 kasus si bulan November dan delapan kasus di bulan Desember.
“Angka peristiwa yang tertinggi dan drastis
terjadi pada bulan Februari 2020. Mengacu pada detail peristiwa yang dicatat,
tren pelarangan perayaan Valentine’s Day di sejumlah daerah menjadi
pemicu meningkatnya intoleransi,” kata Kidung.
Pelaku
pelanggaran
Penelitian
SETARA juga menemukan, dari 422 tindakan yang terjadi, 238 di antaranya dilakukan
oleh aktor negara. Sementara 184 di antaranya dilakukan oleh aktor non-negara.
Hal itu menunjukkan bahwa kecenderungan peningkatan tindakan pelanggaran oleh
aktor negara tahun lalu berlanjut.
Tindakan
tertinggi yang dilakukan oleh aktor negara adalah diskriminasi sebanyak 71
tindakan, sedangkan tindakan tertinggi oleh aktor non negara adalah intoleransi
sebanyak 42 tindakan.
“Melihat
potret tindakan aktor negara dan non negara, tampak bahwa pandemi menjadi lahan
subur bagi terjadinya diskriminasi dan intoleransi,”
ucap dia.
Konfigurasi
aktor negara dan aktor non-negara pelaku pelanggaraan kebebasan
beragama/berkeyakinan tidak banyak berubah. Pada kategori aktor negara,
Pemerintah Daerah dan Kepolisian menjadi pelaku pelanggaran tertinggi dengan
masing-masing 42 tindakan. Sedangkan aktor non negara tertinggi adalah kelompok
warga dengan 67 tindakan dan ormas keagamaan dengan 42 tindakan.
Sedangkan
kelompok korban pelanggaran KBB tahun 2020 terdiri dari warga dengan 56
peristiwa, individu dengan 47 peristiwa, Agama Lokal/Penghayat Kepercayaan
sebanyak 23 peristiwa, dan pelajar sebanyak 19 peristiwa.
Pelanggaran
kebebasan beragama dan berkeyakinan pada 2020 juga menimpa 22 umat Kristen,
empat ASN, tiga peristiwa yang melibatkan umat Konghucu, jumlah yang sama
menimpa umag Katolik, Islam, dan Hindu, serta masing-masing dua peristiwa yang
menimpa umat Budha dan Ormas Keagamaan.
Selama
2020, SETARA juga mencatat ada 24 rumah ibadah mengalami gangguan di tahun 2020
yang terdiri atas Masjid (14), Gereja (7), Pura (1), Wihara (1), dan Klenteng
(1). Umat Islam menjadi pihak yang paling banyak mengalami gangguan terkait
rumah ibadah.
“Namun
perlu dicatat bahwa yang paling banyak mendapatkan gangguan adalah tempat
ibadah umat Islam dari madzhab atau golongan yang oleh kelompok pelaku dianggap
berbeda dari mainstream,” ujar Kidung.
Lain
hal, terdapat 32 kasus pelaporan penodaan agama yang dilakukan oleh aktor
non-negara. Sebanyak 27 di antaranya ialah berbasis daring yang berpotensi
disebabkan oleh adanya pandemi covid-19 yang membuat orang menjadi memiliki
waktu luang lebih banyak untuk menggunakan sosial media karena dirumahkan.
Pelaporan
berbasis daring ini dilakukan terhadap konten yang dianggap sesat pikir,
menghina tokoh agama, bermuatan kebencian, dan bercanda yang melecehkan.
“Selain
yang berbasis daring, kasus pelaporan penodaan agama juga masih terjadi di
kalangan masyarakat utamanya karena dianggap menyimpang dari madzhab mayoritas
dan penistaan,” ucap dia.
Banyak
Menimpa Perempuan
Sementara
itu, Halili Hasan, Direktur Riset SETARA Institute menyebut dari total 180
peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan yang terjadi di tahun
2020, setidaknya 12 di antaranya menimpa perempuan sebagai korban. Peristiwa
ini meliputi pelaporan penodaan agama, pelarangan atribut keagamaan, penolakan
rumah dan kegiatan ibadah, diskriminasi berbasis daring, dan penolakan jenazah
penghayat madzhab keagamaan.
Menurut
Halili, kebebasan beragama/berkeyakinan, sebagai bagian dari HAM dapat dimaknai
sebagai upaya untuk melindungi warga negara dari konservatisme dan patriarki
yang berasal dari ajaran agama.
“Dalam
konteks ini, kegagalan negara dalam mengidentifikasi kekhususan situasi,
kerentanan, dan dampak spesifik yang dialami oleh perempuan pada peristiwa
pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan memicu perlakuan diskriminatif
terhadap perempuan,” ujar Halili.
Secara
umum, pandemi covid-19 membawa dampak positif dan negatif bagi kebebasan
beragama/berkeyakinan di Indonesia. Sementara dampak positif yang ditimbulkan
misalnya cakupan ibadah daring yang menjadi tak terbatas serta timbulnya
inisiatif gotong royong antar umat beragama.
“Dampak
negatif yang ditimbulkan misalnya munculnya polarisasi dalam masyarakat,
politisasi covid-19, pelipatgandaan marjinalisasi kelompok yang terdiskriminasi
terutama perempuan, dan pembatasan/pembatalan kegiatan keagamaan,” ucap dia.
Apa
Yang Perlu Dilakukan?
Ismail
Hasani, Direktur Eksekutif SETARA Institute menyebut pemerintah pusat dan
daerah hendaknya menguatkan program kemasyarakatan yang mengarusutamakan
interaksi antar-agama dalam lingkungan sosial. Hal ini penting dalam rangka
memupuk kepercayaan dan persaudaraan satu sama lain, memajukan toleransi, dan
membangun resiliensi sosial.
“Dengan
kepercayaan, solidaritas, dan toleransi, masyarakat akan memiliki ketahanan
untuk tidak mudah diintrusi oleh doktrin keagamaan yang memecah belah, menyangkal
dan mendiskriminasi yang berbeda,” ucap Ismail.
Ismail
pun meminta pemerintah pusat mengintensifkan program penguatan solidaritas
antarumat beragama untuk menangkal perpecahan masyarakat, menangani penyebaran
berita bohong, dan menanggulangi politisasi covid-19 berbasis doktrin keagamaan
oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Pemerintah juga hendaknya
memberikan dukungan dan mengaudit pemenuhan protokol kesehatan rumah ibadah
agar umat beragama dan berkeyakinan dapat terus beribadah dengan merdeka sesuai
ketentuan Konstitusi namun tetap aman di tengah pandemi COVID-19.
SETARA
Institute juga mendorong Pemerintahan Jokowi mengarusutamakan keberagaman dalam
seluruh aspek tata kelola pemerintahan negara melalui pelembagaan pemerintahan
inklusif (inclusive governance), dengan tekanan khusus pada pemerintahan
daerah. Ini dilakukan agar keragaman kultur, keanekaan watak kepemimpinan
lokal, dan kebinekaan tetap menjadi perspektif kunci dalam tata kelola
pemerintahan.
“Perbedaan
identitas dan latar belakang seluruh anasir pembentuk kebangsaan Indonesia,
termasuk identitas dan latar belakang keagamaan, harus mendapatkan kesempatan,
akses, dan jaminan hak yang setara dalam tata kelola pemerintahan,” ucap dia.