Belum sebulan kesepakatan gencatan senjata antara Palestina dan Israel diketok palu. Kendati kesepakatan itu telah disetujui, kondisi Palestina tak pernah benar-benar adem ayem. Seperti sekam, apinya bisa terbakar kapan saja.
Terkini, adalah pawai bendera atau flag day yang dilakukan oleh orang Israel di Kota Lama Yerusalem, Selasa (15/6/2021) waktu setempat. Spot yang kerap jadi “titik api” itu diramaikan oleh ratusan orang Israel yang mengibarkan bendera mereka sambil bersorak sorai. Yang bikin gerah, pawai ini justru diikuti mayoritas kelompok sayap-kanan Israel. Ironinya, mereka bukan hanya orang dewasa, melainkan juga remaja hingga anak-anak. Dengan kekuatan sayap kanan yang agresif, tak perlu heran kalau nyanyian pawai mereka juga cenderung rasis bahkan fasis. Sesekali terdengar teriakan yang melecehkan agama, atau nyanyian-nyanyian seperti “Arab yang baik adalah Arab yang mati”.
Dalam video yang diunggah aktivis Palestina, Mohammaed El Kurd di laman Instagramnya, @mohammeddelkurd, tampak seorang pria tua yang memikul bendera Israel dan mengancam Nakba kedua bagi rakyat Palestina. Peristiwa Nakba adalah momen pengusiran orang Palestina oleh zionis pada 15 Mei 1948. Pengusiran ini terjadi sehari setelah propagandis zionisme, David Ben-Gurion, mendeklarasikan negara Israel. Nakba, yang punya arti malapetaka, membuat 700.000 orang Palestina terusir dari rumah dan tanah mereka.
”Nakba kedua akan datang segera, kalian akan berakhir di kamp pengungsi,” kata orang tua tersebut.
Selain itu, seorang berusia muda dari kubu Israel juga menyinggung normalisasi negara Arab dengan Israel.
Pawai provokatif ini tak pelak membuat orang Palestina yang ada di sekitar wilayah itu membela diri. Seorang Palestina mempertanyakan peran aparat yang berjaga pada aksi rasisme ini. Namun, bukannya menghentikan nyanyian rasis tersebut, polisi Israel ini malah mendorong orang Palestina yang protes itu.
Baca juga: Mengenal Naftali Bennett, Perdana Menteri Israel yang Baru | Asumsi
Mengutip CNN, pawai bendera kali ini disebut sebagai ujian pertama bagi koalisi pemerintah Israel yang baru. Koalisi gabungan kanan-tengah-kiri bahkan Arab ini harus membuktikan kalau menang tipisnya mereka di Knesset bukan hanya untuk menyingkirkan Netanyahu saja.
Pawai bendera sebetulnya hampir setiap tahun digelar oleh kelompok nasionalis Israel. Pawai bendera digelar untuk merayakan kemenangan Israel menguasai Tembok Barat selama Perang Enam Hari 1967 dan merebut Yerusalem Timur, menempatkan seluruh kota di bawah kendali Israel.
Biasanya pawai bendera digelar pada 10 Mei. Namun, karena perang Gaza pecah, penyelenggaraannya ditunda sampai kemarin.
Uniknya, ada macam ragam pendapat dari koalisi pemerintah mengenai pawai ini. Pawai disebut telah direstui oleh PM baru, Naftali Bennet. Namun di Twitter, Menteri Luar Negeri baru Israel, Yair Lapid yang akan mengambil alih Bennett sebagai perdana menteri dalam dua tahun sesuai perjanjian koalisi, mengecam penggunaan nyanyian rasis selama pawai itu.
“Fakta bahwa ada elemen-elemen ekstremis yang berbendera Israel mewakili kebencian dan rasisme adalah keji dan tak termaafkan,” kata Lapid yang juga pemimpin partai berhaluan tengah, Yesh Atid.
Melansir Kompas, Ketua Partai Arab United List atau Ra’am, Mansour Abbas, yang masuk di koalisi pemerintah baru, menegaskan, kalau partainya tidak akan ragu menyampaikan sikapnya terkait isu pawai bendera. Sejauh ini, Mansour Abbas belum menegaskan secara terang-terangan sikapnya atas pawai itu. Namun, jika Abbas memilih mundur dari koalisi pemerintah PM Bennett, maka bukan tidak mungkin koalisi yang menang dengan selisih satu suara ini akan lebih cepat selesai.
Sayap Kanan Mendominasi Israel
Meski terdiri dari banyak kekuatan politik, mulai dari anti-zionis sekuler kiri, anti-zionis Orthodox, dan anti-zionis Arab, dominasi partai berhaluan zionis di Israel sangatlah kuat. Beberapa di antara partai berhaluan zionis ini punya dan mendukung massa yang terafiliasi pada gerakan-gerakan sayap kanan.
Salah satu contohnya adalah dukungan Partai Likud untuk klub sepakbola Beitar Jerusalem. Klub ini dikenal sebagai klub paling rasis di dunia karena mendewakan kemurnian darah Yahudi dalam klub. Mengutip Football Paradise, klub ini juga terkait erat dengan Irgun, sebuah kelompok paramiliter zionis yang beroperasi di Palestina antara tahun 1931 dan 1948.
Mantan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, yang juga seorang kader tulen Likud, adalah salah satu pendukung Beitar Jerusalem yang sangat vokal.
Ehud Sprinzak dalam “The Israeli Radical Right: History, Culture, and Politics” (2011) menulis pembentukan retorika radikal secara besar-besaran pada orang Israel terjadi sejak Perjanjian Camp David antara Mesir dan Israel ditandatangani pada 1979. Proses perdamaian yang mandek, ditambah kegagalan ekonomi dan perang lama dengan Lebanon memunculkan sikap ekstremisme dari sebagian orang Israel terhadap tanah dan orang Arab. Belum lagi perlawanan orang Palestina yang makin terdesak lewat Intifada I dan II.
Sama seperti gerakan kanan di mana pun, gerakan kanan di Israel juga merasa mereka adalah masyarakat unggul yang mewarisi semangat murni dari para pendiri Israel. Semangat-semangat seperti ini yang kemudian memunculkan unsur fundamentalisme.
Dalam perkembangannya, sebagian dari mereka mulai bertindak makin keras. Seperti kelompok Gush Emunim Underground (1979) yang sering melakukan aksi bom dan penembakan atau ideologi Kahanis yang dipopulerkan oleh Meir Kahane pada 1980-an. Ideologi ini meyakini tindak kekerasan dan balas dendam sebagai perintah agama, bahwa Yudaisme baru sempurna jika Israel mengusir sepenuhnya bangsa Palestina dari tanah yang dijanjikan.
Mulanya, kelompok ini tidak begitu mendapat tempat di pemerintahan. Pada 1988, Partai Kach milih Kahane, misalnya, dilarang ikut pemilu. Namun, kelompok kanan ini tidak gentar untuk terus berjuang hingga masuk ke dalam sejumlah partai besar yang berhaluan agama dan nasionalis seperti Likud. Di era Ariel Sharon, mereka semakin mendapat angin segar dengan dimanfaatkan sebagai salah satu lumbung suara.
Sprinzak tak memungkiri kalau keberadaan radikal kanan adalah salah satu batu sandungan paling konkret terhadap kompromi Israel dengan Palestina dan dunia Arab. Namun, hubungan mereka dengan kekuatan politik di Israel pun tak bisa dikesampingkan. Ini membuat mereka harus diperhitungkan setiap kali rencana perdamaian dikerjakan atau dispekulasikan.