Sejumlah elemen masyarakat sipil tengah meletakkan perhatian mereka terhadap perkembangan revisi UU ITE, terlebih setelah Menko Polhukam Mahfud MD membentuk tim khusus untuk mengkaji sejumlah pasal yang berpotensi memberangus kebebasan berpendapat.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fikar Hajar mengatakan, setidaknya ada dua pasal yang mendesak untuk direvisi.
“Sejak awal, dalam berbagai kesempatan saya selalu katakan bahwa Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE seharusnya dicabut,” katanya kepada Asumsi.co, Senin (22/02/2021).
Pasal 27 ayat (3) UU ITE berbunyi:
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Sedangkan Pasal 28 ayat (2) UU ITE adalah sebagai berikut:
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Menurut Fikar, UU ITE memiliki semangat mengatur bisnis dan perdagangan secara daring.
“Tidak cocok kalau UU ITE mengandung ketentuan yang mengatur tentang pencemaran nama baik, atau menyangkut ujaran kebencian yang menyebabkan permusuhan berdasarkan suku, agama ras dan antar golongan,” kata Fikar.
Ia menambahkan, jual-beli daring tidak mengenal agama atau suku. Sehingga, Pasal 28 ayat (2) UU ITE, menurutnya mengaburkan substansi UU tersebut.
“Seharusnya, ketentuan tersebut dihapus saja karena sudah diatur dalam Pasal 310 hingga 311 KUHP yang isinya soal pencemaran nama baik,” jelasnya.
Selanjutnya, Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE, kata Fikar, pada praktiknya justru digunakan untuk membungkam suara publik. Menurut Fikar, bunyi Pasal dan proses pidananya merugikan banyak pihak, termasuk penegak hukum.
“UU ITE ini mengesankan seolah-olah penegak hukum kepolisian dan kejaksaan menjadi alat dari kekuasaan untuk membungkam kritik,” katanya.
Fikar menegaskan, Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UI ITE sebenarnya meskipun sudah tidak cocok digunakan pada era demokrasi.
“Jadi, seharusnya dihapus saja agar masyarakat tidak saling melapor, karena pengertian tindak pidananya sangat longgar,” tandasnya.
Selain pakar hukum, Dewan Pers sebagai lembaga tertinggi yang mengatur komunitas pers di Indonesia pun telah memastikan mereka akan berperan aktif dalam merekomendasikan revisi UU ITE yang tengah diwacanakan pemerintah.
Anggota dan Ketua Komisi Pemberdayaan Organisasi Dewan Pers, Asep Setiawan mengatakan pembahasan usulan digelar secara terbuka lewat diskusi publik mulai Sabtu (20/02) lalu.
“Diskusi ini dilakukan dalam beberapa putaran. Setelah digelar Sabtu kemarin, masih akan digelar 3 sampai 4 kali lagi,” kata Asep melalui keterangan pers kepada wartawan.
Diskusi tersebut melibatkan sejumlah pihak mulai dari pakar hukum, insan media, pihak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hingga unsur masyarakat. Asep berharap, masukan dari mereka dapat menjadi formula untuk disaring menjadi rekomendasi revisi UU yang selama ini menuai pro dan kontra di tengah masyarakat.