Foto: Pixabay
Pemerintah Jepang menganggarkan 2 miliar yen (sekitar Rp271 miliar) untuk mengembangkan Artificial Intelligence (AI) pencari jodoh.
Sistem ini diharapkan dapat menganalisis lebih baik data yang dikumpulkan dari para lajang menemukan belahan jiwa mereka.
Tidak sekadar mengandalkan usia, tinggi badan, dan pendapatan sebagai faktor saat mencocokkan orang, teknologi ini menyelami data lebih dalam berdasarkan preferensi pribadi para pencari jodoh. Anggap saja acara “Take Me Out”, tapi seluruh prosesnya dikerjakan oleh AI.
Kalau cuma aplikasi kencan, di Indonesia juga ada!
Tapi, apakah didanai pemerintah? Di Jepang, program ini benar-benar didukung pemerintah dan sudah digunakan di 19 dari total 47 prefektur Jepang.
Pemerintah setempat pun memfasilitasi warga untuk menggunakannya. Dan, menurut mereka ini terbukti efektif mendigitalisasi konkatsu.
Prefektur Saitama bisa jadi contohnya. Mereka menerapkan AI tersebut sejak Oktober 2018. Dua tahun setelahnya, ada 33 dari 71 pasangan yang menggunakan layanan tersebut berlanjut ke pelaminan.
Memangnya, kenapa pemerintah Jepang repot-repot mengurusi perjodohan?
Jadi, di Jepang sedang terjadi pergeseran budaya. Kalau satu dekade lalu mereka malu terlihat sendirian di tempat umum, kini mereka justru lebih nyaman untuk melakukan hal sebaliknya.
Singkat cerita, kebiasaan ini berimbas pada makin banyaknya orang-orang yang memilih untuk menjomblo, bahkan seumur hidupnya.
Tren ini tentu membuat pemerintah Jepang gusar. Masalahnya, hal ini berimbas pada krisis kelahiran bayi yang akan menjadi generasi penerus mereka.
Pada 2019, hanya ada 864 ribu kelahiran di seluruh Jepang. Jumlah itu berkurang 54 ribu dari tahun sebelumnya. Sebagai perbandingan, ada 4 sampai 5 juta kelahiran di Indonesia setiap tahunnya.
Kalau dibiarkan, jumlah kelahiran tersebut bakal terus menurun dan populasi Jepang hanya akan berjumlah kurang dari 100 juta penduduk.