Foto: Ramadhan/Asumsi.co
Semerbak aroma kopi robusta samar-samar tercium ketika saya melewati Jalan Sam Ratulangi, Sungailiat, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Tepat di pinggir simpang, berdiri sebuah pabrik kopi legendaris. Di sanalah bubuk kopi dengan citarasa khas yang saban pagi jadi pemompa semangat para pekerja pulau timah diproduksi.
Pabrik kopi Cap Satu ini berada satu area dengan rumah keluarga pemilik dan toko kopi. Dengan begitu, sang pemilik bisa dengan mudah memantau produksi, pengemasan, hingga pemasaran.
Pabrik ini berdiri tahun 1968. Nyaris enam dekade bertahan melintasi zaman, kopi Cap Satu jadi andalan keluarga kami sejak zaman kakek, orang tua, hingga saya sendiri. Cap Satu memang bukan satu-satunya pabrik kopi di Bangka, tapi sebagaimana dikatakan Yoyong Seftianto, manajer produksi saat ini, pabrik merekalah yang tertua.
“Ini sudah generasi keempat, termasuk saya, yang menjalankan pabrik. Pabrik kopi Cap Satu bertahan sampai sekarang karena kami menjaga mutu,” kata Koh Yoyong, Minggu (3/1/21).
Di pabrik tersebut hanya ada delapan pegawai, terdiri dari enam orang di ruang produksi–empat orang tukang sangrai, sisanya tukang giling–dan dua orang di bagian penjualan. “Kalau di sini, saya yang bertanggung jawab untuk mereka-mereka ini di produksi. Sudah 29 tahun saya bekerja di sini,” kata Koh Yoyong yang kini berusia 45 tahun.
Yang menarik perhatian saya: seorang pria tua berambut putih yang ikut dalam proses penggorengan biji kopi. Koh Afo, biasa dia dipanggil dan kini berusia 60 tahun, merupakan yang paling sepuh di antara para penyangrai biji kopi.
Meski bergerak lambat dan tertatih, Koh Afo tetap bekerja telaten, bahkan ikut terlibat dalam pekerjaan fisik seperti menarik dan mendorong alat masak yang berbentuk bola besi besar.
“Koh Afo ini sudah lebih dari 33 tahun bekerja di sini. Gawe e (kerjaannya) masih bagus, makanya bertahan lama,” ucap Koh Yoyong.
Seiring perkembangan zaman, Koh Yoyong tak menampik bahwa pabrik kopi Cap Satu harus bersaing dengan pabrik-pabrik kopi modern di Bangka Belitung. Namun, bermodal nama besar dan citarasa yang sudah kadung melekat di lidah masyarakat, ia tak khawatir tergusur oleh merek-merek lain.
“Sekarang sih persaingannya lebih ketat ya, sudah banyak pabrik kopi juga di sini. Tapi, kopi kita, di mana pun pasti dicari orang karena kualitas dan mutunya terjamin dan sudah diakui di Bangka.”
***
Pabrik kopi Cap Satu mendapatkan pasokan biji kopi dari berbagai daerah penghasil kopi terbaik di Sumatera seperti Bengkulu, Lampung, Jambi, dan Pagar Alam (Sumatera Selatan).
Mulanya, pihak pabrik meminta sampel biji kopi dari para pengepul. Demi menjaga kualitas kopi dari tahun ke tahun, Koh Yoyong mengaku sangat selektif, sehingga biji kopi yang dipilih dan masuk ke dapur produksi hanya biji kopi berkualitas.
“Kalau kata orang Bangka, ‘dak sekenek-kenek ngambik e’ (tidak asal-asalan). Jadi, biji kopi pilihan dari Bengkulu, Lampung, Jambi dan Pagar Alam itu kita sortir dulu, kita seleksi, mana kualitas yang bagus baru dipilih, dari aroma bijinya saja kita sudah tahu.”
“Di sana kan ada gudangnya, terus kirim ke Bangka sesuai dengan kriteria kita. Kalau tidak sesuai sampel, kita pulangin lagi, mereka yang nanggung risiko, termasuk masalah biaya kirim. Setiap tahun kan beda-beda, tapi sekarang kita pakai biji kopi dari Bengkulu, juga Pagar Alam.”
Berbagai proses produksi harus dilalui biji kopi hingga menjadi bubuk. Proses produksi ini benar-benar diperhatikan, terutama saat biji kopi disangrai, karena tahapan ini sangat vital dan butuh waktu yang agak lama.
Bangunan pabrik kopi Cap Satu menjulang dengan atap yang sangat tinggi yang dilengkapi cerobong asap. Ada tiga ruang aktif yang dipisahkan dinding dan jendela besi yang cukup besar, yakni ruang sangrai, ruang giling, dan ruang pengemasan. Seperti pabrik kebanyakan, bagian dinding di ruang sangrai dan giling, sudah berubah warna menjadi hitam kusam akibat kepulan asap.
Di ketiga ruang yang juga dijejali berkarung-karung biji kopi tersebut, nyaris tak ada lampu, karena pabrik lebih mengandalkan cahaya matahari langsung sebagai penerang. Kesan tradisional pun begitu terasa saat proses sangrai dan giling dimulai, yang terlihat hanya merah api yang menyala dan sinar matahari yang menyelinap masuk lewat cerobong asap dan jendela besar berpagar besi.
Proses sangrai biji kopi di pabrik Cap Satu memakai alat khusus yang sudah dipakai secara turun termurun. Alat berbentuk bola besi besar ini dijalankan menggunakan dinamo.
Sebelum biji-biji kopi dimasukkan, bola besi tersebut mesti ditarik keluar lebih dulu oleh empat orang–dua di kiri dan dua di kanan–lalu didorong kembali ke tempat semula tepat di atas pengapian. Meski butuh kekuatan fisik, pada tahapan ini, Koh Afo yang sudah tua renta juga masih ikut terlibat.
Proses produksi benar-benar masih berlangsung secara tradisional. Selain memakai bola besi, proses sangrai biji kopi juga masih memakai kayu bakar. Selain untuk menjaga kualitas, penggunaan kayu bakar juga untuk kopi lebih harum.
“Kita yang ngatur apinya gimana enaknya, dari sebelum masak dan saat udah mau masak. Kalau udah mau masak, pelan-pelan apinya kita siram dengan air sedikit demi sedikit. Jadi, nyala apinya dijaga, supaya nggak jadi gosong,” kata Koh Yoyong.
“Banyak contoh juga kan pabrik kopi yang produksinya pakai gas. Antara gas dan kayu api, aroma yang lebih berasa itu ya keluarnya dari kayu api, karena gas ini terlalu maksa masaknya, terlalu memeras,” ujarnya.
Tumpukan kayu bakar menggunung di area lain di luar dapur produksi. Menurut salah satu pegawai, stok kayu bakar harus selalu tersedia. Truk pengangkut kayu bakar datang memasok kayu ke pabrik sebanyak dua kali dalam seminggu.
Setelah disangrai, biji kopi yang masih panas kemudian dituang ke atas matras karung untuk proses pendinginan. Asap mengepul memenuhi ruangan, kulit-kulit biji kopi mengelupas beterbangan, mendarat di tubuh, sementara bau kopi yang sangat kuat, melekat awet di baju.
Koh Yoyong, Koh Afo, dan dua orang lainnya masing-masing memegang satu alat pengaduk untuk mendinginkan biji kopi. Keempatnya bergantian mengayunkan tongkat, menariknya dari depan ke belakang, mengaduk-aduk biji kopi yang masih panas.
“Dari situ baru kita sortir bijinya, dipilah-pilah. Kita bagi juga yang kualitas bagus dan kualitas biasa,” ucap Koh Yoyong. Setelah dingin, biji kopi dimasukkan ke dalam karung, lalu diangkut dan dimasukkan ke mesin di ruang penggilingan.
Bubuk kopi kemudian masuk ke proses pengemasan, yang juga dilakukan Koh Yoyong, Koh Afo, dan dua orang penggoreng biji kopi lainnya. Kopi Cap Satu sendiri menyediakan berbagai jenis, yakni kualitas premium, super, dan menengah ke bawah,
Ukuran kemasannya mulai dari satu ons, satu setengah ons, satu kilogram, dua kilogram hingga lima kilogram. Untuk kualitas super, per ons dihargai Rp6.000, sedangkan kualitas menengah ke bawah per ons Rp3.500.
Harga kopi premium mencapai Rp100.000 per kg, sementara kualitas super dihargai Rp 60.000 per satu kg, sedangkan kualitas menengah ke bawah seharga Rp 35.000 per satu kg.
“Itu harga dari pabrik. Kalau kopi yang kita distribusikan ke toko-toko itu terserah orang toko mau jual harga berapa, pokoknya patokan harga dari kita segitu.”
Menurut Koh Yoyong, permintaan kopi di Bangka Belitung setiap tahun terus meningkat 10 hingga 15 persen. Setiap harinya, lanjut Koh Yoyong, pabrik kopi Cap Satu bisa memproduksi sekitar 300-400 kg.
“Kalau untuk sekarang ini, warung-warung kopi untuk daerah Bangka Belitung, rata-rata kita yang distribusi kopinya. Sekitar 70 persen kita yang memasok.”
“Tapi kalau untuk warung kopi sejenis Coffee Shop atau Cafe, itu kan beda, mereka gilingannya kasar, bukan kayak kita yang halus. Kalau kita kan diseduh, mereka enggak, pakai pasak, jadi disaring, aromanya memang lebih wangi dibanding pakai seduh kayak kebiasaan kita di rumah.”
“Kadang sih ada juga yang ngambil kopi kasar dari sini, ada yang ngambil biji juga, giling sendiri. Halus kasar gilingan kopinya untuk tingkatan harganya itu sama semua, paling nggak bedanya Rp1.000-2.000 lah.”
Bicara soal produksi, Koh Yoyong mengaku kondisinya fluktuatif. Dari 12 bulan dalam satu tahun, setiap kali bulan puasa, pasti selalu sepi dan produksi kopinya bahkan menurun hingga 50 persen dari bulan-bulan biasa.
“Tapi memang cuma sebulan itu aja selama puasa. Selesai puasa, ya stabil lagi produksinya.”
Sementara omzet yang didapat pun mengalami naik turun, perubahan juga terjadi manakala pandemi COVID-19 mulai merebak di Indonesia. Di situasi pembatasan gerak masyarakat karena pandemi, pabrik kopi Cap Satu juga mau tak mau harus menurunkan jumlah produksi.
“Sekarang sih kalau kata orang Bangka tuh ‘beguyur’ lah (pelan tapi pasti). Mudah-mudahan enggak sampai menurun drastis ya, karena kopi kita ini selalu diminati semua kalangan, di mana pun dicari orang,” kata Koh Yoyong.
Kopi Cap Satu sudah dipasarkan ke seluruh daerah di Bangka Belitung. Ada juga konsumen dari luar Pulau Bangka yang meminta kiriman. Selain untuk konsumsi di rumah, pelanggan juga biasanya membeli kopi langsung ke pabrik sebagai buah tangan khas Bangka.
“Kopi ini sudah banyak dikirim ke berbagai daerah, seperti Jakarta, Palembang, Surabaya, Jogjakarta, sampai Kalimantan. Bahkan pernah juga dikirim ke luar negeri, kayak Singapura, Australia, Cina, bahkan ke Jepang. Tapi memang belum terlalu banyak.”
“Masyarakat Bangka Belitung ini sudah terbiasa ngopi yang keras, jadi kalau sudah terbiasa ngopi di sini, sudah tidak bisa lagi ngopi di tempat lain. Apalagi kalau kopi sachet itu, orang Bangka Belitung nggak biasa,” ujar Yoyong.
***
Di Bangka Belitung, perkebunan kopi sangat minim. Belum ada yang bisa diandalkan untuk produksi besar-besaran, meski dalam beberapa tahun terakhir ini masyarakat dan pemerintah setempat mulai mengembangkan tanaman kopi. Sebab, selama ini Pulau Bangka dan Belitung memang lebih terkenal dan maju dalam perkebunan lada dan karet, juga pertambangan timah.
Belakangan, kopi ternyata tak hanya bisa tumbuh di lahan daerah pegunungan, tapi juga di daerah yang beriklim panas seperti Bangka Belitung. Beberapa daerah yang mulai menggarap perkebunan kopi di Pulau Bangka yakni Desa Petaling Banjar, Kecamatan Mendobarat, Kabupaten Bangka, dan Kemuja, Kecamatan Sungailiat, Kabupaten Bangka.
Di Petaling Banjar, ada komoditi kopi berjenis robusta yang telah dikembangkan dan tumbuh dengan subur. Kopi tersebut dikenal dengan nama Kopling (Kopi Petaling) Banjar dan telah ditanam sejak sekitar tujuh tahun lalu. Tapi memang keberadaan kopi ini belum setenar kopi-kopi yang berada di pasaran.
Pada Oktober 2020 lalu, Ketua Kelompok Petani Petaling Banjar Sumardi menyebut, saat ini petani dalam kelompoknya sudah berhasil mengembangkan perkebunan kopi seluas 15 hektare dari lahan 78 hektare, dengan komposisi 100 orang petani.
Sumardi mengatakan bahwa proses penanaman kopi tidak sulit, yakni hanya membutuhkan waktu enam bulan dalam proses penyemaian, kemudian dipindahkan. Lalu, dalam waktu kurang lebih satu tahun delapan bulan kopi sudah bisa berbuah.
“Saya memperkirakan kebutuhan biji kopi setiap harinya di Bangka Belitung, mencapai dua ton, sementara sebagian besar saat ini biji kopi masih banyak dipasok dari luar pulau Bangka,” kata Sumardi.
Sementara itu, Koh Yoyong sendiri mengaku bahwa pabriknya pernah memakai biji kopi dari petani lokal Bangka. Tapi, hal itu tak berlangsung lama karena lagi-lagi kualitas biji kopi lokal masih belum bisa berbicara banyak.
“Apalagi wilayah kita juga kan belum banyak perkebunan kopi, orang-orang kita ini paling nggak mengandalkan kebun kopi yang tumbuh di belakang-belakang rumah, jadi masih minim,” katanya.
“Kita juga kepikiran kok untuk memakai biji kopi lokal, tapi ya itu kita lihat prospeknya ke depan. Kalau mutu dan kualitasnya masuk standar kita, ya kita pasti utamakan biji kopi lokal, jelas itu,” ujar Koh Yoyong lagi.
Koh Yoyong menyebut tak ada strategi khusus dalam menjalankan bisnis kopi. Secara turun-temurun, rahasianya cuma satu, yakni secara turun temurun pabrik kopi tersebut tetap menjaga kualitas, baik bahan baku biji kopi hingga tahap produksi.