Isu Terkini

Yang Bermasalah dari Pembubaran FPI

Faisal Irfani — Asumsi.co

featured image

Foto: Ramadhan Yahya/Asumsi

Front Pembela Islam (FPI), ormas kanan mentok yang dikenal kerap menggunakan kekerasan, telah dibubarkan oleh pemerintah.

Keputusan ini tertuang lewat SKB yang ditandatangani pimpinan enam lembaga pemerintahan: ada Mendagri, Menkumham, Menkominfo, Kapolri, Jaksa Agung, serta Kepala BNPT.

Pertama, FPI dianggap tidak punya izin resmi, atau “de jure” jika merujuk istilah pemerintah. Kedua, dan ini cukup klasik, FPI dinilai kerap bikin onar di tengah masyarakat.

FPI beserta segenap atributnya telah jadi ilegal. Bila melanggar, perangkat hukum akan turun tangan.

Tabrak Prosedur

FPI bukan satu-satunya organisasi yang dikubur pemerintahan Joko Widodo. Tiga tahun silam, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), mengalami nasib yang sama.

Pemerintah membubarkan HTI dengan dalih bahwa organisasi ini mengusung paham dan cita-cita mewujudkan kekhilafahan di Indonesia, yang bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang kurang lebih menyebut setiap ormas harus tunduk pada Pancasila dan UUD 1945.

Isu khilafah, saat itu, memang tengah hangat diperbincangkan. Narasi khilafah akan menggerus ideologi Pancasila terus-menerus direproduksi, dari forum ke forum, sehingga bikin pemerintah cukup kelimpungan, yang kemudian dibalas dengan bermacam propaganda tandingan sampai pembubaran HTI.

Keputusan pemerintah jelas memancing reaksi HTI. Ketok palu pembubaran itu digugat di PTUN. Gagal. Tak menyerah, HTI lari ke Mahkamah Agung (MA) untuk melayangkan kasasi. Lagi-lagi, upaya mereka terbentur tembok. Kiprah HTI pun resmi berakhir.

Pembubaran ormas, sebetulnya, memerlukan jalan yang panjang. Ormas tak bisa dilibas dalam waktu semalam. Menurut UU Ormas, yang dimaksud pembubaran ormas ialah pencabutan surat keterangan terdaftar (SKT) atau status badan hukum ormas bersangkutan. Kondisi tersebut dapat muncul sebab ada ketentuan dari regulasi yang dilanggar ormas.

Terdapat kurang lebih tiga tahapan yang mesti ditempuh pemerintah sebelum membubarkan ormas. Mulai dari pemberian peringatan tertulis sebanyak maksimal tiga kali, penghentian dana hibah, serta penghentian kegiatan sementara waktu. Barulah setelah tiga tahapan itu dilakukan, lebih-lebih ormas masih ngeyel, pemerintah boleh mengeluarkan jurus saktinya: pembubaran.

Namun, untuk memutus pembubaran ormas sendiri pun rangkaiannya tak sedikit. Keinginan pembubaran ormas diawali surat dari Menkumham. Dari menteri, surat masuk ke Kejaksaan, sebelum nantinya diajukan ke Pengadilan Negeri lewat surat permohonan yang dilengkapi bukti penjatuhan sanksi administratif dari pemerintah—pusat atau daerah.

Proses pengadilan pun digelar, dan paling lama memakan waktu sekira 60 hari. Pemerintah boleh membubarkan ormas usai memperoleh lampu hijau dari pengadilan—terhitung 30 hari sejak menerima salinan putusan pengadilan.

Dari penjelasan di atas, kiranya, sudah terang benderang: pembubaran ormas ditempuh melalui tahapan panjang yang punya kekuatan hukum tetap.

Tapi, itu dulu.

Sejak pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2017 tentang perubahan atas UU Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas), setelahnya disahkan menjadi UU Nomor 16 Tahun 2017, situasinya tak lagi sama.

Dalam beleid yang baru, pemerintah mengubah beberapa ketentuan krusial yang sebelumnya termaktub pada UU Ormas 2013, yang menjadi landasan yuridis pengaturan ormas di Indonesia. Hal yang diubah antara lain pemberian surat peringatan yang sebelumnya tiga kali, hanya jadi sekali. Yang sangat signifikan: ormas dapat dibubarkan tanpa harus melewati proses pengadilan.

“Lembaga yang memberi izin ormas harusnya yang punya wewenang mencabut dan membatalkan izin itu, dan hal ini yang tidak masuk dalam Undang-Undang 17 [UU Ormas tahun 2013] itu,” jelas Menkopolhukam waktu itu, Wiranto.

Walhasil, dari situ, HTI dibubarkan secara sepihak oleh pemerintah, tanpa sekali pun melewati proses pengadilan. Oleh banyak kalangan hal tersebut dipandang bertentangan dengan prinsip kebebasan berserikat, berkumpul, dan berpendapat sebagaimana telah diamanatkan oleh konstitusi.

Gugatan kepada UU Ormas, sehubungan dengan pencabutan izin, pernah dilakukan sejumlah ormas Islam ke MK pada tahun lalu. Penggugat, yang terdiri dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Yayasan Forum Silaturahmi Antar Pengajian Indonesia, Perkumpulan Pemuda Muslimin Indonesia, hingga Perkumpulan Hidayatullah, menganggap bahwa UU 16/2017 mengancam hak konstitusional lantaran peran pengadilan dalam menjatuhkan sanksi untuk ormas dihilangkan.

Namun, gugatan itu ditolak MK. Hakim menegaskan proses pencabutan izin ormas tidak berlawanan dengan prinsip negara hukum.

FPI mengalami situasi yang tak berbeda jauh. Kekusutan soal izin FPI, sebetulnya, sudah menjadi kawan karib yang menyertai perjalanan organisasi yang bermarkas di Petamburan ini. Akan tetapi, makin mendidih pada tahun lalu, ketika SKT milik FPI yang tercatat di Kemendagri habis masa berlakunya.

Usaha untuk memperpanjang izin sudah diambil FPI. Meski begitu, oleh Kemendagri, yang waktu itu dipimpin Tjahjo Kumolo, dokumen perpanjangan izin FPI dikembalikan sebab dianggap belum lengkap. Setelah berhasil dilengkapi, dalam hal ini ada kaitannya dengan rekomendasi dari Kementerian Agama, pemerintah ternyata masih belum memberikan persetujuan.

Tidak diberikannya status perpanjangan tersebut terjawab setahun berselang. Pemerintah mengungkapkan bahwa terdapat beberapa anggota FPI yang terlibat tindak pidana terorisme dan pelanggaran hukum lainnya. Hal ini dipandang menjadi satu dari sekian alasan pemerintah tak lekas mengeluarkan status hukum bagi FPI.

Munarman, Sekretaris Umum FPI, mengaku tak ambil pusing dengan tidak diberikannya perpanjangan izin untuk FPI. Baginya, ada atau tidak izin itu, termasuk di dalamnya SKT, FPI tetap legal lantaran ketentuan undang-undang menyebut bahwa pendaftaran ormas ke Kemendagri sifatnya fakultatif.

Perkataan Munarman tak salah. Putusan MK Nomor 82/PUU-XI/2013 dan UU Ormas memang menjamin hal tersebut. MK mengatakan bahwa pemerintah tidak dapat memaksakan atau mewajibkan ormas yang tidak berbadan hukum untuk mendaftarkan diri berdasarkan wilayah kerja maupun lingkup nasional, provinsi, serta kabupaten atau kota.

Dengan kata lain, jika terdapat ormas yang memilih tidak mendaftarkan diri atau memperpanjang izin, pemerintah harus tetap mengakui dan melindungi keberadaannya sebagai ormas yang dapat melakukan kegiatan di lingkup nasional maupun provinsi. Sebab, sekali lagi, pencabutan SKT sudah tidak lagi relevan, mengingat kehadiran SKT sendiri tidak bersifat wajib.

“[…] berdasarkan prinsip kebebasan berkumpul dan berserikat, suatu ormas yang tidak mendaftarkan diri pada instansi pemerintah yang berwenang tidak mendapatkan pelayanan dari pemerintah (negara), tetapi negara tidak dapat menetapkan ormas tersebut sebagai ormas terlarang, atau negara juga tidak dapat melarang kegiatan ormas tersebut sepanjang tidak melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan, ketertiban umum, atau melakukan pelanggaran hukum,” demikian tulis MK dalam bagian pertimbangan.

Aziz Yanuar, pengacara FPI, mengatakan bahwa keputusan pemerintah merupakan bentuk “kedzaliman dan kesewenang-wenangan.” Setelah ini, Aziz bilang, langkah yang diambil ialah menggugat SKB yang dikeluarkan pemerintah ke PTUN. Andaikata hal itu tak membuahkan hasil, pengurus sudah mempersiapkan rencana berikutnya.

“Tidak masalah. Nanti buat lagi organisasi atau perkumpulan lain,” jawabnya saat dihubungi Asumsi. “Berjuang tidak harus dengan FPI.”

Adapun Ian Wilson, dosen dan peneliti dari Murdoch University, Australia, sekaligus penulis buku Politik Jatah Preman (2018), menduga pemerintah telah mempersiapkan pembubaran FPI sejak jauh-jauh hari. Sekarang yang patut diperhatikan adalah apakah pembubaran tersebut menghasilkan bola panas atau tidak.

“Kita harus menunggu untuk melihat apakah akan ada pertentangan atau sebaliknya,” ucapnya.

Apakah Menjamin Situasi Jadi Lebih Baik?

Tak dapat dimungkiri, sejak didirikan pada 1998, kiprah FPI tak luput dari kontroversi. Mereka identik dengan aksi kekerasan, main hakim sendiri, dan berbagai perangai lainnya yang mengancam demokrasi dan kebebasan beragama.

Sudah tak terhitung kabar soal kekerasan yang dilakukan FPI, begitu pula ihwal tuntutan pembubaran dari masyarakat dan pemerintah.

Keberadaan FPI memang meresahkan. Tapi, apakah keputusan untuk membubarkan organisasi ini bisa jadi solusi tepat guna: mewujudkan realitas yang toleran dan nihil kekerasan?

Halili, Direktur Riset SETARA Institute, organisasi nonpemerintah yang berfokus pada isu toleransi, tak begitu yakin dengan hal tersebut.

“Saya tidak yakin pembubaran FPI akan mengurangi ekspresi-ekspresi intoleransi secara signifikan. Betul bahwa FPI, selama ini, sebagai entitas merupakan aktor menonjol pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Namun, fakta intoleransi sebenarnya terkait dengan narasi, pemahaman, dan perilaku manusia atau kelompok manusia,” tuturnya kepada Asumsi.

“Dengan atau tanpa label FPI, pemahaman, narasi, dan perilaku itu dapat muncul. Dalam konteks itu, penanganan atas tindakan orang, menurut saya, akan lebih efektif mengurangi ekspresi intoleransi dan intensitas pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia.”

Halili menambahkan, jika tujuannya memutus mata rantai kekerasan yang hingga detik ini tak ubahnya kanker bagi kehidupan masyarakat, yang dapat dilakukan yaitu meningkatkan penegakan hukum—satu pendekatan yang dinilai lebih demokratis.

Sedangkan Ian menambahkan ihwal potensi kekerasan tersebut haruslah lebih dulu dipahami apa yang jadi faktor pendorongnya: FPI sebagai pelaku atau FPI sekadar penyalur (sikap intoleransi hingga kepentingan sosio-ekonomi).

“Kalau FPI sekadar wadah, ada kemungkinan wadah baru akan terbentuk,” tegasnya.

Potensi lahirnya aksi kekerasan memang terbuka lebar, walaupun dalam jubah yang tak lagi bercap logo FPI. Pasalnya, doktrin yang tertanam pada anggota FPI sudah cukup kuat dan tak serta merta lenyap hanya dengan “membubarkan organisasi.”

Yang perlu diingat, selama dua dekade lebih FPI berhasil memupuk militansi anggotanya, entah lewat jejaring majelis taklim yang tersebar di setiap sudut Jakarta maupun pesona panutan mereka, Rizieq Shihab, yang senantiasa bersinar terang di lingkungan organisasi.

Selain itu, kemungkinan munculnya konflik horizontal, dalam hal ini antarwarga maupun sesama ormas, juga tak boleh ditepikan begitu saja. Bisa jadi pada momen-momen yang akan datang, pemerintah memanfaatkan keberadaan ormas yang sejalan dengannya untuk membantu ‘menertibkan’ berbagai elemen FPI yang masih berkeliaran. Di level yang paling ekstrem, dinamika tersebut dapat berujung lahirnya gesekan berskala besar.

“Kalau ormas lain diberdayakan untuk mempolisikan pelarangan FPI, ada kemungkinan untuk [terjadinya] konflik,” kata Ian. “[Kalau sudah begitu] ini mungkin momen untuk merenungkan peran masyarakat sipil dalam menjaga keamanan dan relasi antara aparat formal dan kelompok informal ala ormas.”

Tak ketinggalan, pembubaran FPI juga dapat dibaca sebagai sinyal buruk bagi kelompok lainnya, utamanya yang mengkritik pemerintah. Ketentuan yang dibikin pemerintah tersebut—lewat SKB—rawan disalahgunakan untuk membungkam mereka yang tak sepaham dengan dalih “menganggu ketertiban masyarakat.”

Sekarang yang jadi target FPI, organisasi yang kerap bersebarangan dengan pemerintah karena dinilai “radikal.” Besok, bisa jadi, giliran mereka yang konsisten melayangkan kritik progresif terhadap rezim.

Lima tahun terakhir, gejala otoritarianisme sudah jamak bermunculan di tengah kenyataan hidup warga Indonesia. Dan yang terjadi pada FPI baru-baru ini kian memperkuat cengkeraman itu.

Share: Yang Bermasalah dari Pembubaran FPI