“Dulu, oma suka nyanyi,” katanya lirih. “Nyanyi macem-macem. Pop [bisa]. Jazz juga. Tapi, yang paling oma suka itu keroncong,” imbuhnya, mendahului niat saya untuk bertanya lagu apa yang sering dia nyanyikan.
Jakarta cukup mendung. Tapi, wajah Oma Fransisca, begitu dia akrab disapa, tampak berseri, terlebih saat ingatannya berusaha mengumpulkan momen-momen masa lalu yang bikin dia bahagia. Salah satu kepingan kenangan yang dia jaga betul adalah perihal menyanyi.
Fransisca muda begitu mencintai dunia olah vokal. Baginya, menyanyi merupakan cara memupuk suka cita, selain juga menyembuhkan luka yang pernah ada. Kendati tak belajar secara khusus, Fransisca mengaku senantiasa menjalaninya dengan sepenuh hati.
Keroncong, seperti katanya kepada saya, jadi musik favorit, dan kegembiraannya membuncah kala membawakan balada “Sepasang Bola Mata” dan “Juwita Malam,” yang dua-duanya diciptakan oleh komposer legendaris Ismail Marzuki.
“Biasanya [keroncongan] sama teman-teman satu kampung, tidak jauh dari Grogol,” kenangnya perempuan berumur 75 tahun ini. “Pokoknya, kalau udah ramai-ramai gitu, menyenangkan sekali. Bernyanyi dan tertawa bersama.”
Akan tetapi, dari sekian banyak waktu yang pernah terlewat, Fransisca paling menanti hari di mana Natal tiba. Dia menuturkan bahwa pada perayaan Natal, keluarga besarnya berkumpul, dan di sinilah Fransisca muda bisa unjuk kebolehan: menyanyikan satu-dua lagu keroncong.
Suaranya menyatu sekaligus jadi latar sempurna untuk kehangatan dan luapan kasih sayang yang terpancar di antara seluruh anggota keluarga.
“Saya seperti menjadi orang paling bahagia di dunia,” jelasnya disertai senyum yang sangat tulus.
Waktu berjalan. Hari berganti. Tahun berubah. Dan zaman tak lagi sama. Tradisi itu kemudian perlahan luntur sebab banyak hal: usia, kesibukan, hingga pelbagai konflik keluarga yang membuat perayaan Natal, dengan segala suka cita yang bersinar terang, jadi terasa berjarak.
Untuk Fransisca, situasinya jadi bertambah pelik manakala dia mesti angkat kaki dari rumah dan pindah ke panti jompo sekira enam tahun yang lalu. Keinginannya agar Natal dapat berjalan seperti yang dia harapkan—dipenuhi parade keroncong, bertukar kabar bahagia sesama sanak saudara, dan menyaksikan raut wajah cucu-cucunya yang menggemaskan—adalah mimpi yang sulit tercapai.
Lalu datanglah pandemi, yang membikin mimpi-mimpi itu kian menjauh, dan menjauh, dari mata Fransisca.
***
Saya tak begitu kesulitan menemukan lokasi Panti Werdha Wisma Mulia, yang berada di kawasan Grogol, Jakarta Barat. Bangunannya cukup besar dan luas. Yang lebih penting lagi: banyak pepohonan yang tumbuh sehingga menjadikan lokasi Wisma Mulia terasa sangat asri.
Sesampainya di dalam, mobil dan motor memenuhi halaman depan. Beberapa orang terlihat lalu-lalang; ada yang membawa makanan, membersihkan lantai, hingga menyirami tanaman. Satu orang nampak memberi komando secara simultan, memastikan bahwa semua yang tengah dilakukan tidak melenceng dari perencanaan.
“Nanti jam 3 makanan [buat makan sore] harus sudah siap, ya,” pintanya kepada salah satu pekerja. “Jangan sampai telat. Kasian nanti oma-opa.”
Namanya Irene. Dia merupakan pengurus inti Wisma Mulia, tepatnya sebagai sekretaris. Awal tahun ini dia baru saja dilantik. Tugas yang tak mudah mengingat diangkatnya dia jadi pengurus bertepatan dengan pandemi COVID-19 yang menerjang Indonesia.
“Kami, jajaran pengurus di sini, harus putar otak gimana caranya untuk tetap bertahan di tengah kondisi yang serba nyeremin kayak sekarang,” tegasnya sembari menata dekorasi Natal yang terpasang di pintu kantor pengurus.
Kesehatan para oma-opa adalah hal wajib yang harus dijaga. Maka, tak lama setelah terpilih, Irene meminta seluruh penghuni Wisma Mulia melakukan tes kesehatan, tak terkecuali rapid test. Selain itu, dia juga mendorong penyemprotan disinfektan secara rutin, di samping menyediakan perkakas macam hand sanitizer hingga tempat cuci tangan di setiap sudut wisma.
Tak ketinggalan, para pengurus mengeluarkan kebijakan pembatasan sosial di lingkup internal wisma. Artinya, oma-opa diharuskan tetap di wisma, tidak ada yang boleh masuk wisma kecuali para perawat, dan agenda rutin yang biasa dilangsungkan seperti kumpul bersama di aula terpaksa ditunda dalam waktu yang cukup lama.
“Konsekuensinya oma-opa jadi banyak yang sedih karena mereka tidak bisa melakukan apa yang biasa dilakukan, termasuk kumpul-kumpul atau bertemu keluarganya,” terang Irene.
Bagaimanapun, pilihan seperti itu mestilah diambil. Irene tak ingin mempertaruhkan kesehatan oma-opa dan bernasib sama dengan salah satu panti jompo di Cengkareng yang 66 penghuninya—61 lansia dan 5 pegawai—terkena COVID-19.
“Jangan sampai [kena COVID-19],” tuturnya pelan. “Saya nggak bisa bayangin kalau [oma-opa] kena. Hancur banget saya pasti.”
Di titik inilah peran perawat jadi lebih krusial. Mereka tak sekadar mengurus kebutuhan sehari-hari para oma-opa, melainkan juga jadi tempat keluh kesah, cerita, serta pelipur lara terdekat. Atik, misalnya, satu dari sekian perawat di Wisma Mulia, sadar betul akan keadaan tersebut. Selama pandemi, inisiatif Atik untuk memastikan kondisi oma-opa baik-baik saja jadi meningkat.
“Biasanya saya ajak dia cerita. Saya mendengarkan. Di situ cukup banyak membantu karena mereka bisa lupa sama keadaan sekarang. Atau, sesekali saya video call keluarga mereka, lalu ngobrol sebentar. Oma-opa yang kaget gitu bisa lihat muka lewat handphone,” ucapnya, tertawa.
Tak selamanya upaya tersebut mampu menghilangkan kesedihan—atau kebosanan—yang singgah pada oma-opa penghuni wisma. Pernah suatu waktu taktik perawat tak mempan, dan akhirnya oma-opa berkubang dalam kesedihan yang (cukup) panjang. Jika sudah begitu, para perawat akan memberikan waktu bagi mereka untuk ‘menyendiri’ dan membiarkan waktu maupun ketenangan membantu menghapus rasa duka yang tertanam.
“Tapi, di saat bersamaan, kami tetap mengurus mereka. Kami hanya menyediakan ruang supaya oma-opa bisa tenang. Takutnya kalau kami paksakan dengan mengajak cerita dan sebagainya, mereka nggak nyaman,” imbuhnya.
Hampir sembilan bulan pandemi bertahan di Indonesia. Belum ada tanda-tanda virus ini bakal segera angkat kaki. Meski demikian, pemerintah mulai menggaungkan berbagai kebijakan yang intinya menekankan pada penyesuaian diri. Implementasinya dapat dilihat lewat, ambil contoh, pelonggaran pembatasan sosial dan akses pergi ke luar kota selama mematuhi protokol kesehatan.
Situasi ini lalu dimanfaatkan oleh pengurus wisma untuk menuntaskan kerinduan para oma-opa akan rutinitas dan kebiasaan yang sempat terpendam. Momen perayaan Natal pun dipakai sebagai titik balik. Hal tersebut diambil sebab mayoritas penghuni wisma beragama Kristen atau Katolik, hampir 80 persen.
Selama dua minggu terakhir di bulan Desember, pengurus wisma disibukkan dengan agenda persiapan Natal. Sudut-sudut wisma diramaikan hiasan khas Natal—kelap-kelip lampu, topi kecil Sinterklas, hingga daun-daun imitasi pohon cemara. Tak lupa, tulisan “Merry Christmas & Happy New Year” menyembul di bagian atas ornamen.
Tak cuma itu, agar suasana Natal kian paripurna, pengurus wisma membikin kegiatan internal, berbentuk hiburan menyanyi dan drama babak kelahiran Yesus, yang semuanya dibawakan oleh para oma-opa. Ibadah mingguan dan sesi kunjung anggota keluarga pun turut dihelat kembali, walaupun masih tetap dibatasi, mengikuti kebijakan pemerintah.
Tentu yang dilakukan di atas tak akan bisa mengembalikan suasana Natal seperti yang diharapkan. Perayaan Natal semestinya dilaksanakan tanpa sekat dan perasaan takut karena eksistensi virus yang masih berbahaya. Namun, upaya yang diambil para pengurus wisma setidaknya mampu menjaga api lilin Natal tetap berpendar.
“Seneng bisa ada suasana Natal. Mengobati sedih karena pandemi,” ujar Lastri, penghuni wisma, berusia 80 tahun. “Meski enggak kayak biasanya, ya,” tambahnya, dengan nada sedikit diselumuti penyesalan.
***
Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, yang disebut dengan kelompok lansia adalah mereka yang sudah berumur 60 tahun ke atas. Data dari BPS memperlihatkan bahwa dalam lima dekade terakhir, persentase lansia Indonesia meningkat kurang lebih dua kali lipat, menjadi 9,6 persen atau sekira 25 juta orang, di mana jumlah lansia perempuan lebih banyak satu persen ketimbang laki-laki.
Dari keseluruhan tersebut, lansia muda, atau yang berada di rentang umur 60 hingga 69 tahun, mendominasi tabel populasi kelompok, sebesar 63,82 persen. Kemudian diikuti lansia madya (70 sampai 79 tahun) dan lansia tua (80 tahun ke atas), masing-masing dengan persentase 27,68 persen serta 8,50 persen.
Populasi lansia di Indonesia diperkirakan terus meningkat. Prediksinya, pada 2050 mendatang, jumlah lansia dapat mencapai angka 77 juta orang, atau setara dengan 23 persen dari total penduduk.
Sayang, kualitas hidup lansia di Indonesia masih jauh dari kata ideal. Ini bisa disimak dari data Tim Percepatan Pengentasan Kemiskinan (TNP2K) yang menyebut bahwa sekitar 45 persen lansia berada di rumah tangga dengan status sosial ekonomi 40 persen terendah, 67 persen di antaranya hidup dalam keadaan sangat miskin dan terlantar.
Temuan BPS juga memperlihatkan kenyataan serupa. Banyak dari lansia yang belum menerima bantuan sosial (bansos) pemerintah. Untuk program beras untuk keluarga sejahtera (rastra), ambil contoh, hanya 11,4 persen lansia yang menerimanya, pada 2019. Lalu, sebanyak 89,19 persen lansia tak pula mendapatkan manfaat dari PKH (Program Keluarga Harapan).
Kondisi bertambah pelik tatkala rasio ketergantungan lansia terhadap penduduk produktif terus naik. Data 2019 menyebut bahwa rasio ketergantungan lansia sebesar 15,01 persen, atau setiap 100 orang penduduk usia produktif (15 sampai 59 tahun) harus menanggung 15 orang penduduk lansia. Imbasnya, penduduk produktif mesti mengeluarkan biaya tambahan untuk merawat lansia.
Jika penduduk produktif memiliki kemampuan finansial yang mumpuni, tentu tak akan jadi persoalan. Masalahnya, tidak semua penduduk produktif punya keistimewaan tersebut. Banyak dari mereka yang juga harus bertahan dengan segala keterbatasannya.
Maka tak mengherankan bila keadaan itu mendorong munculnya kabar yang tak menyenangkan di kelompok lansia. Ada yang hidup sebatang kara bermodalkan asupan singkong, ada pula yang diduga ditelantarkan keluarganya sendiri dan mengandalkan makanan dari para tetangga untuk bertahan. Ini belum termasuk lansia yang menghadapi kenyataan pahit lainnya: rentan jadi korban kekerasan.
Riset yang disusun Lokataru menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kualitas hidup lansia di Indonesia seperti tak terawat dengan baik: kemiskinan, diskriminasi, hingga akses ke pelayanan hak dasar yang belum tercukupi.
Hal itu diperparah dengan tidak meratanya program yang dibikin pemerintah, demikian tulis laporan SMERU Research Institute, lembaga penelitian yang berfokus pada isu kebijakan publik. Program pemerintah, berkenaan dengan keberadaan lansia, memang beragam, dari bantuan sosial hingga layanan kesehatan. Namun, tidak semua lansia dapat menikmati program tersebut—hanya menyasar lansia di kelompok ekonomi menengah ke bawah.
“Oleh sebab itu, diperlukan program perlindungan sosial yang mencakup seluruh lansia, mulai dari kelompok ekonomi terbawah hingga kelompok ekonomi teratas. Program-program perlindungan sosial tersebut juga harus disesuaikan dengan situasi lansia di masing-masing daerah mengingat situasinya cukup beragam antara satu daerah dan daerah lainnya,” terang studi SMERU.
Holda, pengurus Wisma Mulia yang bertugas mendampingi proses keluar-masuk oma-opa, membenarkan situasi itu. Menurutnya, kesadaran untuk merawat para lansia belum tumbuh optimal di masyarakat. Banyak masyarakat yang merasa lansia—entah orang tuanya atau sanak saudara lain—bukan tanggung jawab mereka, sehingga opsinya seperti mengerucut pada dua hal: ditinggal sendirian di rumah atau dititipkan ke panti jompo.
“Ada kejadian oma ditinggal di sini. Tapi, ketika kami kontak nomor keluarganya, tidak ada yang ngangkat,” jelasnya. “Kesannya jadi seperti ditinggal aja di panti. Padahal bukan seperti itu cara berpikirnya.”
Tapi, Holda dan jajaran pengurus Wisma Mulia, panti yang sudah eksis selama lima dekade lebih, tengah berupaya memutus rantai buruk itu. Sebelum menerima lansia yang hendak masuk, para pengurus akan lebih dulu melakukan pengecekan dari sisi latar belakang keluarga dan kesehatan. Dua syarat tersebut, Holda bilang, mutlak dipenuhi.
Latar belakang keluarga penting bagi proses penerimaan karena jika ada hal-hal yang terjadi dengan oma atau opa bersangkutan, pengurus bisa langsung menghubungi keluarganya. Membawa lansia ke panti jompo bukan berarti keluarga dapat lepas tanggung jawab begitu saja.
Sedangkan faktor kesehatan wajib dilihat untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Dengan kata lain, para pengurus tidak akan menerima lansia yang punya riwayat penyakit serius. Holga menegaskan kebijakan ini diambil sebab panti jompo difungsikan untuk tempat istirahat lansia, selain juga bersosialisasi dengan teman-teman sebaya dan memupuk rasa bahagia.
“Tadi ada yang ingin masuk ke sini. Tapi, setelah kami cek lebih dalam, dia punya penyakit bawaan yang cukup parah. Jadinya, kami pulangkan dulu,” katanya. “Karena panti jompo itu bukan rumah sakit. Tidak semua yang sakit bisa dibawa ke sini. Harus dibedakan.”
Bagi Holda, masalah yang menyertai perjalanan hidup lansia di Indonesia butuh waktu yang tak sebentar untuk dituntaskan. Dia berharap kerjasama antar pemerintah, donatur, dan lebih-lebih masyarakat mampu terjalin lebih baik lagi.
“Karena kalau bukan kita yang masih sehat, masih bisa bergerak, siapa lagi yang akan mengurus mereka?”
***
Hidup, Fransisca percaya, adalah roda yang terus berputar: kadang di bawah, kadang di atas. Di usianya yang memasuki fase senjakala ini, keinginannya untuk urusan dunia, bisa dibilang, nyaris habis. Dia tak ingin mengejar apa-apa, berekspektasi lebih, atau memasang harap kelewat jauh dari bayangannya sendiri.
“Saya hanya ingin menikmati masa tua dengan kondisi yang sehat,” katanya dengan berkaca-kaca. “Itu udah lebih dari cukup.”
Natal tahun ini memang berbeda, dan sudah jelas tak akan sesuai dengan ekspektasi yang masih, atau pernah, dipasang Fransisca. Namun, dia sudah legowo, berupaya melepaskan sesuatu yang tak mungkin terwujud. Berat, pasti, tapi setidaknya Fransisca telah mengambil pilihan seperti sejak bertahun-tahun lamanya.
Angin berhembus cukup kencang, mengoyak daun-daun sehingga satu per satu berguguran dan kemudian berserakan di halaman tengah wisma. Langit masih mendung dan tak lama setelahnya sayup-sayup terdengar suara seorang perempuan mendendangkan lirik “Juwita Malam.”
“Sinar matamu menari-nari,
Masuk menembus ke dalam jantung kalbu,”
Itu suara Fransisca. Suaranya begitu hangat. Saya tersenyum. Natal telah tiba.