Gol Tangan Tuhan. Solo run memukau dari tengah lapangan yang membuat para pemain Inggris terlihat seperti pemain amatir. Piala Dunia 1986. Atau sosok yang membuat berbagai pemain cemerlang, mulai dari Pablo Aimar hingga Lionel Messi, disebut-sebut sebagai reinkarnasinya.
Ingatan-ingatan itu terekam jelas dalam memori kolektif kita. Dan namanya, Diego Maradona, kita sucikan.
Tapi cerita soal El Diego tak melulu unjuk kemampuan di lapangan. Baik dan buruk melingkupi hidupnya, membikin kita sadar bahwa kehebatannya senantiasa hadir bersama kompleksitas.
Diego punya afinitas terhadap gerakan politik kiri: Bukan hanya tampak mesra dengan Fidel Castro, dia bahkan menato gambar wajah Fidel (dan Che Guevara) pada tubuhnya. Bagi Diego, pemimpin revolusioner Kuba itu bak ayah kedua sebab telah membuka matanya terhadap politik.
· Ketika gelombang politik kiri pasang di Amerika Selatan pada awal 2000-an, Diego sibuk mendatangi berbagai negara di kawasan untuk berkampanye tentang pentingnya keadilan sosial.
· Pada 2005, bersama Evo Morales dan Hugo Chavez, Diego melawan kebijakan FTAA (Free Trade Area of the Americas) besutan George W. Bush yang merugikan kepentingan ekonomi negara-negara di Amerika Latin.
Masa keemasan Diego sebagai pesepakbola berlangsung di kota selatan Italia, Naples: Keberhasilannya membawa Napoli berjaya di level elite kompetisi bola dalam negeri dan Eropa membikin masyarakat Naples menahbiskannya sebagai dewa. Namun, kisah Diego di kota ini tak selamanya baik-baik saja.
· Di kota itu, ketergantungannya terhadap kokain memburuk. Tabiat ini muncul semenjak dia bergabung di Barcelona, klubnya sebelum Napoli, di mana dia dianggap gagal memberikan performa terbaik.
· Karena urusan yang sama, ia pernah terbelit masalah hukum.
· Diego juga berhubungan baik dengan Camorra, organisasi mafia yang disegani. Pernah suatu waktu dia tertangkap foto tengah berkumpul dengan anggota Camorra di sebuah klub malam.
· Kecintaan orang Italia kepadanya pernah berubah jadi kebencian tatkala dia membawa Argentina menang atas Italia dalam Piala Dunia 1990. Media-media lokal menyebutnya penjahat.
Setiap pemain besar, sudah pasti, punya seteru abadi. Bagi Diego, seteru itu adalah Pele. Hubungan keduanya naik-turun, terus berebut tempat paling tinggi dalam jagat sepakbola dunia.
· Diego pernah mengejek Pele dengan berkata: “Pulang sana ke museum.”
· Di lain waktu, Diego mampu menepikan rivalitas, misalnya ketika FIFA memberikan penghargaan Pemain Terbaik Abad Ini untuk keduanya.
Selamat jalan, Diego!