Foto: Unsplash
Perhatian Nyai Badriyah Fayumi terhadap peminggiran perempuan membuatnya tak kuasa menolak ketika ditunjuk sebagai Ketua Pengarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Kongres yang berlangsung pada 2017 itu terkenal secara progresif menyoroti pentingnya pengakuan terhadap eksistensi dan peran ulama perempuan di Indonesia, hingga menentukan sikap tegasnya terkait isu kekerasan seksual, pernikahan anak, dan kerusakan alam.
Ketika mendengar kata “ulama”, mungkin yang muncul di benak kita adalah laki-laki yang memakai peci atau sorban dan jubah panjang berwarna putih. Perempuan seperti jauh dan berjarak dari kata tersebut. Padahal, Indonesia tidak kekurangan santri ataupun ulama perempuan. Salah satu di antaranya adalah Nyai Badriyah Fayumi, perempuan yang namanya masuk sebagai satu dari 200 mubalig yang direkomendasikan oleh Kementerian Agama.
Nyai Badriyah Fayumi terkenal sebagai ulama yang lantang menyuarakan kesetaraan gender. Ia yang merupakan lulusan S1 Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir dan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah ini telah menyusun kajian-kajian ilmiah tentang ayat-ayat Alquran dan hadis dengan perspektif gender—salah satunya mematahkan anggapan banyak orang bahwa peran perempuan hanya sebatas pada urusan domestik.
Pemikiran-pemikiran Badriyah seputar isu gender ini pun dapat ditemukan dalam bentuk artikel dan buku, termasuk dalam Kedaulatan Perempuan: Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda (2002), Halaqah Islam: Mengaji Perempuan, HAM, dan Demokrasi (2004), dan Tubuh, Seksualitas, Dari Harta Gono-Gini Hingga Izin Poligami (2015).
Badriyah lahir di Pati, 5 Agustus 1971. Orang tuanya, Nyai Hj. Yuhanidz Fayumi dan KH. Ahmad Fayumi Munji, adalah pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Ulum di Kajen Tengah, Pati. Ketika kecil, Badriyah yang mempelajari isi kitab kuning (referensi klasik Islam) di pondok pesantren merasa terganggu dengan pandangan yang seolah-olah meninggikan derajat laki-laki dan mensubordinasi perempuan.
Kegelisahan itu yang membuatnya terdorong untuk berkuliah di Jurusan Tafsir Hadis IAIN, yang sekarang berganti nama menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, di Jakarta pada 1990-an. Selama kuliah, Badriyah juga aktif berorganisasi, yaitu menjadi Wakil Ketua Ikatan Mahasiswa Tafsir Hadir dan menjadi Ketua Pengurus Pusat Ikatan Pelajar Putri NU.
Badriyah juga bergabung dalam Forum Kajian Kitab Kuning yang didirikan dan diketuai oleh Sinta Nuriyah Wahid, istri Presiden Indonesia keempat Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Ia bersama dengan Sinta dan anggota-angota Forum Kajian Kitab Kuning menerbitkan buku Kembang Setaman Perkawinan (2005) yang adalah hasil analisis kritis terhadap dalil dan tafsiran dalam kitab Uqud al-Lujain.
Berdasarkan catatan penulis, pemerhati gender, dan aktivis Nahdlatul Ulama (NU) Kalis Mardiasih, Forum Kajian Kitab Kuning telah berkontribusi menunjukkan lemahnya kualitas sanad (sandaran) dan matan beberapa hadis yang bias gender dalam Uqud al-Lujain.
Salah satu hadis itu berbunyi sebagai berikut, “Di antara haknya adalah andaikata di antara dua hidung suami mengalir darah dan nanah lalu istrinya menjilati dengan lidahnya, ia belum memenuhi hak suaminya. Seandainya manusia itu boleh bersujud kepada manusia, niscaya aku perintahkan perempuan untuk bersujud pada suaminya.” (HR. al-Hakim)
Pada 2017, Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) diselenggarakan dengan Badriyah menjabat sebagai ketua pengarah. Menurut Kalis, KUPI bertujuan untuk meneguhkan eksistensi keulamaan perempuan. “Definisinya ada dua. Pertama, bahwa ulama perempuan yang secara biologis merupakan perempuan itu ada. Ada banyak perempuan yang memiliki kapasitas keulamaan yang setara atau tidak kalah dari ulama laki-laki. Hari ini Indonesia memiliki pengajar perempuan, rektor perempuan, hakim agama perempuan, hingga pimpinan organisasi masyarakat perempuan,” katanya ketika dihubungi Asumsi.co (10/11).
“Kedua, perempuan sebagai perspektif. Di sini, baik perempuan maupun laki-laki, asalkan ia memiliki perspektif dalam memandang perempuan secara setara sebagai khalifah Allah yang sama-sama memiliki hak untuk berbuat kebaikan sebanyak mungkin di muka bumi, maka ia pun disebut sebagai ulama perempuan,” lanjutnya.
Kalis menyatakan bahwa meskipun nama-nama ulama perempuan selama ini terdokumentasi dengan cukup baik, mereka lebih banyak dikenal sebagai “pendamping” dan bukan sebagai ulama. “Padahal mereka juga punya produk-produk pemikiran yang penting, sehingga layak bergelar ulama. Istilah ulama perempuan ingin merebut tafsir dan berupaya menyajikan kesadaran baru, bahwa ulama bukan hanya laki-laki tapi juga ulama perempuan.”
Tentang Nyai Badriyah Fayumi sendiri, Kalis menyampaikan dirinya adalah ulama perempuan yang luar biasa. “Beliau seorang hafizah, pengasuh pondok pesantren, dengan pengalaman yang panjang di bidang politik sejak tahun 90-an.”
Dukungan terhadap RUU PKS
Pada 2019, Nyai Badriyah Fayumi mewakili KUPI memberikan dukungannya terhadap pengesahan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Dalam sebuah forum bersama DPR, Badriyah menyampaikan bahwa, dalam perspektif agama, pengesahan RUU PKS adalah bagian dari misi kenabian untuk membebaskan perempuan dan kelompok rentan lainnya dari ketidakadilan.
“Sangat jelas dipaparkan betapa kaum mustadh’afin [kaum tertindas] korban kekerasan seksual di Indonesia hari ini masih menggapai-gapai payung hukum yang bisa memberikan mereka perlindungan, jaminan keadilan, dan pemulihan. Payung hukum itu ternyata masih jauh dari cukup,” ujar Badriyah.
Badriyah menyampaikan bahwa gagasan RUU PKS merefleksikan Surat An-Nur ayat 33 yang berbicara tentang pencegahan, perlindungan, dan pemulihan korban kekerasan seksual. Ia menyayangkan ayat ini justru “jarang muncul di publik”.
Ayat yang keluar di masa perbudakan itu berbunyi, “Dan janganlah kamu paksa budak-budak perempuanmu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang kepada mereka yang sudah dipaksa itu.”
“Ayat ini ada relevansinya dengan definisi kekerasan seksual. Bahwa memang ada unsur pemaksaan yang kemudian berdampak luar biasa. Quran memandatkan bahwa setiap korban kekerasan seksual dibebaskan dari kriminalisasi. Setelah itu tidak hanya itu. Perlakukan mereka dengan kasih sayang. Bahwa mereka perlu pemulihan. Ini spirit ayat yang saya pikir sangat penting untuk ke sana,” papar Badriyah.
“Saya hanya ingin mengatakan bahwa janganlah kawan-kawan yang berada di DPR merasa ragu untuk memperjuangkan undang-undang ini dengan kendala-kendala yang dianggap bersifat agama. Karena sesungguhnya tidak kurang spirit agama untuk mendukung itu,” lanjutnya dalam forum.
Badriyah yang juga merupakan lulusan S2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tidak sepakat ketika isi dari RUU PKS dianggap bertentangan dengan nilai-nilai keluarga. Tesisnya yang berjudul “Konsep Ma’ruf dalam Ayat-ayat Munakahat dan Kontekstualisasinya dalam Beberapa Masalah Perkawinan Indonesia” secara khusus menyorot bagaimana konsep “Ma’ruf” menandakan bahwa pernikahan mesti dibangun atas landasan saling menyayangi, saling menghormati, dan pengertian. Hal ini mengacu pada surat An-Nisa ayat 19 yang berbunyi, “Dan pergaulilah istri dengan cara yang ma’ruf.”
“Ma’ruf adalah satu kata yang mengandung satu kebaikan pada tiga level. Level pertama adalah syariat, level kedua adalah akal sehat, dan level ketiga adalah kepatutan sosial. Jadi ini kebaikan dari Tuhan yang berkaitan erat dengan kearifan lokal. Itulah pengertian ma’ruf secara singkatnya. Sehingga, hubungan suami istri harus melihat kepantasan, kepatutan, kemudian kerelaan, kenyamanan, dan kesiapan istri,” jelas Badriyah.
“Jadi sesungguhnya tidak benar ketika RUU PKS dianggap menghancurkan ketahanan keluarga. Justru kita ingin membangun keluarga di atas landasan saling menyayangi, menghormati, pengertian, juga meminimalisir terjadinya kekerasan seksual. Sayangnya nilai-nilai ini belum banyak tersuarakan sehingga KUPI memilih untuk menyuarakan ini.”
Selain aktif menjadi akademisi dan mengajar, Badriyah juga terlibat di politik elektoral. Pada 2004-2009, ia menjadi anggota DPR Komisi VIII dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Ia juga pernah menjabat sebagai Ketua Komisi Perlindungan Anak (KPAI) pada 2012-2014.
“Saya sadar memilih jalan ini untuk memastikan kebijakan undang-undang dan anggaran tidak merugikan masyarakat, khususnya perempuan,” ujar Badriyah, dikutip dari Harian Kompas.