Hingga Rabu (23/9), ada 257.388 kasus positif COVID-19 di Indonesia, dengan jumlah kematian mencapai 9.977 orang. Kian hari jumlah tersebut kian meninggi. Lalu datanglah gagasan untuk mempersempit definisi “kematian akibat COVID-19.”
Pada mulanya, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa mengirimkan surat kepada Kementerian Kesehatan, meminta “penegasan” definisi tersebut. Dia mengusulkan agar para pasien yang meninggal dunia akibat penyakit penyerta (komorbid) tak disertakan dalam penjumlahan.
Gayung bersambut, Anggota Staf Ahli Menteri Bidang Ekonomi Kesehatan Kemenkes M Subuh, dalam kunjungannya ke Provinsi Jawa Timur, mengatakan, “Penurunan angka kematian harus kita intervensi dengan membuat definisi operasional dengan benar; meninggal karena COVID-19 atau karena adanya penyakit penyerta.”
Namun, Juru Bicara Satgas COVID-19 Wiku Adisasmito memastikan bahwa pemerintah Indonesia tak berencana mengubah definisi kematian akibat COVID-19. Kata Wiku dalam keterangan pers pada Selasa (22/9), pemerintah akan tetap mengikuti definisi yang mengacu World Health Organization (WHO) dan Keputusan Menteri Kesehatan. Dengan kata lain, kematian karena penyakit penyerta tetap masuk hitungan.
“Prinsipnya kasus kematian yang dilaporkan adalah kasus konfirmasi maupun kasus probable COVID-19, dan kasus probable itu adalah suspek dengan gangguan pernapasan akut (ISPA/ARDS) berat, dengan gambaran klinis yang meyakinkan COVID-19 dan belum ada hasil pemeriksaan laboratorium RT-PCR (reverse transcription–polymerase chain reaction),” ujar Wiku.
Definisi itu dipakai oleh beberapa negara, termasuk Amerika Serikat. Otoritas AS menghitung jumlah kematian berdasarkan kasus probable dan suspek yang dibedakan dalam kategorisasi pencatatannya. Di sisi lain, Inggris hanya memasukkan pasien yang terbukti positif COVID-19 melalui tes dalam pencatatan kematian.
“Angka kematian rata-rata dunia adalah gabungan dari berbagai pencatatan dunia yang ada variasinya,” kata Wiku.
Kasus Naik atau Turun Harus Pakai Definisi yang Sama
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Dr. dr. Hariadi Wibisono, MPH, menanggapi kabar perubahan definisi tersebut.
“Untuk membandingkan kecenderungan naik atau turun, harus menggunakan definisi yang sama sehingga comparable. Perubahan definisi menyebabkannya tidak bisa dipakai untuk mengukur penurunan angka kematian. Kambing nggak bisa dibandingkan dengan domba,” kata Hariadi kepada Asumsi.co, Rabu (23/9/20).
Hariadi menjelaskan bahwa penentuan penyebab kematian memerlukan pemeriksaan rumit yang tidak dapat dilakukan oleh awam. Menurutnya, penyempitan definisi tak perlu dilakukan.
“Kalau klinis mendukung tapi belum ada hasil tes, masuk kategori probable. Kecuali tentu saja kalau meninggal karena satu sebab yang nggak ada hubungannya sama sekali dengan COVID-19, misalnya kecelakaan lalu lintas,” ujarnya.
Senada dengan Hariadi, Kepala Bidang Pengembangan Profesi PAEI Masdalina Pane mengatakan bahwa definisi kematian COVID-19 tak perlu diubah. “Sebab, dalam analisis bisa dibuat subset kematian with COVID-19,” kata Masdalina kepada Asumsi.co, Rabu (23/9).
Menurutnya, perubahan definisi pasti bisa menurunkan jumlah kematian, tetapi hal itu semu belaka. Alih-alih mempersempit cakupan definisi tersebut, Masdalina justru menyatakan yang selama ini berlaku di Indonesia kurang lengkap sebab belum menghitung data kasus kematian pasien probable sebagaimana ditetapkan oleh WHO.
“Kita hanya melaporkan kematian COVID-19. Segitu saja angkanya di atas global. Setahu saya diputuskan yang meninggal pada COVID-19 itu karena hasil pemeriksaan RT-PCR positif COVID-19, tidak terkait dengan cause of death.”
Sebagaimana Hariadi, Masdalina mengatakan untuk mencari penyebab kematian atau cause of death butuh pemeriksaan yang tidak mudah dan tidak murah. Apalagi, menurutnya, sebagian besar RS di Indonesia belum mampu melakukannya.
“Cause of death memang dibutuhkan, tapi itu sebaiknya menjadi tugas Litbang atau Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BBTKLPP), bekerja sama dengan Dinas Kesehatan dalam waktu tertentu, atau bagian dari surveilans sentinel,” ujarnya. “Tetapi terserah kebijakan Kemenkes, karena kami sudah memberikan pemikiran kepraktisan lapangan.”
Masdalina menyebut COVID-19 sebagai virus 1.000 wajah, yang sanggup memperparah penyakit yang sudah ada di tubuh manusia. Pada hipertensi misalnya, virus SARS-CoV-2 bisa menjadikannya unstable hypertension.
“Pada obesitas, dia makin mengganas karena COVID-19 sendiri komponen dasarnya sebagian besar protein, seperti mendapat asupan makanan yang ekstra kalau masuk di tubuh obesitas. Begitu masuk pada tubuh dengan kondisi protein baik (biasanya anak-anak), cenderung cepat sekali DSS (Dengue Shock Syndrome).”
Kematian Karena Penyakit Penyerta?
Pakar biologi molekuler Ahmad Rusjdan Utomo tak ingin masuk lebih jauh terkait definisi kematian yang konon akan diubah. Ahmad lebih menyoroti perihal mekanisme penyakitnya.
“Kalau ditanya apakah ada kasus meninggal karena COVID-19 murni, tentu tidak ada. Tapi kita bisa melihat perubahan kondisi tubuh terakhir sebelum meninggal,” kata Ahmad saat dihubungi Asumsi.co, Selasa (22/9).
“Kalau kita lihat data autopsi pasien yang meninggal dalam kondisi SARS-CoV-2 positif virus penyebab COVID-19, dan menunjukkan gejala seperti sesak nafas, kadar oksigen turun, naiknya D-dimer, citra radiologis GGO, gangguan GI pada kasus kritis, bisa dikatakan semua membutuhkan ventilator,” ujarnya.
Ahmad mengatakan bahwa ketika diautopsi, tampak jelas adanya diffused alveolar damage (DAD) kerusakan paru yang menyeluruh. Bahkan, lanjutnya, berat paru yang normalnya 500g bisa baik tiga kali lipat, menunjukkan adanya penumpukan cairan yang luar biasa sehingga pasien tidak bisa mendapatkan oksigen.
Menurut Ahmad, kondisi ini terjadi baik pada pasien dengan komorbid maupun tanpa komorbid. Bahkan, lanjutnya, kita bisa bertanya, berapa sering pasien dengan penyakit kronis seperti diabetes, hipertensi, bawaan jantung bisa tiba-tiba meninggal hampir serempak dan mereka semua butuh ventilator?
“Artinya komorbid itu sendiri tidak menimbulkan kematian. Namun, hilangnya fungsi pernafasan tersebut didahului oleh infeksi SARS-CoV-2,” kata Ahmad.