Foto: Unsplash/Pawel Czerwinski
Lagi-lagi, upaya menerapkan pendidikan seks di Indonesia terbentur tembok tinggi.
13 September lalu, Anggota Baleg DPR RI Almuzzammil Yusuf mengatakan bahwa materi orientasi mahasiswa baru Universitas Indonesia yang mencakup soal consent atau persetujuan dalam berhubungan seks merupakan tindakan mempromosikan seks bebas, yang tidak sesuai dengan “keimananan, ketakwaan, dan akhlak mulia” serta “nilai keagamaan”.
Segendang sepenarian dengan Almuzzammil, Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA) menilai bahwa pendidikan soal consent “bertentangan dengan nilai-nilai keindonesiaan” dan bukan pendekatan yang pas buat mengentaskan “problem kejahatan seksual” (20/9).
Rita Hendrawati, Ketua AILA, mengatakan bahwa pemahaman akan consent sama saja dengan membuka ruang bagi “seks bebas” serta mengabaikan perkara “legalitas” hubungan.
“Bukti-bukti empiris menunjukkan banyaknya kejahatan terkait seksualitas dimulai dari hubungan yang tidak legal dan menyimpang,” ujarnya lewat rilis pers di situs AILA.
Padahal, hubungan yang sah di mata hukum sama sekali tak menjamin kebebasan dari kekerasan seksual. Meminjam istilah Rita, ada banyak sekali “bukti empiris” perkosaaan serta bentuk-bentuk lain kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Menurut “Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan,” disusun oleh Komnas Perempuan, kekerasan terhadap perempuan Indonesia justru paling jamak terjadi di lingkungan keluarga: dari 14.719 yang dilaporkan sepanjang 2019, 75% di antaranya dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan darah (ayah, kakak, adik, paman, kakek), perkawinan (suami), serta kekerabatan lainnya.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dalam siaran persnya mengatakan bahwa konsep persetujuan harus dibedakan dengan konsep legalisasi.
“Legalisasi hanyalah sebuah pernyataan yang diberikan negara berkaitan dengan status hukum hubungan kedua belah pihak. Status ini bukanlah pernyataan consent yang diberikan seutuhnya sejak legalisasi diberikan,” ujar peneliti ICJR Genoveva Karisa (22/9).
Bahkan, dalam kerangka hukum pidana Indonesia, tindakan perkosaan di dalam perkawinan dapat dikriminalisasi berdasarkan ketentuan Pasal 46 Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang “Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.” Begitu pula dengan kekerasan terhadap anak: Pasal 288 KUHP menyatakan bahwa hubungan seksual dengan anak perempuan di bawah umur dapat dipidana penjara selama empat hingga 12 tahun—bergantung dari tingkat luka-luka yang dialami si anak.
ICJR menilai penalaran para anggota AILA tak hanya meleset, tetapi juga berbahaya karena menormalisasi perilaku kekerasan seksual—terutama dalam hubungan yang sah berdasarkan hukum.
“Alih-alih memberikan perlindungan kepada korban kekerasan seksual, logika pikir ini justru akan menormalisasi penghakiman dan mengabaikan pengalaman korban karena tidak memenuhi standar ‘legalitas’ yang digunakan oleh AILA,” ujar Genoveva.
Consent atau persetujuan merupakan poin pokok untuk memeriksa apakah seseorang melakukan tindak pidana kekerasan seksual. Persetujuan juga memberikan legitimasi yang pantas bagi negara untuk mengintervensi kehidupan pribadi warganya.
“Dalam hubungan seksual yang tidak didasari persetujuan, negara diharuskan hadir untuk memberikan perlindungan kepada korban. Sebaliknya, dalam perbuatan yang didasari persetujuan, negara tidak memiliki wewenang sama sekali untuk mengintervensi,” lanjut Genovea.
Menurut ICJR, pendidikan seks yang didasari pemahaman terhadap persetujuan dapat menurunkan laju kasus kekerasan seksual. Tanpa pendidikan dan pemahaman mengenai persetujuan dan bentuk-bentuknya, upaya pencegahan kekekerasan seksual tak ubahnya menggarami lautan.