“Ke depan, semua akan diisolasi di fasilitas milik pemerintah. Dengan begitu, kita akan bisa insyaallah memutus mata rantai dengan lebih efektif. Jadi di Jakarta regulasinya sedang disiapkan, sudah diputuskan tadi bahwa isolasi dikerjakan oleh pemerintah dan masyarakat yang terpapar wajib mengikuti isolasi ini,” kata Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di kawasan Danau Sunter, Jalan Danau Sunter Selatan, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Selasa (1/9/20).
Katanya, kemunculan klaster rumah tangga menjadi alasan Pemprov DKI melarang pasien COVID-19 diisolasi secara mandiri. “Ayah terpapar positif, keluarganya terpapar, ibunya, istrinya, anaknya, pamannya. Karena ketika melakukan isolasi mandiri, belum tentu [mereka] mengerti tentang protokol pencegahannya. Tidak semua tahu tentang ini.”
Lebih lanjut, Anies menyebut isolasi seluruh pasien COVID-19 di DKI nantinya akan dilakukan di fasilitas pemerintah. Anies berharap tidak muncul lagi klaster COVID-19 dari rumah tangga.
“Harapannya di Jakarta kita bisa lebih cepat lagi dalam memutus mata rantai. Dengan begitu, yang disebut sebagai isolasi adalah isolasi yang sesungguhnya, sehingga mereka tidak berada di lingkungan keluarga dan kerja yang potensi penularan tetap terjadi,” ucapnya. “Di Jakarta, dari waktu ke waktu angkanya itu naik-turun, tapi masih tetap relatif stabil. Yang kita butuhkan adalah penurunan yang lebih signifikan. Jadi ini harapannya ini bisa memutus mata rantai.”
Selain itu, pihak Pemprov DKI juga akan melakukan pengetatan. Menurutnya, pengetatan akan dilakukan berskala lokal, di daerah-daerah yang warganya terpapar COVID-19.
“Kami di Jakarta menyadari tantangan COVID ini cukup besar. Kita ke depan akan melakukan pengetatan berskala lokal. Artinya, perkantoran, pemukiman, yang di sana ditemukan kasus-kasus positif akan ada langkah-langkah pengetatan ekstra, dan ke depan kita akan memastikan semua yang terpapar positif harus melakukan isolasi bukan saja di rumahnya, tapi isolasi yang disiapkan pemerintah, sehingga, kita bisa memastikan mata rantai itu putus.”
“Karena banyak dari kita yang belum tentu bisa melakukan isolasi dengan baik, efeknya keluarga terpapar, tetangga terpapar, kolega terpapar.”
Rencana Anies menghapus isolasi mandiri bagi pasien COVID-19 ternyata sepenuhnya disambut baik. Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Mohamad Taufik misalnya yang tidak setuju dengan rencana Anies tersebut. Menurutnya, pasien COVID-19 tanpa gejala seharusnya tetap diperbolehkan isolasi mandiri di rumah.
“Kalau orang mau isolasi mandiri di rumah selama benar isolasinya tidak masalah. Yang penting diawasi oleh ketua RT dan RW,” kata Taufik di DPRD DKI, Rabu, (2/9).
Menurut Taufik, kebijakan pemerintah menghapus isolasi mandiri bakal menjadi beban fasilitas kesehatan di Ibu Kota. Sebab pemerintah harus merawat seluruh orang yang terkonfirmasi positif untuk menjalani isolasi di fasilitas kesehatan. Untuk itu, ia pun meminta Anies mempertimbangkan kebijakannya tersebut.
Alasannya, banyak rumah sakit rujukan yang hampir terisi penuh. “Sekarang ICU saja sisa sedikit. Makanya isolasi mandiri di rumah menurut saya salah satu alternaitf yang nggak boleh dilarang. Minta kepada RT dan RW untuk memgawasi secara ketat warga yang isolasi mandiri di rumah.”
Meski begitu, dosen Departemen Biologi FMIPA IPB Dr. Berry Juliandi mengatakan dampak yang paling utama kalau nanti isolasi mandiri dihapus adalah lebih ke kondisi mental orang yang akan diisolasi dan keluarganya. Oleh sebab itu, lanjut Berry, jika ini benar akan diterapkan maka sosialisasi prosedur, timeline, dan fasilitas untuk itu harus benar-benar disiapkan dengan baik sehingga masyarakat tidak khawatir.
“Kalau terlambat saya kira juga tidak, karena konsep dari isolasi mandiri sendiri sudah bagus, dengan asumsi diikuti dengan baik protokol kesehatannya selama di rumah. Namun memang yang terjadi adalah tidak seperti itu pada beberapa kasus,” kata Berry saat dihubungi Asumsi.co, Kamis (3/9/20).
Jadi menurut Berry, hasil evaluasi ini yang menjadi dasar bahwa perlu adanya kebijakan baru pengganti isolasi mandiri. Ia menjelaskan bahwa yang perlu disiapkan terkait hal ini adalah sosialisasi alasan dan prosedur serta fasilitas untuk kebijakan baru tersebut.
“Jika alasan masuk akal dan dapat diterima masyarakat secara utuh, maka penolakan akan minim. Lalu, jika prosedur jelas dan tidak membingungkan, maka akan banyak masyarakat yang rela melakukannya,” ujarnya.
Menurut Berry, yang juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Akademi Ilmuwan Muda Indonesia, yang terpenting adalah fasilitas kesehatannya memadai. Jika fasilitas baik dan sama atau lebih baik dari di rumah, ia menilai masyarakat tentu saja akan nyaman diisolasi pada tempat tertentu di luar rumah dan jauh dari keluarga.
Sementara itu, pakar biologi molekuler Dr. Ahmad Rusdjan Utomo menilai positif kebijakan tersebut apabila direalisasikan. Menurutnya, yang perlu jadi fokus penting jika isolasi mandiri benar-benar dihapus adalah kondisi pasien harus diperhatikan betul.
“Kalau saya menyambut baik, karena itu menjadi salah satu upaya memutus transmisi secara serius. Masyarakat juga perlu di edukasi demi kebaikan semua. Pastikan juga kebutuhan individu yang wajib terisolasi juga dipenuhi,” kata Ahmad kepada Asumsi.co, Kamis (3/9).