Kemarin (12/8), musisi I Gede Ari Astina, yang kerap disapa Jerinx atau JRX, ditahan oleh Polda Bali setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pencemaran nama baik terhadap Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Ia dicekal sebab dituding melanggar Pasal 28 ayat (2) UU ITE tentang penyebaran informasi kebencian atau permusuhan, dan terancam pidana enam tahun penjara atau denda paling banyak satu miliar rupiah.
Penangkapan Jerinx adalah babak teranyar dalam perseteruan sang musisi dengan IDI. Sebelumnya, drummer grup punk Superman is Dead ini dikenal sebagai figur publik yang getol mengkritik kebijakan pemerintah maupun lembaga kesehatan dalam menangani pandemi COVID-19. Tak sekali dua kali, ia mencibir peranan IDI maupun World Health Organization (WHO), menuding “elite global” berkongkalikong untuk menciptakan vaksin yang akan merugikan rakyat banyak, dan menentang kebijakan new normal.
Pada awal April 2020 lalu, misalnya, ia menuding bahwa pandemi COVID-19 “hanya skema bisnis”. Ia pun pernah berkoar-koar minta disuntik virus SARS-CoV-2 untuk membuktikan bahwa pandemi ini dilebih-lebihkan, menolak memakai masker di depan umum, serta terus mengadakan acara yang tak menerapkan social distancing di Twice Bar, bar miliknya di Kuta, Bali.
Salah satu langganan kritiknya adalah IDI. Pada 12 Juni, misalnya, ia menantang salah seorang pekerja medis anggota IDI untuk ikut bersamanya ke dalam ruang isolasi pasien COVID-19 tanpa menggunakan alat pelindung diri (APD). Sehari kemudian, ia menyerukan agar IDI dibubarkan, seraya memanggil mereka “kacung WHO” dan mengkritik kebijakan yang memaksa perempuan hamil untuk melakukan tes COVID-19.
Celoteh teranyar inilah yang akhirnya membuat kuping IDI panas. Pada 16 Juni 2020, ia dilaporkan oleh IDI ke Polda Bali dengan tuduhan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana terkandung dalam Pasal 28 Ayat (2), jo. Pasal 45A ayat (2) dan/atau Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (3) UU Nomor 19 tahun 2016 tentang ITE dan Pasal 310 KUHP.
Pekan lalu (6/8), Jerinx akhirnya angkat bicara. Saat ditemui pers di Mapolda Bali, ia meminta maaf kepada IDI. Ia bersikeras bahwa ucapannya murni bentuk kritiknya sebagai bagian dari masyarakat sipil, dan tak didorong oleh rasa kebencian.
Namun, Ketua IDI Bali I Gede Putra Suteja bergeming. Ia menegaskan bahwa pihaknya melaporkan Jerinx ke polisi karena menilai musisi tersebut telah menghina organisasinya. “IDI juga manusia, punya rasa,” paparnya. Jerinx, menurutnya, bertubi-tubi menghina organisasinya seolah-olah pandangan tersebut paling benar. “Maka dari itu kami serahkan ke proses hukum saja, saya laporkan.”
Setelah dua bulan diproses, pada 12 Agustus 2020 sang musisi ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Bali dan ditahan selama 20 hari. Tak lama setelah Jerinx diciduk, tagar #BebaskanJRXSID mengudara dan merangsek jadi trending topic di Twitter Indonesia. Dukungan terhadap sang musisi, bahkan dari pihak yang berseberangan dengan opini-opini kontroversialnya, mulai membanjir.
Rekan-rekannya di Superman is Dead, Ekarock dan Bobby Kool, bergantian menyuarakan agar Jerinx dibebaskan dari bui. Sutradara Angga Dwimas Sasongko juga menyatakan bahwa meski ia kontra dengan opini Jerinx, pemolisiannya adalah tindakan “berlebihan.”
Serupa dengan Angga, ahli hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai penetapan Jerinx sebagai tersangka “lebay”. Aktivis Dandhy Dwi Laksono memilih menyoroti bagaimana UU ITE semakin lazim dipakai sebagai “aturan karet yang mudah menjerat siapa saja, untuk ukuran yang semakin tak jelas batasannya.” Ia lanjut mencibir bahwa “jika benar keselamatan publik dipengaruhi opini 1-2 orang, berarti yang bermasalah NKRI-nya.”
Melalui siaran pers, Aliansi Masyarakat Sipil menyatakan bahwa penahanan Jerinx tidak perlu dilakukan dan “cenderung dipaksakan.” Aliansi yang terdiri dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat seperti LBH Pers, Aliansi Jurnalis Independen, ICJR, dan Elsam tersebut menyoroti bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE “hanya dapat dikenakan terhadap pencemaran yang ditujukan terhadap orang perseorangan, bukan terhadap institusi ataupun badan hukum.” Artinya, IDI sebagai institusi tidak berhak menggunakan pasal tersebut untuk menjerat Jerinx.
Lebih lanjut, mereka merasa pernyataan Jerinx terkait penanganan COVID-19 seharusnya jadi pemicu untuk “menghadirkan diskursus publik yang lebih sehat”, ketimbang langsung membungkamnya melalui instrumen UU ITE. Kriminalisasi terhadap Jerinx, seabsurd apa pun opini-opininya, tetap merupakan preseden buruk untuk demokrasi di Indonesia.