Stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA), pekerja seks, dan pecandu narkoba telah membuat mereka kehilangan akses atas layanan kesehatan.
Stigma ini tak hanya muncul dari masyarakat, tetapi secara sistemik melekat di hukum yang berlaku. Peraturan Presiden No. 64 Tahun 2020 tentang “Jaminan Kesehatan” digugat oleh organisasi advokasi ODHA dan pekerja seks (10/8) karena dinilai diskriminatif.
Organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari Rumah Cemara, Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI), dan Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) menilai Perpres ini mengandung pasal yang mengecualikan pelayanan kesehatan bagi kelompok rentan ini.
Pasal 52 ayat (1) huruf i dan j Perpres tersebut menuturkan bahwa pelayanan kesehatan untuk orang dengan “gangguan kesehatan/penyakit akibat ketergantungan obat dan/atau alkohol” dan orang dengan “gangguan kesehatan akibat sengaja menyakiti diri sendiri atau melakukan hobi yang membahayakan diri sendiri” tidak dapat dijamin BPJS.
Peraturan ini berdampak pada banyaknya pengguna narkoba jarum suntik yang mesti berbohong tentang riwayat medisnya demi dapat dilayani oleh BPJS—padahal mereka punya risiko besar terinfeksi virus HIV.
“Dengan kecenderungan orang tidak berbicara jujur tentang riwayat medisnya, akan menyulitkan sekali bagi teman-teman yang memiliki risiko tinggi terinfeksi HIV. Misalnya saya punya riwayat penggunaan narkoba, lalu saya berbohong dengan tidak membicarakan itu ke layanan kesehatan, mereka kan tidak pernah tahu. Mungkin saya sudah tertular HIV tapi saya tidak tahu statusnya,” ujar Aditia Taslim, Direktur Eksekutif Rumah Cemara, dalam konferensi pers (11/8).
Dampaknya, lebih dari 40% orang dengan HIV/AIDS di Indonesia diketahui tidak melakukan tes dan mengetahui status mereka. Aditia pun tak kaget bila gelombang kedua epidemi infeksi HIV akan menerpa Indonesia. “Kalau apa pun yang berkaitan dengan penggunaan narkoba itu tidak dilihat sebagai pelayanan publik, kita tinggal menunggu waktu. Ingat itu awal-awal tahun 2000-an ketika jumlah orang yang terinfeksi HIV meningkat drastis di kalangan pengguna jarum suntik.”
Tak hanya ODHA, stigma ini juga semakin berlapis bagi perempuan pengguna narkoba, perempuan pengidap HIV/AIDS, dan pekerja seks. Semasa pandemi, perempuan dengan HIV/AIDS yang mesti melahirkan secara caesar kesulitan untuk mengakses layanan BPJS, sebab rumah sakit umum yang menerima BPJS telah kewalahan oleh pasien COVID-19. Alhasil, mereka dirujuk ke rumah sakit swasta dengan biaya melahirkan berkali-kali lipat.
“Ini mempersulit perempuan HIV yang mau melahirkan. Sudah tidak berdaya, mereka juga tidak mendapatkan dukungan pembiayaan oleh pemerintah melalui BPJS,” ungkap Baby Rivona Nasution selaku Koordinator Nasional Ikatan Perempuan Positif Indonesia juga dalam konferensi pers.
Sementara itu, jika pekerja seks yang rentan terinfeksi virus HIV tak mendapatkan akses layanan kesehatan, mereka semakin berisiko untuk terus terjebak dalam kemiskinan dan menularkan virus ke klien, pasangan klien, ataupun anak mereka yang masih dalam kandungan.
“Kelompok ini hadir dari kemiskinan. Ketika kami mengalami gangguan kesehatan yang tidak ter-cover jaminan kesehatan, kami harus ke mana lagi?” tutur Lia Andriani selaku Koordinator Nasional Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) Pusat di konferensi pers.
“Padahal, ketika negara mau investasi kesehatan pada kelompok rentan, penularan HIV bisa ditekan. Satu pekerja seks dapat melindungi tiga orang di belakangnya: pelanggannya, pacarnya, dan istri atau anak dari pelanggannya. Dengan melayani pekerja seks, negara bisa turun menekan defisit BPJS,” lanjutnya.
Bertentangan dengan Undang-undang
Institute for Criminal Justice Reform selaku kuasa hukum organisasi sipil yang mengajukan gugatan terhadap Perpres No. 64 Tahun 2020 tentang “Jaminan Kesehatan” menilai Perpres ini bertentangan dengan sejumlah undang-undang yang berlaku di Indonesia.
Undang-undang No. 40 Tahun 2004 tentang “Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)” menyatakan dalam Pasal 26 bahwa jenis-jenis pelayanan yang tidak dijamin oleh BPJS akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden. Pelayanan kesehatan sendiri diartikan oleh undang-undang sebagai kegiatan yang punya tujuan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, termasuk obat dan bahan medis habis pakai yang diperlukan.
Sementara itu, dalam Pasal 52 ayat (1) huruf i dan j Perpres 64/2020, pengecualian itu tidak berbentuk pelayanan, melainkan gangguan kesehatan yang dialami oleh pasien. “Ketika kita lihat di huruf i dan j, ada kejanggalan: bukan pelayanan yang dikecualikan, malah gangguan penyakitnya,” ujar Maidina Rahmawati selaku kuasa hukum dari ICJR lewat konferensi pers.
Maidina menilai orang dengan gangguan kesehatan yang masuk dalam daftar pengecualian itu rentan untuk tidak mendapatkan jaminan kesehatan sama sekali. “Misalnya saya punya ketergantungan narkotika, tapi di sisi lain juga butuh layanan kesehatan untuk sakit saya yang tidak berhubungan, seperti tifus atau DBD. Dengan Perpres, layanan ini langsung di-cut. Ini kan berbahaya bagi pelayanan kesehatan ke depannya.”
Dalam Pasal 22 ayat (2), UU SJSN juga menyatakan bahwa pelayanan kesehatan yang dipengaruhi oleh selera dan perilaku peserta dapat dikenakan sistem urunan biaya. Artinya, jaminan dari BPJS tetap diberikan sejumlah persentase tertentu, bukan sama sekali dikecualikan sebagaimana yang tertera dalam Perpres 64/2020.
Perpres ini juga dinilai bertentangan dengan UU No. 35 Tahun 2009 tentang “Narkotika” yang menyatakan bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan mesti menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, yang berarti mereka punya hak untuk mendapatkan pengobatan dan pelayanan medis.
Begitu pula dengan UU No. 18 Tahun 2014 tentang “Kesehatan Jiwa” yang mengatur bahwa tindakan medis atau pemberian obat psikofarmaka terhadap Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) ditanggung oleh Sistem Jaminan Sosial Nasional. Lantas, jika mengacu pada Perpres 64/2020, ODGJ yang membutuhkan obat-obatan atau diketahui mengalami ketergantungan narkotika dapat terhambat layanan kesehatannya.
Perpres 64/2020 juga turut bertentangan dengan UU No. 39 Tahun 1999 tentang “HAM”, UU No. 11 Tahun 2005 tentang “Pengesahan ICCPR”, dan UU No. 36 Tahun 2009 tentang “Kesehatan” yang menyatakan bahwa kesehatan adalah hak asasi manusia dan penyelenggaraan pelayanan kesehatannya mesti dilakukan tanpa diskriminasi.
Berdasarkan argumentasi tersebut, para pemohon telah mengajukan gugatan Hak Uji Materiil kepada Mahkamah Agung agar Pasal 52 ayat (1) huruf i dan j dalam Perpres 64/2020 dapat dicabut. “Dalam hal ini, Perpres yang menyasar bentuk gangguan kesehatan tertentu itu bersifat diskriminatif, karena benar-benar membuat orang-orang yang seharusnya ditolong malah disetop haknya,” pungkas Maidina.