Bukan Donald Trump namanya bila tak jadi buah bibir. Kali ini, Presiden AS itu dituntut oleh musisi legendaris Neil Young. Penyebabnya? Trump berulang kali menggunakan lagu Young dalam acara-acara kampanye politiknya tanpa seizin sang penyanyi. Semakin parah lagi, Young dikenal getol memperjuangkan isu-isu yang sedang dibikin babak bundas oleh Trump. Walhasil, seorang presiden negara adikuasa mesti bertarung melawan bintang rock langganan juara Grammy Awards.
Sebenarnya, Young sudah gatal ingin menuntut Trump sejak dulu. Sejak 2015, saat ia masih berkampanye untuk menjadi presiden, Trump kerap menggunakan lagu karya Young seperti “Rockin’ in the Free World” sebagai musik latar saat ia naik panggung. Saat itu, Young meminta Trump secara baik-baik untuk berhenti menggunakan lagunya di acara kampanye politik.
Februari 2020 lalu, kejengkelan Young menggelegak kembali. Ia menulis surat terbuka bernada pedas untuk Trump, di mana ia berkelakar: “Setiap kali kamu memainkan lagu saya dan mendengar suara saya, ingat: itu suara seorang warga negara AS yang tidak mendukungmu.”
Juli lalu, amarah Young memuncak. Di tengah hiruk pikuk demonstrasi #BlackLivesMatter, Trump dan timnya mejeng di Mount Rushmore dan mengadakan acara kampanye politik. Di sana, Trump berkoar-koar bahwa martabat AS tengah diancam oleh “fasis sayap kiri”, sebelum mencibir pihak-pihak yang mengkritik kepemimpinannya. Dalam hajatan tersebut, Trump naik panggung diiringi “Rockin’ in the Free World” dan “Devil’s Sidewalk”, dua lagu Young.
Ada beberapa persoalan dari insiden tersebut. Pertama, “fasis sayap kiri” adalah istilah ngaco yang dijamin akan bikin pakar politik manapun terkena stroke ringan. Kedua, acara tersebut diselenggarakan di Mount Rushmore. Monumen tersebut kontroversial sebab tanah di mana ia berdiri sebetulnya adalah tanah adat yang suci bagi suku Lakota Sioux, yang tinggal di sana sebelum disikat habis oleh pendatang AS.
Acara kampanye Trump tersebut tak hanya bersamaan dengan rangkaian demo #BlackLivesMatter. Tetapi, disambut oleh protes dari warga lokal dan warga suku Amerika Asli yang tidak terima dengan kehadiran Trump. Selain itu, mereka khawatir bahwa kembang api berlebihan yang direncanakan di acara tersebut bakal memantik kebakaran dan mengotori sumber air.
Tentu saja, memainkan lagu berjudul “Rockin’ in the Free World” saat jutaan rakyatnya protes karena pembunuhan semena-mena, sambil pidato di tanah hasil rampasan adalah ironi yang luar biasa. Semakin runyam lagi, Young sejak dulu dikenal sebagai musisi yang vokal memperjuangkan hak-hak suku Amerika Asli.
“Saya tidak terima,” ucap Young tak lama setelah insiden tersebut. “Bayangkan bagaimana rasanya seseorang mendengar Rockin’ in the Free World setelah presiden berpidato, seolah-olah itu lagu tema dia. Saya tidak menulis lagu itu untuk ini. Saya bersolidaritas dengan suku Lakota Sioux.” Akhirnya, ia memutuskan menuntut Donald Trump.
Neil Young bukan satu-satunya musisi yang protes karena lagunya dipakai secara semena-mena oleh Trump. Artis seperti Queen, Adele, Rihanna, Guns N’ Roses, dan The Rolling Stones sudah pernah mensomasi atau sekadar memarahi Trump karena memakai lagu mereka di kampanye politiknya.
Terkadang, pilihan lagu Trump ngawur bukan main. Pada Oktober 2018, sehari setelah penembakan massal di sebuah sinagog di Pittsburgh, Trump naik panggung ke acara kampanye politik di Indiana dengan lagu “Happy” karya Pharrell Williams. Tentu saja, Pharell mencak-mencak. Dalam suasana tragedi, kenapa presiden malah memilih lagu yang mengisahkan kegembiraan?
Dalam momen-momen lainnya, pilihan lagu Trump menyiratkan ironi luar biasa. Pada Juli 2020, Linkin Park marah-marah setelah lagu mereka, “In The End”, dipakai dalam video kampanye Trump. Sebuah video kampanye politik yang menampilkan lirik “I tried so hard and got so far / but in the end it doesn’t even matter” adalah satir politik yang tak bisa direka oleh Aaron Sorkin sekalipun.
Namun, momen terbaik justru terjadi pada September 2015, saat Trump masih kampanye jelang pilpres di Washington, DC. Muncul di hadapan ribuan penggemarnya yang berbusa-busa, ia memainkan lagu lawas dari R.E.M: “It’s The End of The World as We Know It”. Jenius.
Tapi, ada persoalan penting yang dihadapi Young serta musisi-musisi lainnya yang kesal karena lagunya dicatut Trump. Secara legal, sebenarnya Trump boleh-boleh saja melakukan itu. Masalah ini dijabarkan oleh pakar properti intelektual Danwill Schneider dalam artikelnya, “The Copyright Conflict Between Musicians and Political Campaigns Spins Around Again.”
Jika setiap venue, pengelola acara, dan kafe harus minta izin ke artisnya langsung untuk memainkan musiknya, tentu saja repot. Maka dari itulah, kebanyakan musisi meminta lembaga Performance Rights Organization (PRO) untuk mengelola hak memainkan karya mereka. Secara legal, Trump tidak salah karena dia menyewa hak memainkan karya Young dan musisi-musisi lainnya melalui PRO masing-masing.
Resiko dari aturan ini adalah, boleh jadi PRO menyewakan musik tersebut ke venue atau acara yang tidak disukai sang artis. Umumnya, penyelesaian insiden macam ini cukup mudah. Artisnya akan protes ke sang penyewa, lalu sang penyewa akan berhenti memainkan lagu artis tersebut. Logikanya gampang: sang artis tak mau nama baiknya rusak karena dimainkan di acara sang penyewa, sementara sang penyewa tentu saja tak mau citranya diporak-porandakan oleh protes dari seorang artis kenamaan.
Logika tahu sama tahu ini buyar di tangan Trump. Akhirnya, lembaga PRO seperti Broadcast Music Inc (BMI) terpaksa menciptakan pengecualian khusus untuk izin bagi “entitas dan organisasi politik” pada 2012. Sederhananya, siapa saja berhak menyewa lagu seorang artis untuk dimainkan di acaranya. Namun, kalau acara itu adalah acara politik dan artisnya tak berkenan, sang artis selalu memiliki “hak veto” untuk menarik peredaran lagu tersebut.
Sebelumnya, Queen sudah pernah menggunakan “hak veto” tersebut pada 2016, ketika lagu mereka “We Are The Champions” dimainkan di Konvensi Nasional Partai Republikan AS. Namun, kadang pengelola acara politik bisa berbuat nakal. Buktinya, lihat saja apa yang menimpa Guns N’ Roses saat grup itu mau menyentil Trump karena memakai lagu mereka “Sweet Child O’Mine” di acara kampanye.
Setelah ditelisik lebih jauh, pengorganisir acara politik Trump menyewa lagu tersebut menggunakan izin venue. Alias, yang minta izin adalah pemilik venue, bukan pengelola acara. Apesnya, izin venue punya kekuatan hukum lebih tinggi ketimbang “hak veto” sang artis, sehingga mau tidak mau Guns N’ Roses harus mingkem.
Queen berhasil, Guns N’ Roses gagal. Kini giliran Neil Young. Apakah dia berhasil memaksa Trump berhenti menggunakan lagunya? Atau dia harus mengalah seperti Axl Rose dan kawan-kawan?