Tanggal 14 Juli diperingati sebagi International Non-Binary People’s Day atau Hari Gender Non-Biner Sedunia yang, seperti namanya, bertujuan meningkatkan awareness terhadap persoalan yang dialami oleh orang non-biner di seluruh dunia. Pertama kali dirayakan pada 2012, tanggal 14 Juli dipilih karena tepat berada di antara Hari Laki-laki Sedunia dan Hari Perempuan Sedunia.
Ilmu psikologi telah mengakui bahwa gender bukan semata-mata laki-laki dan perempuan (gender biner), tetapi berwujud dalam suatu spektrum dengan susunan yang bervariasi. Di Indonesia sendiri, gender non-biner ini sebenarnya bukanlah konsep yang asing.
Dalam masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan, dikenal istilah Bissu, yaitu kaum pendeta yang mengidentifikasi dirinya bukan sebagai laki-laki ataupun perempuan. Seorang Bissu, tidak dapat dianggap sebagai transgender atau waria, dan kepercayaan tradisional Bugis pun mengenal lima identitas gender: Oroane atau laki-laki, Makunrai atau perempuan, Calalai atau perempuan yang berpenampilan seperti laki-laki, Calabai atau laki-laki yang berpenampilan seperti perempuan, dan Bissu yang dianggap merupakan kombinasi dari semua jenis kelamin tersebut.
Konsep ini mungkin masih membingungkan bagi orang awam yang terbiasa memahami kategori gender secara tradisional. Ada pula istilah-istilah lain seperti genderfluid, pangender, hingga agender yang punya arti berbeda—tetapi pada dasarnya sama-sama mengidentifikasi bahwa gender tak hanya perempuan dan laki-laki.
Lantas, apa itu gender non-biner? Apa yang membedakannya dengan transgender? Gender non-biner merupakan payung bagi orang-orang yang merasa identitas gendernya tidak cocok dikelompokkan sebagai laki-laki atau perempuan. Identitas non-biner ini bisa bervariasi, yaitu termasuk orang-orang yang masih mengidentifikasi dirinya sesuai dengan beberapa aspek dari identitas biner, atau menolaknya secara menyeluruh. Maka, seseorang dengan gender non-biner dapat mengidentifikasi dirinya sebagai perempuan dan laki-laki sekaligus (bigender), fluidgender yang fleksibel, tak bergender (agender), atau bahkan kemungkinan-kemungkinan lain di antaranya—sehingga gender non-biner juga kerap dikenal dengan istilah genderqueer atau gender nonconforming.
Walaupun gender non-biner bisa jadi merasa identitas gendernya tidak sesuai dengan anatomi seksualnya, bukan berarti orang dengan gender non-biner adalah transgender. Lagi-lagi, transgender mengidentifikasi dirinya sebagai perempuan atau laki-laki, tetapi non-biner tidak terbatas pada kedua gender tersebut. Oleh karena itu, alih-alih dipanggil dengan kata “she/her” atau “he/him”, orang dengan gender non-biner lebih nyaman dipanggil dengan “they/them”. Untungnya, bahasa Indonesia sendiri tidak menyesuaikan kata ganti orang berdasarkan jenis kelamin.
Eksistensi orang dengan gender non-biner telah tercatat di berbagai sejarah dan mitologi dunia, terutama di bagian timur dunia, seperti di Mesir, India, Israel, dan lainnya—dan jumlah populasi TGNC (transgender and gender nonconforming) sendiri diperkirakan sekitar 0,17-1.333 per 100.000 orang.
Estimasi ini dikatakan masih belum cukup representatif dari jumlah populasi orang dengan gender non-biner sebenarnya. Pada 2018, studi yang dipublikasikan di jurnal Pediatrics pun menemukan bahwa 3% remaja yang disurvei di Minnesota, Amerika Serikat, mengidentifikasi diri mereka sebagai non-biner.
Atas penemuan-penemuan itu pula, sejumlah negara telah melegalkan keberadaan gender non-biner secara hukum. Australia menjadi negara pertama yang mengakui klasifikasi “gender ketiga” dan memfasilitas warganya untuk mengisi kolom gender selain dari laki-laki atau perempuan. Alex McFarlane pun jadi warga Australia pertama yang memanfaatkan layanan tersebut pada 2003.
Pada 2012, Argentina mengesahkan Undang-undang Identitas Gender yang memperkenankan transgender untuk memilih gender mereka tanpa perlu melakukan terapi hormon ataupun operasi kelamin. Dua orang warga Argentina pun untuk pertama kalinya pada 2018 berhasil membuat kartu identitas dan akta kelahiran tanpa identifikasi jenis kelamin. Negara-negara lainnya yang telah mengakui keberadaan gender non-biner termasuk Austria, Kanada, Jerman, Islandia, India, Selandia Baru, dan lainnya.
Indonesia memang belum termasuk negara yang ramah terhadap LGBTQ, termasuk pula gender non-biner. Tetapi, tetap ada cara bagi masyarakat untuk bisa turut menghargai dan mendukung orang-orang dengan gender non-biner. Salah satu yang paling utama, tentu saja, dengan mengakui keberadaan dan mendengarkan kisah mereka.