Kelompok masyarakat sipil yang diwakili oleh LBH Masyarakat meminta pemerintah membuktikan klaim-klaim alasan pelarangan ganja untuk kebutuhan medis di Indonesia. Bernama Koalisi Masyarakat Sipil Advokasi Narkotika untuk Kesehatan yang terdiri dari LBH Masyarakat, ICJR, Rumah Cemara, LGN, IJRS, EJA, dan Yakeba, koalisi ini mempertanyakan sikap pemerintah yang menolak rekomendasi WHO tentang pemanfaatan ganja untuk kesehatan.
Sebelumnya, pada 27 Juni lalu, pemerintah yang diwakili oleh Badan Narkotika Nasional, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kementerian Kesehatan, dan sejumlah pihak lainnya melakukan rapat koordinasi untuk menentukan sikap terhadap rekomendasi WHO. Seluruh peserta rapat dikatakan sepakat menolak rekomendasi tersebut dengan alasan ganja yang tumbuh di Indonesia punya kandungan yang berbeda dengan di negara-negara lain.
Pemerintah mengklaim telah melakukan penelitian terhadap tanaman ganja di Indonesia. Hasilnya, diketahui bahwa kandungan THC (tetrahydrocannabinol) mencapai 18%, sementara CBD (cannabidiol) 1%. “Kandungan THC itu kan sangat berbahaya bagi kesehatan karena bersifat psikoaktif,” ujar Brigjen Krisno H Siregar selaku Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri, dikutip dari Merdeka.com (27/6).
Ganja di Indonesia juga diklaim lebih banyak digunakan untuk kegiatan rekreasional dibandingkan untuk kepentingan medis. Oleh karena itu, melegalisasi ganja dianggap hanya akan lebih banyak menimbulkan bahaya.
Krisno pun mengacu pada UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang memasukkan ganja dalam golongan I bersamaan dengan opium mentah, tanaman koka, daun koka, kokain mentah, heroina, dan metamfetamina—membuat penggunaan ganja atas alasan apa pun akan mendapat sanksi tegas. “Adanya aturan yang tegas saja banyak warga negara yang masih melanggar, apalagi jika ganja dilegalkan. Akan lebih banyak lagi penyalahgunaan ganja dengan dalih apapun,” tutur Krisno.
Tanpa paparan bukti ilmiah, Koalisi Masyarakat Sipil meragukan klaim pemerintah ini. Menurut mereka, keputusan pemerintah ini tidak jelas dan cenderung mengada-ngada. Ma’ruf Bajammal selaku pengacara LBH Masyarakat juga menilai pemerintah tidak konsisten. Di satu sisi, pemerintah mengakui adanya manfaat kesehatan dari ganja. Di sisi lain, pemerintah menolak untuk memanfaatkannya lebih lanjut atas alasan kandungan THC.
“Bagi kami, seberapapun tingginya kandungan THC, sepanjang memang ganja ini bisa dijadikan sarana pengobatan, maka pelarangannya adalah bentuk pembangkangan pemerintah terhadap konstitusi. UUD 1945 kita telah menjamin setiap orang untuk memiliki hak atas pelayanan kesehatan. Salah satu perwujudannya adalah pemerintah wajib memberikan kemerdekaan terhadap seseorang untuk melakukan pengobatan terhadap dirinya, termasuk jika harus menggunakan narkotika golongan I yang salah satunya adalah ganja,” ujar Ma’ruf kepada Asumsi.co (9/7).
Terlepas dari klaim penelitian oleh pemerintah, Koalisi Masyarakat Sipil meyakini belum ada satu penelitian pun terkait manfaat kesehatan tanaman ganja yang telah dilakukan di Indonesia. Walaupun UU Narkotika menyebutkan bahwa narkotika golongan I dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi kenyataannya berbeda di lapangan. Menurut Ma’ruf, sulit untuk mendapatkan izin melakukan penelitian terkait ganja dari pemerintah.
“Salah satu organisasi yang tergabung dalam koalisi narkotika untuk kesehatan, Lingkar Ganja Nusantara (LGN) pernah mengajukan, namun izinnya tidak didapatkan. Kalau kami berpendapat, memang cukup sulit untuk mendapatkan [izin] ini karena sikap keras pemerintah yang menggaungkan ‘kebijakan perang terhadap narkotika’, sehingga kami khawatir inilah yg menjadi penghambat mengapa izin ini sulit didapatkan,” ungkap Ma’ruf.
WHO lewat Director General Tedros Adhanom Ghebreyesus sempat merekomendasikan agar ganja atau cannabis dihapus dari Kategori IV versi WHO yang didasarkan pada Konvensi Tunggal tentang Narkotika 1961 ini. Tedros menyebutkan bahwa, “terdapat bukti bahwa ganja memiliki manfaat kesehatan.”
Dengan ganja dihapus dari Kategori IV dan hanya termasuk dalam Kategori I, maka ganja dapat diperlakukan seperti morfin—yang tetap dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan medis walaupun dikategorikan sebagai “zat psikoaktif berbahaya”. “Sikap WHO ini seharusnya menjadi contoh bagi pemerintah bagaimana perkembangan ilmu pengetahuan seharusnya disikapi untuk memajukan manusia dan menghilangkan ego atas superioritas hukum yang berlaku sekarang. Bagi kami, tidak sepatutnya ada hukum yang justru mencelakakan manusia,” Ma’ruf menandaskan.