Seolah tahun 2020 masih kurang gemilang, sebuah kabar gembira tersiar belum lama ini: Kanye West, sang legenda hip hop nan kontroversial, mengumumkan bahwa ia akan maju sebagai Capres dalam Pilpres AS tahun ini. Iya, serius.
Tipikal Ye, langkah sensasional ini ia syiarkan melalui Twitter bertepatan dengan peringatan hari kemerdekaan AS pada 4 Juli. “Kini, kita mesti mewujudkan janji Amerika dengan berserah diri pada Tuhan, mempersatukan visi kita, dan membangun masa depan,” tulisnya dalam sebuah pernyataan resmi. Unggahan tersebut lantas disusul emoji bendera AS dan tagar #2020VISION.
Meski sekilas terkesan menggelikan, sebetulnya gagasan AS dipimpin Yeezy tidak konyol-konyol amat. Negara adikuasa itu punya rekam jejak melantik selebritis menjadi pemimpin. Lupakan sejenak Donald Trump, sang Presiden bekas bintang reality show. Negara bagian California pernah dipimpin oleh Terminator. Adapun Ronald Reagan, presiden yang mendominasi AS sepanjang dekade 1980-an, adalah bekas bintang film. Sebagai pembanding, bayangkan bila 30 tahun dari sekarang Indonesia dipimpin oleh Presiden Tio Pakusadewo.
Pilpres AS pun tak sekali dua kali diguncang oleh Capres independen atau dari partai ketiga yang tiba-tiba menuai dukungan besar dari publik. Pada Pilpres 1992, pengusaha Ross Perot mendapatkan 19 persen suara dan bikin bingung para pengamat politik AS yang terpaku pada kutub Demokrat versus Republikan. Pada 2000, Ralph Nader menorehkan suara 3 persen dan dianggap bertanggungjawab membuat kandidat partai Demokrat, Al Gore, keok di Pilpres.
Oleh karena itu, tak sedikit pengamat politik beneran yang memberi jawaban serius terhadap pengumuman Ye. Padahal, pasca pengumuman tersebut Ye sendiri memilih tutup mulut. Saat kantor berita Reuters menghubungi publisisnya untuk meminta info lebih jauh (sudah mendaftar belum? Basis kampanye kamu apa? Ini serius nggak sih?), mereka tidak mendapat jawaban apa-apa. Semua ini terasa seperti upaya surreal Ye untuk menjahili jutaan fansnya di seluruh dunia.
Tidak puas menjadi salah satu rapper dan produser paling inovatif sepanjang sejarah hip hop, Kanye telah menyuarakan ambisinya untuk menjadi Presiden AS sejak 2015. Pada pidato penerimaan penghargaan di Video Vanguard Award, ia menyatakan akan maju sebagai Capres pada Pilpres 2020. Sejak saat itu, keinginan Kanye menjadi Presiden jadi semacam lelucon internal sekaligus rahasia umum di kalangan penikmat hip hop.
Pada 2018, dalam wawancara dengan Charlamagne tha God, West ditanyai seperti apa pemerintahan yang ingin ia pimpin. Saat itu, ia berkelakar bahwa ia ingin “berkampanye layaknya Trump, namun mencampurnya dengan prinsip-prinsip ala Bernie Sanders.” Setahun kemudian, ia mengeluarkan tweet membingungkan: “2024”. Jutaan fansnya memaknai itu sebagai pernyataan tersirat bahwa ia ingin maju pada Pilpres 2024.
Namun, ambisi tersebut muncul seiring dengan momen-momen paling kontroversial sepanjang kariernya. Kanye bertambah mesra dengan Trump dan gerakan ultrakanan AS sejak 2016, meskipun Trump beserta konco-konconya berulangkali mengeluarkan pernyataan dan kebijakan yang mendiskriminasi minoritas ras di AS.
Pada 2018, West dan istrinya, megabintang Kim Kardashian, mengunjungi Trump di Gedung Putih untuk mendiskusikan reformasi sistem penjara. Namun, West justru melantur. Sambil mengenakan topi Make America Great Again, West menyatakan bahwa Trump “membuatnya merasa seperti Superman”, meracau soal jumlah semesta yang tak terhingga, lantas bersumpah serapah. Pada 2018, ia pun jadi bahan tertawaan setelah menyebut bahwa ia dan Trump sama-sama “memiliki energi naga.”
Semakin parah lagi, kedekatan menggelikan dengan Trump itu terjadi berbarengan dengan fase paling inkonsisten dalam karier kreatifnya di musik. Dua albumnya yang teranyar, Ye (2018) dan Jesus is King (2019) dicemooh kritikus karena dianggap melantur dan tak matang. Reputasinya sebagai musisi brilian agak terselamatkan karena ia turun gunung dalam dua proyek yang minta ampun bagusnya: sebagai produser di album Daytona (2018) karya Pusha T serta kolaborasi Kids See Ghosts bersama Kid Cudi.
Namun, belakangan Ye mulai berseberangan dengan sobat naga-nya. Akhir 2018, ia mencak-mencak setelah namanya didompleng oleh jurnalis konservatif Candace Owens. Saat itu, ia menyatakan bahwa namanya digunakan untuk menyebar pesan yang tidak saya percayai. Baru-baru ini, saat Trump mencemooh para demonstran Black Lives Matter dan bersikeras mengadakan acara kampanye di tengah pandemi, Ye mengambil sikap berbeda.
Juni lalu, Ye banyak dipuji usai mendonasikan 2 juta dollar untuk mendukung keluarga George Floyd, Ahmaud Arbery, dan Breonna Taylor, tiga warga kulit hitam AS yang dibunuh dan memantik gelombang protes Black Lives Matter. Belum lama ini, Ye pun merilis lagu baru nan apik berjudul “Wash Us In The Blood” yang sarat kritik tajam terhadap ketidakadilan dan rasisme di AS. Tak sedikit kritikus menilai Kanye telah kembali setelah lama tersasar.
Persoalannya, pengumuman Kanye tampaknya datang terlambat. Pilpres AS akan dimulai pada November nanti, dan Kanye harus mendaftar dulu ke Federal Election Commission, memberikan program kampanye yang jelas, serta mengumpulkan tanda tangan dukungan warga yang cukup untuk masuk ke kertas suara Pilpres.
Menurut James McCann, ilmuwan politik di Purdue University, Kanye bisa saja mencoba mencari dukungan dari parpol kecil. Namun, tenggat waktu untuk mendaftar sebagai kandidat parpol alternatif sudah lewat di berbagai negara bagian–termasuk negara bagian dengan jumlah pemilih tinggi seperti New Mexico dan North Carolina.
Opsi lain, Kanye bisa maju sebagai kandidat independen. Namun, untuk melakukan itu ia harus menggalang tim dan relawan untuk mengumpulkan puluhan ribu tanda tangan dari warga AS sebelum pendaftaran Pilpres ditutup pada Agustus nanti.
Pada Pilpres 2016, AS memang sempat mendapatkan kandidat dadakan lain: Evan McMullin, bekas petugas CIA yang tiba-tiba maju sebagai Capres anti-Trump pada Agustus 2016. Setelah berkampanye habis-habisan di akar rumput dan mendaftar di kertas suara di 11 negara bagian, ia hanya menuai 0.53% suara. Secara teori, Kanye bisa maju dengan cara serupa McMullin. Tapi bagaimana caranya ia mengumpulkan ribuan relawan untuk menarik puluhan ribu tanda tangan dukungan di tengah pandemi?
Apabila Ye serius ingin maju jadi Capres, nampaknya ia mesti menunggu empat tahun lagi.