Lain halnya dengan cinta, kapitalisme akan selalu menemukan jalan. Wabah COVID-19 melanda dan bikin semua orang cemas, termasuk orang-orang kaya. Namun, nasib mereka kontras dengan wong cilik yang lihai mengupas salak. Selagi orang kebanyakan tetap masuk kerja, mesti menahan batuk di perkampungan sempit, atau kabur dari karantina supaya tidak kehilangan pemasukan, para konglomerat berlindung dari virus dengan cara-cara yang lebih ajaib.
Penelusuran The New York Times dan Bloomberg tentang upaya mereka bisa membuatmu geram dan cekikikan sekaligus. Ada siasat orang-orang kaya yang terdengar seperti kasus-kasus ketamakan klasik. Ada pula yang buah dari akses berlebih terhadap sumber daya dan jejaring. Namun, sebagian solusi mereka menghadapi pandemi membuat mereka lebih lucu dan ironis dari kartun mana pun.
Tidak ada Nia Ramadhani di daftar ini.
1. Beli Masker Versi Mahal
Begini, saudara-saudaraku. Kecuali kamu sudah kena penyakit atau kamu pekerja medis yang sering bersinggungan dengan orang sakit, memakai masker tak akan membantu kamu. Kementerian Kesehatan Indonesia dan World Health Organization satu suara soal ini. Menimbun masker, apalagi menjualnya dengan harga selangit, hanya akan menghabiskan suplai masker yang sungguh-sungguh dibutuhkan oleh fasilitas kesehatan. Singkat kata, tindakan tersebut cuma memperparah keadaan dan pantas ditindak serius oleh hukum.
Lain urusan kalau bicara orang-orang kaya dan masker mahal pilihannya. Aktris kondang (sekaligus influencer gaya hidup) Gwyneth Paltrow belum lama ini mengunggah foto dirinya memakai masker udara khusus bikinan perusahaan asal Swedia, Airinum. Dengan lima lapisan filtrasi dan desain “ultrasmooth”, satu masker Airinum dipatok harga 69 sampai 99 dolar AS, atau Rp1-1,5 juta.
Kelakuan mereka pun tak jauh beda dengan penimbun masker yang dagang di medsos. Mereka membeli masker dengan jumlah gede, menghabiskan stok di toko, bahkan ikut waiting list untuk dapat masker spesial. Cambridge Mask Company, yang memproduksi masker berharga 30 dolar, melaporkan penjualan meningkat 20-30 kali lipat.
Kadang, kepanikan ini menimbulkan situasi kocak. Ambil contoh nasib Waris Ahluwalia, seorang aktor dan desainer fesyen kondang. Ia mempekerjakan sebuah firma untuk menangani urusan kesehatannya, termasuk merakit masker khusus yang disesuaikan dengan ukuran wajahnya.
Pusat Penanganan dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) pernah menerbitkan daftar gaya rambut (serius) yang tidak akan mengganggu kinerja masker pernapasan. Nah, Waris seorang Sikh, yang memakai turban ke mana-mana dan punya janggut panjang menjuntai yang pantang dicukur. Tentu saja gaya rambut itu tak cocok untuk masker yang praktis tapi tetap modis. Walhasil, klinik langganannya memasangkan masker raksasa yang menudungi seluruh wajah dan kepalanya.
Macam penjaga lebah, atau personil Slipknot.
2. Beli Hand Sanitizer Versi Mahal
Seorang konglomerat tak akan turun gunung ke Indomaret untuk membeli pembersih tangan. Yang ia butuhkan takkan dijual di toko waralaba mana pun. Tidak–air kobokan mereka sekalipun mestilah mewah dan diracik dari air mata anak-anak negara dunia ketiga.
Byredo, sebuah brand produk kebersihan mewah, melaporkan bahwa pembersih tangan aroma pir dan bergamot bikinannya ludes terjual. Harga sebotol? Sekitar 35 dolar saja, saudara-saudara. Atau, bagaimana dengan Olika, pembersih tangan seharga 14 dolar untuk tiga botol mungil yang–katanya–dirancang mirip bayi ayam.
Sebentar, orang-orang kaya ini pernah lihat bayi ayam sebelumnya nggak, sih? Ah, sudahlah.
3. Menyewa IGD Sendiri
Kamu pikir seorang pengusaha tambang dari Montenegro bakal merangsek masuk ke rumah sakit biasa lalu mengantre pakai BPJS seperti kita-kita? Naif betul kamu, kisanak. Justru, setelah kekhawatiran terhadap virus Corona memuncak, penyedia layanan kesehatan privat meraup untung berlebih.
Salah satunya adalah Sollis Health, sebuah firma asal Amerika Serikat yang menarik biaya delapan ribu dolar per tahun. Fasilitas yang mereka sediakan? Instalasi Gawat Darurat pribadi untuk anggota, yang tersedia di lokasi-lokasi tersohor New York City.
Ada anekdot menarik dari Dr. Ben Stein, direktur medis Sollis Health. Belakangan ini, para anggota Sollis ramai-ramai membeli obat flu dan antivirus seperti Tamiflu dan Xofluza, serta obat antibiotik. Mereka pun berulangkali menanyakan kepada para doktor Sollis soal kapan vaksin Coronavirus bakal tersedia, dan apakah mereka boleh mendapatkannya duluan.
Padahal tak ada obat antivirus yang terbukti ampun melawan virus COVID-19, dan vakin Coronavirus belum ada sampai sekarang. Alias halu.
Informasi penting: salah satu miliarder yang diwawancarai Bloomberg untuk penelusuran mereka adalah Ken Langone, yang turut mendirikan sebuah rumah sakit swasta New York City. Pada 2018, Langone pernah merilis autobiografi dengan judul gemilang “I Love Capitalism.”
Sempurna.
4. Menyongsong Kiamat
Barangkali kamu familiar dengan subkultur doomsday preppers, dan jika tidak, cepetan cari tahu karena sepak terjang mereka bakal bikin kamu depresi sekaligus terhibur. Pada dasarnya, para doomsday preppers adalah orang-orang yang terobsesi mempersiapkan diri menghadapi bencana besar. Mereka mengkonstruksi bunker, memastikan rumahnya kedap nuklir, dan menimbun makanan kaleng serta biskuit tahan lama untuk mengantisipasi keruntuhan peradaban.
Mereka adalah idola-idola saya. Dan sungguh kebetulan, banyak dari mereka orang kaya.
Seorang anggota Sollis yang tinggal di Southampton, Amerika Serikat, kabarnya membangun “ruang isolasi medis” yang dilengkapi sistem ventilasi khusus, kamar tidur, dapur, perlengkapan IV hydration, obat-obatan, peralatan laboratorium, masker, tabung oksigen, sarung tangan, dan… piring cantik serta kain halus. Sebab kamu tak berhenti menjadi borju sekalipun kiamat telah tiba.
Hartawan lainnya mengambil jalur yang lebih fantastis. Beberapa pentolan industri teknologi di Silicon Valley kabarnya telah membeli bekas silo rudal yang mereka sulap menjadi bunker mewah. Dalam istana bawah tanah tersebut, mereka menimbun persediaan air, makanan, perlengkapan kebersihan, tisu toilet, sekaligus peralatan pembersih udara seperti Molekule Air, yang harganya 799 dollar sebiji.
Tentu, tak semua orang bikin ruang isolasi medis atau bunker penuh gaya. Seorang hartawan membocorkan pada Bloomberg bahwa ia berniat kabur ke rumahnya yang terpencil di Italia. Sebab, di tengah kepanikan virus Corona, tiket ke sana kebetulan lagi murah. Penting untuk dicatat bahwa 233 orang telah meninggal akibat COVID-19 di Italia, CDC terang-terangan menghimbau warga AS untuk tidak bepergian ke sana, dan Italia baru saja mengumumkan akan mengkarantina seluruh provinsi Lombardy.
Alias halu.
5. Mengasihi Keluarga
Filsuf dan ekonom Cinta Laura pernah bersabda bahwa meskipun cinta tak dapat dibeli dengan uang, cinta tetaplah butuh uang. Prinsip ini–yang populer di kalangan libertarian–akan diuji oleh wabah COVID-19.
Ada celetukan garang dari Mitchell Moss, seorang akademisi dan pengamat kebijakan publik yang diwawancarai Bloomberg. Akibat Coronavirus, rencana bepergian dan bisnis mesti ditangguhkan, dan orang-orang terpaksa bertahan di rumah dengan keluarganya. “Kondisi ini bakal menghancurkan pernikahan orang-orang kaya,” sindirnya. “Sekarang, mereka harus beneran menghabiskan waktu dengan pasangannya.”
Kondisi pelik ini juga mengeluarkan kepedulian dan welas asih yang khas di kalangan miliarder. Jutawan Charles Stevenson, misalnya, punya rencana cemerlang. Bila orang-orang di sekitar tempat tinggalnya sekarang kena virus, ia akan terbang ke rumah terpencilnya di pedalaman Idaho dan mengurung diri. “Keluarga saya boleh ikut serta kalau mereka mau,” tuturnya. “Itu pilihan pribadi mereka.”
Sungguh hangat dan penuh cinta.
6. Bermimpi
Oke, jadi begini.
Jamie Dimon bekerja sebagai CEO JPMorgan Chase, salah satu bank terbesar di dunia. Dalam pertemuan tahunan investor baru-baru ini, ia membeberkan bahwa ia belakangan kena mimpi buruk berulang. Dalam mimpinya, semua konglomerat dan pengusaha kaya raya terkena COVID-19 saat berkumpul di World Economic Forum di Davos, Swiss, Januari lalu. Setelah pulang ke negara masing-masing, mereka membawa virus tersebut dan menyebarkannya ke seluruh dunia.
“Kabar baiknya cuma satu,” ucap Dimon, berkelakar. “Kalau mimpi saya beneran terjadi, paling nggak virus ini bakal sukses membunuh para elite.”