Meskipun dia bekerja, bekerjanya bukan untuk mengembangkan diri, tapi untuk diperas.
Ketika telah menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), tak semudah itu bagi perempuan untuk bisa keluar dan menyelamatkan diri. Penelitian bertajuk “Refleksi dan Upaya Peningkatan Keselamatan serta Pemulihan Bagi Buruh Perempuan yang Mengalami KDRT” yang dilakukan oleh Perempuan Mahardhika menemukan bahwa pekerja perempuan juga bisa jadi korban KDRT.
Vivi Widyawati selaku koordinator program penelitian mengatakan bahwa selama ini pembicaraan tentang keselamatan buruh perempuan hanya berfokus pada kondisi di tempat kerja. “Rumah itu jarang sekali dimasukkann dalam konsep kerja. Rumah dianggap sebagai tempat yang privat, dianggap sebagai hal-hal yang tidak ada relasinya dengan pekerjaan perempuan,” kata Vivi dalam acara peluncuran hasil penelitian di LBH Jakarta (13/2).
“Kami banyak sekali menerima cerita pengalaman kekerasan perempuan di rumah. Itu menjadi beban dan memberi pengaruh di tempat kerja,” lanjutnya.
Perempuan terhimpit antara kondisi rumah tangga yang penuh kekerasan dan kondisi kerja yang tak ramah perempuan. Mewawancarai 26 korban KDRT yang bekerja di industri garmen, tekstil, dan pekerja rumahan, ditemukan bahwa perempuan-perempuan tersebut tidak lagi bergantung kepada suaminya dalam hal finansial. Beberapa dari mereka juga punya jenjang yang tinggi, bahkan hingga lulus S2.
“Marah [suami], namanya kerja kan teh, kalau lembur kan sampai jam tujuh. Mungkin kadang duluan dia pulang di rumah, dia kan nggak ada jam kerjanya, dia mau pulang sore ya sore, mau pulang kapan ya kapan. Paling ya saking marahnya kalau saya suka pulang malam. Kadang pulang sudah capek kerja, ditambah lagi ribut kayak gitu ya. Pengennya cepat-cepat pagi pergi lagi ke PT, gitu. Walaupun di PT ya gimana sih,” cerita salah satu responden dalam penelitian Perempuan Mahardhika.
Rumah dan Tempat Kerja Tidak Aman
Terdapat enam bentuk kekerasan yang dialami buruh perempuan. Pertama, penganiayaan dan siksaan fisik. Perempuan dipukul, ditonjok, ditampar, dicekik, dihantam dengan benda mati seperti sapu dan kursi, disiram air panas, dan lainnya. Kedua, penganiayaan atau penyiksaan psikologis dan emosional. Perempuan dihina, dikritik, dan dipermalukan di depan umum. Perempuan juga diancam oleh pasangan: orang-orang terdekatnya akan disakiti jika tidak mau mengikuti kemauan pasangannya. Ketiga, penganiayaan verbal. Tak hanya diteriaki, dicaci, dan dipanggil dengan sebutan “anjing” atau “goblok”, korban pun kerap didiamkan dan tidak direspons sama sekali.
Keempat, penganiayaan seksual. Perempuan dipaksa berhubungan seksual atau diperkosa ketika dalam kondisi sedang sakit, mengatakannya sebagai kewajiban agama, dan lain-lain. Kelima, penganiayaan dan pelantaran ekonomi dan kesejahteraan sosial. Perempuan dipaksa untuk menanggung utang suaminya, pelaku menetapkan jatah keuangan setiap bulannya dengan jumlah tidak masuk akal, hingga tidak ikut andil dalam melakukan pekerjaan rumah tangga. Terakhir, pelaku memegang kuasa dan kendali dengan memantau, mengekang, mengancam, dan mengisolasi korban. Aplikasi media sosial dicek hingga dihapus, dilarang untuk bertemu keluarga, diusir dari rumah, dan lainnya.
Pekerjaan yang seharusnya membebaskan korban KDRT justru malah berakhir mengekang. “Dari kesaksian narasumber yang sudah bekerja lebih dari 20 tahun, terjadi tren yang semakin memojokkan buruh. Dulu, di tahun-tahun awal, ketika jam 3 sudah mencapai target buruh bisa pulang. Tapi makin ke sini ada istilah skorsing—ditetapkan target harus bertambah sekian. Kalau jam 4 belum tercapai, ya sudah harus lembur. Makin ke sini makin eksploitatif, diperas habis-habisan, dan nggak ada celah untuk beristirahat,” kata peneliti Karolina L Dalimunthe (Olin).
Buruh dipaksa untuk melepaskan status karyawan tetapnya menjadi karyawan kontrak. “Jadi diiming-imingi [uang], memang ada program [dari perusahaan] untuk mengubah itu. Karena harus bayar utang-utang pasangannya dan bunganya naik terus, akhirnya dia tukar. Apa sih konsekuensi kontrak? Dia bisa dipecat kapan saja. Kontraknya per tiga bulan,” lanjutnya.
Situasi kerja pun masih sering tidak ramah perempuan: buruh perempuan mengalami pelecehan seksual di tempat kerja, tidak diperbolehkan mengambil cuti haid atau melahirkan, hingga atasan yang semena-mena. Kata Olin, “mereka gampang sekali disalahkan, dituduh, dan sebagainya.”
Beban buruh perempuan berlipat ganda: punya pekerjaan tetap tidak membuat mereka terlepas dari tanggung jawab domestik. Perempuan mesti menafkahi keluarga, mengasuh anak, hingga mengelola rumah tangga. Tak jarang pula perempuan juga mesti mengurus suaminya yang sakit, punya utang, atau masuk penjara. Ada pula perempuan yang mesti mengambil pekerjaan tambahan karena upah dari pabrik tidak mencukupi.
Seorang responden mengatakan dirinya mesti langsung siap-siap menjaga warung setelah pulang kerja. “Langsung siap-siap untuk jualan. Kalau hari kerja saya targetkan [tutup] jam 11. Terkadang lewat sedikit karena ada yang masih ngopi. Jam 12 setelah selesai beres-beres, posisinya sudah mau istirahat saja. [Bangun] setengah empat [pagi] kalau ada cucian atau segala macam aku beresin dulu biar tidak terbengkalai,” kata responden.
KDRT Tanggung Jawab Publik
Terlepas dari beban yang berat, tak mudah bagi korban KDRT untuk meminta bantuan. “Daya dukung masyarakat itu sangat rendah terhadap korban kasus KDRT. Kalau mereka mengadu ke ibunya, ibunya bilang ‘sabar dulu lah, mungkin berubah.’ Mengadu ke RT/RW dibilang bukan wilayah mereka, ‘ini wilayah privat’. Mengadu ke perusahaan sudah pasti sulit karena tidak akan diakui, bahkan cenderung disalahkan,” kata Vivi.
Padahal Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga secara spesifik mengatakan KDRT bukanlah urusan privat. Pasal 15 undang-undang tersebut menyebutkan, “setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk: (a) mencegah berlangsungnya tindak pidana; (b) memberikan perlindungan kepada korban; (c) memberikan pertolongan darurat; (d) membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.”
Namun, undang-undang ini tidak banyak diketahui publik, tak terkecuali korban KDRT. Mereka bahkan kerap menganggap KDRT sebagai hal yang wajar. “Sebagus apa pun undang-undang yang kita miliki, kalau perspektif masyarakat, penegak hukum, petugas puskesmas, RT, dan RW tidak berubah dalam melihat KDRT, maka sulit untuk kemudian mengimplementasikan undang-undang ini,” kata Vivi. “Pemerintah belum cukup melakukan sosialisasi dan penyadaran perubahan perspektif masyarakat.”
Korban KDRT mengalami dampak dan trauma fisik, psikis, dan sosial. Luka-luka tersebut mereka coba untuk sembuhkan sendiri, seperti mengonsumsi obat warung untuk mengobati luka atau sakit kepala, menarik diri dari lingkungan, berdoa atau sholat, hingga mencoba untuk bunuh diri. Padahal, permasalahan yang mereka alami tidak dapat diselesaikan atau dipulihkan dengan mengandalkan tindakan-tindakan sporadis bersifat individual. “Lemahnya dukungan dan sistem yang memberikan perlindungan membuat mayoritas korban mencoba keluar atau keluar dari KDRT [dengan usaha] sendiri,” lanjut Vivi.
Untuk itu, Perempuan Mahardhika mengeluarkan rekomendasi-rekomendasi kepada pemerintah, perusahaan, dan serikat buruh untuk melindungi perempuan dan mencegah KDRT. Selain mesti melakukan sosialisasi dan memberikan informasi yang merata kepada masyarakat, rekomendasi lain yang diberikan kepada pemerintah adalah meratifikasi Konvensi ILO 190 tentang Kekerasan dan Pelecehan dalam dalam Dunia Kerja.
ILO (International Labour Organization) telah mengakui KDRT mempengaruhi pekerjaan dalam hidup perempuan, dan perusahaan wajib memberikan perlindungan kepada pekerjanya. Konvensi ini juga menetapkan pekerja korban KDRT berhak untuk mengambil cuti. “Karena banyak sekali korban KDRT yang tidak melakukan pengaduan atau tidak mengurus kasus-kasusnya karena terbentur dengan pekerjaan,” jelas Vivi.
Menurut Olin, sosialisasi saja tidak cukup. Perempuan juga mesti punya agency untuk bisa memutus siklus kekerasan. “Memang sosialiasi itu basic. Itu hal-hal yang seharusnya sudah selesai, ya. Tapi itu nggak jaminan. Yang terpenting juga sebenarnya pemberdayaan. Bagaimana membuat perempuan berdaya. Itu bukan sesuatu yang instan. Pemberdayaan itu tentang bagaimana memunculkan agency. Perempuan tahu tentang dirinya dan punya hasrat untuk berubah. Itu yang pertama,” tegas Olin.