Syak wasangka paling buruk tentang masyarakat kelas bawah adalah mereka tak dapat berbicara untuk diri mereka sendiri. Perdebatan mengenai harkat hidup mereka melulu jadi jatah orang-orang yang dinilai lebih patut dan berpendidikan. Ketika solusi jenial itu keluar dari tempurungnya, penolakan dianggap sebagai cerminan pola pikir terbelakang dan kekanak-kanakan, seperti bocah ngambek disuapi sayur. Begitu terus sampai sangkakala ditiup dan film Indonesia menang piala Oscar.
Pola serupa sedang kita saksikan dalam perdebatan baru-baru ini mengenai nasib ondel-ondel. Selasa (11/2) lalu, Ketua Komisi E DPRD DKI Jakarta Iman Satria meminta Pemprov DKI Jakarta melarang pengamen ondel-ondel. Menurut Iman, ikon kebudayaan Betawi tersebut tak boleh tercoreng citranya dengan dijadikan alat meminta-minta di pinggir jalan. Pemprov, sebutnya, punya tanggungjawab “menjaga marwah ondel-ondel”.
Langkah pembuka yang ia tawarkan adalah merevisi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi, yang tidak secara terang-terangan melarang penggunaan ondel-ondel untuk mengamen.
Usulan DPRD DKI Jakarta mendapat sambutan baik dari pihak Pemprov. Sekretaris Daerah DKI Saefullah merasa ondel-ondel harus diangkat secara “elegan, di tempat acara yang punya makna, baik, khidmat, maupun kemasyarakatan.” Adapun Sekretaris Dinas Kebudayaan Imam Hadi Purnomo mengaku pihaknya akan segera mempersiapkan naskah akademis sebagai prasyarat perubahan Perda.
Terlepas dari apakah pencekalan tersebut bakal ditunaikan dalam bentuk himbauan atau perubahan Perda, satu suara yang absen dari percakapan ini adalah suara para pengamen ondel-ondel. Selagi DPRD dan Pemprov berbusa-busa mengingatkan satu sama lain untuk menjaga kesucian ondel-ondel, mereka berjibaku setiap hari di jalanan untuk mencari nafkah bagi keluarganya.
Bulan lalu, saya berkesempatan menemui seniman ondel-ondel dari Sanggar Respal untuk syuting serial Kerah Biru. Mereka bermarkas di kampung Pasar Gaplok, Senen, Jakarta Pusat, salah satu wilayah yang dikenal sebagai biangnya kesenian Betawi. Di sana, semua orang saling mengenal. Mayoritas warga di kampung tersebut hidup dari pekerjaan yang sama: ngarak, atau mengamen dengan ondel-ondel.
Namun, tak ada yang romantis dari tempat itu, dan tak ada yang patut diromantisir pula. Anda akan mendapati kampung deret yang sempit, dipisah kali kecil yang hitam kelam, serta deretan warung mungil yang jadi tongkrongan warga. Rel kereta api yang dikepung gundukan sampah hanya selemparan baru dari tempat tim produksi Asumsi kopi darat.
Suasananya riuh dan akrab. Deretan bajaj mengantre sembari menunggu sewa atau untuk mengantar para ondel-ondel ke tempat mereka ngarak. Salah satu rombongan ondel-ondel berangkat ngarak dengan alat musik sungguhan–beda dengan kebanyakan pengamen yang ngarak dengan sound system dan playlist andalan. Mereka memulai parade riang itu di jalanan sempit kampung, dikejar anak-anak dan diiringi deru sepeda motor. Adapun rombongan ondel-ondel saya, tentu saja, baru bangun tidur.
Dalam perjalanan dari Senen ke Mayestik, tempat mereka ngarak, saya berkenalan dan mengobrol panjang lebar dengan Ilham. Ia sosok yang dituakan oleh rombongan ondel-ondel saya, dan mengaku sudah jadi seniman ondel-ondel sejak usia 11 tahun. Ilham senang berkelakar. Ketika ia tahu kami sama-sama penggemar tim sepak bola Indonesia, lelucon orang dalam dan kisah-kisah perangnya ia gelontorkan dengan lancar.
Ia lahir, tumbuh, dan berkeluarga di kampung Pasar Gaplok. Ketika ia beranjak dewasa dan mulai bekerja di perusahaan peti kemas di Jakarta Barat, ia bersikeras tetap tinggal di sana. Seperti kebanyakan orang di Jakarta, pengalaman kerjanya beragam dan seringkali tidak nyambung satu dengan yang lainnya. Satu hal terus bertahan: ondel-ondel. Ia tak pernah lupa pada kesenian yang jadi cinta pertamanya. Tiga tahun lalu, ia memutuskan mundur dari pekerjaan lawasnya dan jadi seniman ondel-ondel purna waktu.
Ada kalanya ia mendapat proyekan yang mentereng. Acara Pemprov, kawinan berskala besar, atau acara kebudayaan. Ia mengaku pernah tampil di hadapan Gubernur Anies Baswedan dan menerima uang ratusan ribu dari artis Vanessa Angel ketika ondel-ondelnya menang saat ditantang challenge.
Namun, seringkali, menjadi seniman ondel-ondel adalah pekerjaan yang sengsara. Ia paham bahwa ia tak bisa mengandalkan kemurahan hati Pemprov atau menunggu acara resmi yang bayarannya juga tidak mahal-mahal amat. Maka, ia mesti ngarak. Begitu pula cerita seniman ondel-ondel lain di kampungnya, dan begitu banyak kampung ondel-ondel lain yang berserakan di seantero Jakarta.
Saya bertanya blak-blakan apakah ia merasa ngarak merendahkan kesenian ondel-ondel. Ia mengaku paham bila ada orang yang merasa seperti itu, apalagi “budayawan senior” yang masih ingat saat ondel-ondel masih jadi simbol kebudayaan luhur. Namun, baginya ini perkara sederhana. Ketika ia dan kawan-kawannya ngarak, ia tengah membawa ondel-ondel keluar dari kampung, keluar dari acara-acara formal, dan langsung membaur ke tengah masyarakat. Ngarak, menurutnya, adalah cara lain agar kebudayaan ini dikenal lebih luas dan tidak sekadar jadi gambar cantik di buku-buku pelajaran.
Lebih jauh lagi, ondel-ondel erat dengan identitas kampungnya, dan oleh karena itu, identitasnya sendiri. Saya bertanya apakah dengan ngarak, ia merasa seperti sedang “mewakili” Pasar Gaplok di luar sana, dan ia mengangguk. Ini adalah caranya untuk tetap terhubung dengan identitas leluhurnya, marwah kampungnya, dan kesenian yang diajarkan kepadanya oleh orang-orang yang ia hormati sejak kecil.
Terpenting, dari ondel-ondel ia memberi makan bagi keluarganya, tetangga-tetangganya, dan kampungnya. Anak-anak di Pasar Gaplok tertarik ingin belajar jadi seniman ondel-ondel karena mereka melihat bahwa pekerjaan tersebut dapat menghidupi mereka. Ia merawat kebanggaan tersebut, menjadi bagian dari sebuah ekosistem, dan menjadi figur kakak yang dihormati oleh rekan sejawatnya. Hal ini memang tak usah dilebih-lebihkan atau diromantisir, tetapi juga tak dapat dianggap remeh.
Perda Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Budaya Betawi, yang sedang dipertimbangkan untuk direvisi, memastikan Pemprov DKI Jakarta mengemban tanggungjawab mulia: mereka mesti turun tangan melestarikan serta menyebarluaskan kebudayaan Betawi. Bagi kawan-kawan di Sanggar Respal, Pemprov bukannya diam di tempat. Menurut pengakuan Ilham, perwakilan Pemprov sudah beberapa kali mampir ke kampungnya dan berjanji akan merevitalisasi tempat itu jadi kampung ondel-ondel.
Sanggahannya mantap betul. Percuma kalau Pasar Gaplok sekadar dibikin kampung ondel-ondel. Kampungnya mesti serius dijadikan pusat kebudayaan Betawi, dan warga yang turun temurun menghidupnya harus dilibatkan dalam proses tersebut. Kampung tersebut harus jadi ekosistem yang saling menghidupi–pemusik yang mengangkat musik tradisional Betawi, pengrajin yang merancang busana Betawi, hingga seniman yang menghidupkan budaya ondel-ondel mesti berdiri satu barisan. Ondel-ondel, menurutnya, tak bisa sekadar jadi gimmick yang tercerabut dari akarnya. Bila kebudayaan tersebut ingin terus hidup, ia harus dapat menghidupi warganya.
Persoalan ini yang sempat jadi kekhawatiran sejarawan JJ Rizal saat dimintai tanggapan tentang wacana pelarangan pengamen ondel-ondel. Ia menduga wacana pelarangan ondel-ondel kali ini dapat mengubah pentas ondel-ondel jadi “ajang kroni dengan makelar proyek aktivitas seni.” Baginya, sejarah pun mengajarkan bahwa pelarangan serupa tak berhasil. Pada dekade 1950-an, pelarangan pengamen ondel-ondel sempat dicanangkan Walikota DKI Jakarta Soediro. Dampaknya, ondel-ondel malah nyaris punah. Preseden sejarah itu masuk akal: kebudayaan yang beku diterpa romantisme masa silam adalah kebudayaan yang perlahan pudar relevansinya.
Paling tidak, untuk sementara waktu Pemprov tidak terburu-buru merevisi Perda untuk meresmikan pelarangan pengamen ondel-ondel. Pihak Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, misalnya, merasa revisi Perda adalah proses panjang yang butuh tenaga dan biaya tak sedikit. Mereka lebih demen bila pendekatan persuasif didahulukan, barulah “penertiban dilakukan sebagai opsi terakhir.” Sementara anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta Nur Afni Sajim memperingatkan Pemprov untuk tetap memikirkan nasib pengamen ondel-ondel, dan menggalakkan “pembinaan atau kegiatan yang menyentuh mereka.”
Apa pun keputusan yang diambil, para pengamen ondel-ondel ini layak mendapatkan kesempatan untuk berbicara. Seseorang tidak memilih untuk menjadi pengamen. Itu respons alamiah untuk menyiasati kemelaratan yang mereka hadapi saban hari.
Misalkan penyelesaian problem ngarak dilakukan secara top-down, tanpa melibatkan para pengamen, Pemprov takkan menggapai akar permasalahan. Orang-orang seperti Ilham masih kesulitan secara ekonomi, kampung mereka bakal tetap luput dari perhatian siapapun, dan mata pencaharian mereka hilang. Toh tugas pemerintah bukan sekadar mewujudkan Ibukota yang cantik jelita bagi investor serta kelas menengah, tetapi memastikan kesejahteraan setiap orang yang tinggal di sana.