Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) merilis hasil Laporan HAM 2019 dan Proyeksi 2020 di Kantor YLBHI, Jl Diponegoro, Jakarta Pusat, Rabu (15/01/20). Berdasarkan laporan tersebut, pelanggaran hak asasi manusia tercatat meningkat di berbagai sektor.
Setidaknya ada 4.174 orang yang mengadukan pelanggaran HAM pada 2019. Jumlah pengaduan yang diterima oleh 16 kantor LBH Indonesia di berbagai wilayah tercatat meningkat dari tahun sebelumnya.
Pada 2018, YLBHI mendapat pengaduan dari 3.455 orang. Jumlah pengaduan paling banyak dilakukan di DKI Jakarta, yakni sebesar 1.496. Dalam laporan tersebut, terdapat lima lingkup hak asasi manusia yang menjadi uraian utama YLBHI dan dilanggar, yakni hak politik, hak sipil, hak atas fair trial, hak hidup, dan hak dalam ketenagakerjaan.
Dalam tafsiran YLBHI, hak hidup tak hanya bebas dari hukuman mati atau upaya penembakan di jalan, melainkan bebas pula mendapatkan akses-akses kehidupan. Akses-akses tersebut mencakup udara, air, tanah, lahan, dan rumah.
Namun, akses-akses tersebut justru tidak didapatkan secara baik dan bebas oleh masyarakat. Hal itu terjadi karena berbagai faktor seperti pencemaran lingkungan, pemanfaatan lahan/kebijakan tata ruang secara salah, dan pengurasan sumber daya alam yang berlebihan.
Baca Juga: Politik dan Kekerasan Membelit Kebebasan Jurnalis
Sumber daya alam yang terkuras akan mengakibatkan hilangnya hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Imbasnya, ada total 33 kasus di mana masyarakat kehilangan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak akibat dari pengurasan sumber daya alam.
Sementara itu, hak atas kemerdekaan berekspresi meliputi: kemerdekaan mencari, menerima, dan memberikan informasi dan gagasan dalam berbagi bentuk, baik secara lisan, tulisan, cetak, karya seni, atau melalui berbagai media pilihannya masing-masing. Sementara kemerdekaan berserikat berkumpul merupakan sarana di mana beberapa orang mengekspresikan pendapat atau gagasannya.
Meskipun hak berpendapat, berekspresi, dan berkumpul telah dijamin dalam kerangka hukum nasional dan internasional melalui pasal 28 dan 28E ayat (3) UUD, pasal 23 ayat (2), pasal 24 ayat (1), dan pasal 25 Undang-Undang No.39 Tahun 1999, serta Pasal 19, Pasal 21, dan pasal 22 ICCPR, namun faktanya pelanggaran terhadap hak berpendapat, berekspresi, dan berkumpul terus terjadi.
YLBHI pun mencatat setidaknya terdapat puluhan kasus pelanggaran terhadap hak atas kebebasan berekspresi, berserikat dan berkumpul yang terjadi pada rentang 2019. YLBHI dan Kantor-Kantor LBH di 16 Provinsi di Indonesia, mencatat telah terjadi sebanyak 53 kasus pelanggaran kemerdekaan berekspresi, 32 kasus pelanggaran kemerdekaan berkumpul, serta dua kasus pelanggaran kemerdekaan berserikat.
“Pelanggaran hak kemerdekaan berekspresi yang tertinggi ya,” kata Ketua Kampanye dan Jaringan YLBHI, Arip Yogiawan, dalam konferensi pers Laporan HAM 2019 dan Proyeksi 2020 di Kantor YLBHI, Jakarta Pusat, Rabu (15/01).
Baca Juga: Kabar Warga Tamansari Setelah Penggusuran
Arip membeberkan bahwa dari jumlah pelanggaran terhadap hak berekspresi, berserikat dan berkumpul tersebut, beberapa modus pelanggaran yang umum dilakukan adalah kriminalisasi, penolakan atau pembatalan izin kegiatan, pelarangan kegiatan, intimidasi, penghalangan kegiatan, razia hingga pembubaran secara paksa.
“Pelanggaran hak berekspresi, berserikat dan berkumpul seringkali menggunakan modus kriminalisasi yang mencapai 51 persen. Ini mulai dari penangkapan sewenang-wenang, pemeriksaan, sampai dengan menjadikan tersangka atau terdakwa,” ujarnya.
Modus terbanyak berikutnya adalah modus pembubaran paksa sekitar 29 persen, serta penolakan atau pembatalan izin sekitar sembilan persennya. Lalu, penghalangan informasi sebesar lima persen, sementara sisa lainnya seperti aksi intimidasi, razia publikasi serta pembubaran paksa berada pada angka enam persen.
Selain itu, sepanjang tahun 2019 sedikitnya ada 15 kasus pelanggaran atas hak kemerdekaan beragama dan berkeyakinan. Arip mengatakan kasus itu di antaranya pelanggaran hak menganut ajaran agama atau keyakinan tertentu, hak melakukan peribadatan, hak mendirikan tempat ibadah, hak melakukan kegiatan keagamaan, hak untuk pemakaman, dan hak atas kemerdekaan beragama dan berkeyakinan.
“Dari hak kemerdekaan beragama dan berkeyakinan, pelanggaran yang tertinggi adalah hak mendirikan tempat ibadah, sebanyak empat kasus masuk ke YLBHI,” kata Arip.
Pelanggaran hak atas kemerdekaan beragama dan berkeyakinan lainnya yakni hak menganut agama dan hak kegiatan keagamaan sebanyak tiga kasus. Kemudian disusul pelanggaran hak merayakan hari besar dan hak pemakaman sebanyak dua kasus dan pelanggaran hak beribadat sebanyak dua kasus.
Baca Juga: Mahasiswa, Jurnalis, Masyarakat Sipil Alami Kekerasan dalam Aksi 24 September
YLBHI menilai, meskipun hak atas kemerdekaan beragama telah dijamin UU, pada prakteknya hak tersebut belum mendapatkan jaminan penuh dari pemerintah. Selama ini pelanggaran hak atas kemerdekaan beragama kerap terjadi bagi para penganut agama atau keyakinan minoritas.
YLBHI juga memprediksi pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkeyakinan masih akan terjadi pada tahun 2020 ini. Terutama kriminalisasi terhadap penganut agama yang berbeda dengan arus utama.
Arip menjelaskan bahwa kriminalisasi terhadap penganut agama dan keyakinan biasanya dilakukan dengan ketentuan pidana penodaan agama. Yakni UU No 1/PNPS/1965 Jo. Pasal 156a KUHP, atau menyalahgunakan ketentuan pidana penyebaran kebencian yang diatur dalam Pasal 156-157 KUHP Jo. Pasal 28 ayat 2 UU No 11 Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik.
“Selama ketentuan pidana penodaan agama masih ada dan digunakan, maka pelanggaran terhadap hak menganut agama di tahun 2020 akan terus terjadi,” kata Arip.
Selama masyarakat dan pemerintah tidak memiliki pemahaman bahwa hak beribadat dapat dilakukan sendiri-sendiri atau bersama-sama, baik di tempat pribadi maupun fasilitas umum, maka tindakan diskriminatif yang melanggar hak beribadat tetap akan terjadi di tahun 2020.
Direktur YLBHI Asfinawati menegaskan bahwa tahun 2020 diprediksi akan menjadi tahun ancaman bagi perlindungan atas hak asasi manusia (HAM). ia menyebut, dari catatan YLBHI selama 2019 banyak indikator yang bisa menyebabkan hal tersebut kembali akan terjadi.
“Kami memproyeksikan tahun 2020 akan menjadi tahun yang mengancam kehidupan rakyat,” kata Asfinawati dalam kesempatan yang sama. Menurutnya, indikator tersebut didapatkan dari sektor hak untuk menyampaikan pendapat di muka umum yang telah mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang.
Padahal, sejak tahun 1998 Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum. “Dalam UU itu dikatakan bahwa polisi harus menjaga orang yang demonstrasi, karena demonstrasi merupakan suatu hak,” ujarnya.
Indikator lainnya adalah soal kebebasan politik. Asfinawati menyoroti pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) yang saat itu dijabat Wiranto. Saat itu, politisi Partai Hanura tersebut sempat mengatakan bahwa memilih adalah kewajiban dan mereka yang mengkampanyekan golput dapat dipidana.