Bukan belakangan ini saja ada rencana untuk menghapuskan Ujian Nasional (UN). Sebagai sistem standardisasi kelulusan, UN telah berulang kali dipandang tertinggal dari situasi yang harus dihadapi para siswa selepas sekolah. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim memberi sinyal bahwa rencana itu akan diwujudkan setelah tahun 2020. Kini ia sedang dikaji, dievaluasi, dan dinilai. Bila dilakukan secara terburu-buru, tentu ia akan membingungkan para guru dan pelajar.
Penghapusan UN pertama kali dibicarakan mantan CEO Gojek ini dalam rapat bersama Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Staf Khusus Mendikbud, dan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), di Kantor Kemendikbud, Jakarta, Sabtu (30/11/19). Nadiem mengaku menampung aspirasi para guru, orang tua murid, serta siswa-siswa yang ingin menghindari efek buruk UN.
Menurut Nadiem, pada prinsipnya perbaikan dilakukan bukan saja dengan semangat menghapus UN. Tapi juga memperbaiki esensi UN, apakah menilai prestasi murid atau prestasi sistem. Kemendikbud juga tengah berupaya menciptakan kesinambungan antara sistem pendidikan dan dunia industri, seperti yang diperintahkan Presiden Joko Widodo.
“Untuk mencapai itu, ada beberapa hal yang salah satunya adalah deregulasi dan debirokratisasi dari semua instansi unit pendidikan. Maka, platformnya yang kami sebutkan itu merdeka belajar,” kata Nadiem. “Dari situ, harus ada penyederhanaan dari sisi kurikulum maupun assessment, agar beralih kepada yang sifatnya yang lebih kompetensi dan bukan saja menghafal informasi. Itu suatu perubahan yang akan kita terapkan dan kita sempurnakan,” ujarnya.
Dalam pidatonya di Hari Guru, 25 November 2019, Nadiem sempat menyinggung soal merdeka belajar dan guru penggerak. Menurut Nadiem, merdeka belajar memberikan kesempatan bagi sekolah, guru, dan para siswa untuk berinovasi secara bebas, bebas untuk belajar dengan mandiri dan kreatif.
Baca Juga: Guru dan Sistem Pendidikan yang Membelenggu
Terkait hal ini, Kemendikbud dan dinas-dinas pendidikan memiliki pekerjaan rumah, yakni memberikan ruang-ruang inovasi untuk guru, murid, dan sekolah. Sejauh ini, Nadiem mengaku sudah melihat secara garis besar aturan dan kebijakan yang menghambat ruang inovasi guru.
Sementara soal poin guru penggerak, Nadiem menjelaskan bahwa banyak yang mengira reformasi pendidikan dan peningkatan kualitas pendidikan merupakan sebuah tugas yang dilakukan oleh pemerintah saja ataupun berdasarkan kurikulum saja, baik dari sisi kebijakan maupun anggaran. Menurutnya, reformasi pendidikan dari kurikulum, kebijakan, juga anggaran yang dilakukan pemerintah akan berdampak sangat kecil dibandingkan gerakan guru penggerak.
Guru penggerak berbeda dengan guru-guru lainnya dan bisa dijadikan gerakan di masing-masing sekolah. Guru penggerak bakal mengutamakan murid-murid agar bisa tumbuh lebih dari apa pun, bahkan dari karier guru itu sendiri. Ia pun yakin di semua unit pendidikan, baik di sekolah maupun di universitas, paling tidak ada satu guru penggerak.
Menurut Nadiem, inovasi tak selalu harus sukses, juga di bidang pendidikan. Kunci sukses inovasi memerlukan percobaan dan eksperimen. Dalam jangka waktu lima tahun, ia berharap ada guru-guru penggerak sedikitnya di 250.000 sampai 300.000 sekolah.
Dalam sejarahnya, UN sendiri bukan merupakan awal dari standar ujian akhir pendidikan kelulusan siswa dasar ataupun menengah. Setidaknya ada beberapa kali perubahan: pada periode 1950 hingga 1964, ujian akhir disebut Ujian Penghabisan dan diadakan secara nasional. Soal-soal Ujian Penghabisan dibuat oleh Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan, lalu diujikan dalam bentuk uraian dan hasilnya diperiksa di pusat rayon.
Sementara pada periode 1965 hingga 1971, sistem ujian akhir yang diterapkan disebut Ujian Negara. Tujuannya adalah untuk menentukan kelulusan, sehingga siswa dapat melanjutkan ke sekolah negeri atau perguruan tinggi negeri apabila telah lulus Ujian Negara. Sedangkan bagi yang tidak lulus, tetap mendapatkan ijazah dan bisa melanjutkan ke sekolah atau perguruan tinggi swasta.
Lalu, Ujian Negara berganti menjadi Ujian Sekolah pada periode 1972 hingga 1979. Seluruh bahan ujian disiapkan oleh sekolah atau kelompok sekolah. Berlanjut ke periode 1980 hingga 2002, muncul Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional atau Ebtanas (untuk mata pelajaran pokok) dan Ebta (untuk mata pelajaran non-Ebtanas).
Tujuan dari Ebtanas dan Ebta adalah untuk memperoleh Surat Tanda Tamat Belajar (STTB). Pada awal diberlakukannya, mata pelajaran yang diujikan dalam Ebtanas adalah Pendidikan Moral Pancasila (PMP), kemudian pada tahun berikutnya ditambah dengan beberapa mata pelajaran lainnya.
Bahan Ebtanas yang berupa kumpulan soal disiapkan oleh pusat (Dit. Pendidikan Dasar dan Menengah). Lalu, panitia daerah merakit paket tes dan menggandakannya. Adapun bahan ujian Ebta disiapkan oleh masing-masing sekolah/daerah/wilayah.
Pada periode 2003 hingga 2004, Ebtanas akhirnya diganti menjadi Ujian Akhir Nasional (UAN). Tujuan UAN adalah untuk (a) menentukan kelulusan, (b) pemetaan mutu pendidikan secara nasional, (c) seleksi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Bahan mata pelajaran yang diujikan terdiri atas tiga mata pelajaran yakni Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris yang disiapkan oleh Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) dengan menggunakan soal-soal dari Bank Soal Nasional.
Untuk sistem ini, pemeriksaan hasil ujian (scanning dan scoring) dilakukan di provinsi dengan kunci jawaban dikirim dari Pusat. Nilai peserta didik diberikan ke sekolah penyelenggara ujian melalui penyelenggara ujian tingkat kabupaten/kota. Sekadar catatan, kriteria kelulusan UAN tahun 2003 adalah (a) memiliki nilai seluruh mata pelajaran yang diujikan secara nasional, (b) tidak terdapat nilai < 3.00, (c) nilai rata-rata (UAN +UAS) minimal 6.00.
Perubahan pun terjadi pada UAN tahun 2004 di mana kriteria kelulusan adalah (a) memiliki nilai seluruh mata pelajaran yang diujikan secara nasional, (b) tidak terdapat nilai < 4.00, (c) nilai rata-rata (UAN+UAS) minimal 6.00. Pada periode 2005 hingga 2013, istilah ujian berubah menjadi Ujian Nasional (UN) yang bertujuan untuk (a) menentukan kelulusan, (b) membuat pemetaan mutu pendidikan secara nasional, (c) seleksi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Baca Juga: Penulis Perempuan Indonesia yang Tak Ditulis Sejarah
UN diselenggarakan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dibantu Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik). Pelaksanaan UN di Indonesia sendiri didasari oleh UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Dalam dua tahun terakhir, Kemendikbud mencatat jumlah sekolah SMA (Negeri dan Swasta) secara nasional yang mengalami kenaikan dan penurunan nilai UN, baik itu pada UN Berbasis Komputer (UNBK) dan UN Kertas dan Pensil (UNKP).
Pada tahun pelajaran 2017/2018, ada 2379 sekolah yang mengalami kenaikan nilai UNBK dan ada 771 sekolah yang mengalami kenaikan nilai UNKP. Sementara itu, pada tahun ajaran yang sama, ada 3399 sekolah yang mengalami penurunan nilai UN yang menerapkan UNBK dan 632 sekolah yang menerapkan UNKP.
Dalam tahun pelajaran berikutnya, yakni 2018/2019, terjadi peningkatan jumlah sekolah dari sisi kenaikan nilai UN dan berkurangnya sekolah yang mengalami penurunan nilai. Jumlah sekolah yang mengalami kenaikan nilai UN adalah 7238 sekolah (UNBK) dan 145 sekolah (UNKP). Sedangkan jumlah penurunan nilai UN hanya terjadi pada 1797 sekolah (UNBK) dan 353 sekolah (UNKP).
Data yang lebih rinci bisa diakses di link ini.
Dari catatan itu, jelas bahwa upaya pemerataan kualitas siswa dan sekolah yang mengikuti UN belum terpenuhi. Sebab, sampai tahun ini masih banyak sekolah di berbagai penjuru tanah air, yang mengalami kenaikan dan penurunan nilai UN. Menurut Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia Heru Purnomo, pola yang selama ini diterapkan bahwa hasil UN dipergunakan untuk perbaikan kualitas pendidikan secara nasional dan pemerataan, belum terwujud.
“Kenyataan bahwa UN sudah diterapkan selama bertahun-tahun untuk pemerataan dan peningkatan mutu, tapi ternyata peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan justru nggak meningkat juga,” kata Heru saat dihubungi Asumsi.co, Selasa (03/12/19).
Heru melihat UN hanya sebagai seremoni dan belum memacu pelaksanaan pelayanan kualitas pendidikan. Di sisi lain, UN punya kelemahan yang jelas terlihat yakni hanya untuk menguji kemampuan siswa di ranah kognitif yang meliputi pengetahuan atau kecerdasan bahasa dan kecerdasan logika-matematika.
Sementara dua kategori lain yang ada pada siswa justru diabaikan. Keduanya adalah domain afektif yakni sikap dan nilai yang mencakup kecerdasan antarpribadi dan kecerdasan intrapribadi, atau kecerdasan emosional dan domain psikomotorik yakni keterampilan atau yang mencakup kecerdasan kinestetik, kecerdasan visual-spasial, dan kecerdasan musikal.
“Mengenai sikap dan lain-lainnya itu dianggap sudah selesai karena ujian sikap atau keterampilan itu di dalam UN yang sifat soalnya pilihan ganda, ya tentu tidak bisa diukur sama sekali. Jadi ya konsep UN ini memang belum paripurna untuk mengukur sejauh apa kualitas pendidikan kita secara keseluruhan,” ujar Heru.
Dalam mekanisme UN yang selama ini diterapkan, pemerintah pernah mematok standar nilai kelulusan berbeda-beda setiap tahunnya. Misalnya saja pada angka 3,01 di tahun 2002/2003, lalu meningkat menjadi 4,01 pada tahun 2003/2004 dan meningkat lagi menjadi 4,25 pada tahun2004/2005. Alih-alih jadi motivasi, peningkatan angka ini sebagai patokan kelulusan siswa justru membuat siswa cemas dan khawatir.
Imbasnya siswa pun berpacu dengan waktu untuk bisa menguasai tiga sampai empat mata pelajaran yang diujikan di UN. Dengan cara apa? Selain belajar, tentunya banyak juga siswa yang dipaksa menghafal pelajaran-pelajaran yang kira-kira bakal diujikan.
Belum lagi UN seperti mengabaikan dan merebut tugas guru sebagai garda terdepan yang memiliki otoritas paling besar dalam merencanakan, menyusun, dan memberikan penilaian kepada siswa-siswa sebagai bagian integral dari tugasnya. Guru hanya menerima soal yang sudah dirancang oleh pemerintah pusat, dalam hal ini Kemendikbud.
Padahal, sebenarnya gurulah yang mengetahui kemampuan dan kualitas siswa-siswanya lewat interaksi langsung, sehingga harusnya bisa memutuskan mengenai kelulusan. Sayangnya, fungsi itu justru diambil alih oleh pemerintah.
Kalau sudah begitu, UN justru tampil sebagai pusat perhatian dalam proses pembelajaran. Pada akhirnya hampir semua sekolah di penjuru Indonesia mengerahkan seluruh sumber daya yang ada, dengan menjadikan proses pembelajaran sebagai upaya untuk sukses dalam UN, sehingga menomorduakan mata pelajaran yang tidak diujikan.
Hakikat proses belajar pun hilang karena siswa jadi sibuk mengejar target untuk lulus dari UN. Sampai di sini, UN pun jadi tidak representatif sebab kelulusan siswa hanya ditentukan oleh tiga hingga empatmata pelajaran saja. Padahal ada sederet mata pelajaran lain yang bertahun-tahun dipelajari di kelas.
Kalau yang diujikan di UN hanya tiga sampai empat mata pelajaran saja, kenapa mesti buang-buang waktu, biaya dan energi untuk mempelajari sederet mata pelajaran lainnya?
Penyelenggaraan UN sebagai alat penilaian hasil belajar peserta didik oleh pemerintah pun jadi bertentangan dengan UU No. 20 Tahun 2003 mengenai Sisdiknas, terutama Pasal 58 Ayat 1 yang berbunyi “Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan”.
Artinya jelas bahwa assesment hasil belajar peserta didik mestinya dilakukan oleh pendidik. Tentu jadi tidak sesuai apabila proses dan hasil belajar siswa yang selama bertahun-tahun didapat dari guru, justru ‘dinilai’ oleh pemerintah dalam mekanisme UN. Apalagi soal-soal ujian yang dibuat oleh pemerintah—dalam hal ini melalui BSNP—belum tentu sejalan dengan kegiatan belajar-mengajar yang telah diikuti oleh siswa bersama guru di ruang kelas.
Apa-apa yang telah dipelajari oleh siswa yang ada di sekolah satu dengan sekolah lainnya bisa jadi sangat berbeda. Belum lagi kalau kita tengok kebiasaan orang-orang Indonesia yang lebih percaya pada hal-hal di luar teknis. Misalnya saja masih ada yang berpikiran bahwa daripada nanti tidak lulus UN, lebih baik mendatangi pemuka agama dan orang pintar untuk minta bekal doa/mantra agar lulus.
Efek domino dari kecemasan siswa terhadap UN pun berlanjut. Situasi ini menunjukkan bahwa sebagian siswa telah kehilangan kepercayaan diri dan memilih jalan pintas agar bisa lulus dari UN. Kalau sudah cemas hingga merasa kurang kompeten dan kurang menguasai materi ujian, stres pun bisa mudah datang.
Terry Beehr dan John Newman (dalam Rice, 1999) mengkaji ulang beberapa kasus stres dan menyimpulkan bahwa stres dapat menurunkan rasa percaya diri. Dalam konteks ini, kurangnya rasa percaya diri tentu akan memengaruhi keyakinan dan kemampuan siswa untuk menghadapi UN.
Lalu, bagaimana dengan hasil akhir UN? Kalau diakumulasi dari berbagai kondisi siswa di atas—ditambah lagi potensi kecurangan saat UN berlangsung misalnya bocoran kunci jawaban—hasilnya tentu berbeda-beda dan jauh dari kata memuaskan. Kecurangan dalam UN tentu akan berdampak sangat buruk bagi siswa dan masa depannya.
Siswa yang curang boleh saja diuntungkan, namun hanya sementara. Dalam jangka panjang, siswa tersebut akan dirugikan dari hasil kecurangannya itu. Siswa yang sebenarnya belum kompeten tetapi dianggap kompeten, sekolah yang sebelumnya kurang bagus tiba-tiba punya nilai rata-rata tinggi sehingga jadi bagus, lalu nilai rata-rata UN daerah—yang sebetulnya masih sangat membutuhkan pembinaan dan peningkatan mutu—justru tiba-tiba meraih nilai lebih tinggi dibanding daerah yang telah baik mutunya.
Ujung-ujungnya, yang mestinya dibenahi, tapi tertutupi dengan pencapaian nilai UN yang bisa saja didapat dari hasil kecurangan tadi. Sehingga akhirnya tak dibenahi karena dirasa aman lantaran sudah melewati nilai standar kelulusan UN.
Menurut Heru, UN yang selama ini polanya diterapkan setiap tahun, sudah semestinya dikoreksi dan dikaji ulang untuk mencari alternatif lain. Sebagai alternatifnya, ia menyarankan mekanismenya tak mesti harus menggunakan pola yang sama.
“Ketika UN ini nanti ditinjau lagi dan mungkin tidak digunakan lagi sebagai alat alih jenjang dan alat kelulusan, pelaksanaan ujian standarnya itu bisa saja dilaksanakan dua tahun sekali, atau tiga tahun sekali. Artinya nggak harus setiap tahun dan bisa diterapkan juga di kelas 5 SD atau kelas 8 SMP atau kelas 11 SMA,” kata Heru.
Penjelasannya begini, ketika siswa berada di kelas 5 SD, kelas 8 SMP, dan 11 SMA, coba diadakan ujian standar nasional tersebut. Setelah hasilnya ketahuan, lalu digunakan untuk melakukan evaluasi dan pembinaan misalnya ketika hasil ujian seorang siswa itu jelek di kelas 5 SD, maka saat di kelas 6 SD dilakukan pembinaan agar bisa menjadi lebih baik.
“Seterusnya seperti itu, artinya hasil ujian standar nasional itu dipergunakan untuk perbaikan: pertama, dalam hal pelaksanaan pembelajaran siswa. Kedua, dipergunakan untuk pembinaan guru di dalam mengajar di kelas tersebut karena hasilnya memang kurang baik ya tentunya siswanya dilatih untuk menjadi lebih baik. Gurunya pun dilatih agar menjadi lebih baik.”
Tak hanya sisi kognitifnya saja yang diperkuat, tapi juga sisi afektif dan psikomotorik. Bagaimana siswa nantinya tak hanya menguasai keterampilan dalam pengetahuan tapi juga keterampilan dalam bersikap. “Artinya hard skill-nya dikuasai, soft skill-nya juga dikuasai. Ketika dua-duanya dikuasai maka siswa akan lengkap dan menguasai semua aspek pendidikan.”