Jasad dua aktivis asal Sumatera Utara ditemukan di lokasi perkebunan sawit di Desa Wonosari, Kecamatan Panai Hilir, Labuhanbatu, pada Rabu (30/10). Maraden Sianipar yang berprofesi sebagai wartawan dan Martua Parasian Siregar yang berprofesi sebagai aktivis LSM ini diduga dibunuh. Tubuh keduanya penuh luka yang diduga disebabkan oleh tusukan dan sabetan benda tajam.
Keduanya sedang menginvestigasi kasus sengketa lahan milik perusahaan sawit di Sumatera Utara. Namun, belum ada verifikasi bahwa motif pembunuhan mereka terkait dengan kasus tersebut.
Gading Yonggar Ditya, ketua advokasi LBH Pers, mengatakan bahwa kematian Maraden dan Martua masih diverifikasi oleh AJI Medan. Profesi Maraden Sianipar sebagai wartawan juga masih simpang siur. Sebab, Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Labuhanbatu mengatakan bahwa ia sudah tidak bekerja sebagai wartawan.
“Kita belum mendapatkan kepastian apakah meninggalnya mereka berkaitan dengan kerja-kerja jurnalistik mereka,” kata Gading.
Namun, Gading juga berkata bahwa kematian keduanya tetap perlu diusut dan diinvestigasi—terlepas dari apakah mereka adalah jurnalis atau masyarakat biasa. “Kedua almarhum bagian dari masyarakat yang melakukan perlawanan ke perusahaan. Mau mereka jurnalis atau bukan, kasus ini tetap harus diusut tuntas untuk mendalami motif dan menangkap pelakunya,” lanjut Gading.
Selama 1996-2019, terdapat enam kasus pembunuhan jurnalis yang belum terungkap, yaitu Muhammad Fuad Syafrudin alias Udin pada 1996, Naimullah pada 1997, Muhammad Jamaludin pada 2003, Ersa Siregar pada 2003, Herliyanto pada 2006, dan Alfred Mirulewan pada 2010.
“Dari mulai kasus wartawan Udin di Jogja hingga Alfred di Maluku belum ada proses penegakan hukum yang tegas dan belum mengungkap siapa pelaku dan dalang pembunuhan,” kata Gading.
Buruknya Kebebasan Pers di Indonesia
Dua jurnalis terbunuh setiap minggunya di seluruh dunia sepanjang 2014-2018.
Data ini dipaparkan oleh UNESCO melalui laporan Intensified Attacks, New Defences: Developments in the Fight to Protect Journalists and End Impunity. Intensitas pembunuhan atau tewasnya jurnalis meningkat sebanyak 18% dari periode sebelumnya (2009-2013). Tingkat impunitasnya pun tinggi: 88% kasus pembunuhan ini belum terungkap hingga kini.
Selain pembunuhan, kasus kekerasan terhadap jurnalis juga marak terjadi. Di Indonesia, hampir tak ada kasus pembunuhan maupun kekerasan yang berhasil diusut tuntas.
Hingga November ini, setidaknya ada 42 kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia. Sasmito Madrim selaku Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) mengatakan hampir tidak ada kasus yang diproses secara hukum. Gading juga mengatakan bahwa kasus yang melibatkan oknum aparat kepolisian semakin sulit untuk diproses.
“Ketika pelakunya adalah dari kalangan aparat penegak hukum, semakin sulit untuk mengungkap pelakunya. Ketika kita melapor ke kepolisian tapi ternyata yang ditindak adalah anggota dari kesatuan mereka sendiri—jadi ada konflik kepentingan,” kata Gading.
Padahal, persentase kasus kekerasan yang pelakunya adalah oknum aparat keamanan cukup besar. Selama aksi unjuk rasa September lalu, enam dari sepuluh kasus kekerasan terjadi ketika jurnalis merekam aksi brutal aparat terhadap pengunjuk rasa. “Aparat tidak menginginkan jurnalis merekam aksi kebrutalan mereka ke para demonstran,” kata Joni Aswira, perwakilan AJI Indonesia (25/09).
Sepanjang 2016-2018, jumlah kekerasan terhadap jurnalis mencapai 81, 60, dan 64 kasus secara berturut-turut. Angka ini meningkat tajam dari periode 2013-2015 yang jumlahnya 40-42 kasus. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut meliputi kekerasan fisik, pengusiran atau pelarangan liputan, perusakan alat dan atau hasil liputan, pemidanaan, dan lain-lain.
Menurut organisasi pemantau media Reporter Without Borders, kebebasan pers Indonesia menempati peringkat 124 dari 180 negara di dunia pada 2018, kalah jauh dari Timor Leste yang menempati peringkat 93.
Reporter Without Borders mengkaji tiga aspek yang menjadi parameter dalam menilai kondisi kebebasan pers di sebuah negara yaitu iklim hukum, iklim politik, dan iklim ekonomi. Di Indonesia, walaupun perlindungan terhadap pers telah diatur dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, tetapi penegakan hukumnya sendiri masih lemah.
Selain itu, terdapat pula undang-undang lain yang telah digunakan untuk memidanakan jurnalis, yaitu KUHP dan UU ITE (Undang-undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik). Laporan SAFEnet mencatat terdapat upaya pemidanaan 14 jurnalis dan 7 media menggunakan UU ITE dan KUHP sepanjang 2008-2018.
Pasal-pasal yang digunakan antara lain adalah Pasal 27 ayat 3 UU ITE tentang Pencemaran Nama Baik, Pasal 28 ayat 2 tentang Penyebaran Kebencian, Pasal 310-311 KUHP tentang Pencemaran Nama Baik, dan Pasal 156 KUHP tentang SARA.
Dengan RKUHP kembali menghidupkan pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, kebebasan pers pun dikhawatirkan akan semakin terancam. “Kami tidak lihat itikad baik DPR dan Pemerintah untuk mendorong kebebasan pers di Indonesia. Padahal UU itu salah satu indikator mengukur kebebasan pers sebuah negara baik,” kata Sasmito ke Tempo.co pada September lalu.
Keselamatan Jurnalis Tanggung Jawab Perusahaan dan Dewan Pers
“Dewan Pers juga harus bertanggung jawab terkait mangkraknya kasus-kasus kekerasan terhadap wartawan,” kata Gading Yonggar.
Gading mengatakan bahwa perlindungan terhadap kerja-kerja jurnalistik adalah tanggung jawab penegak hukum, Dewan Pers, dan perusahaan media itu sendiri. Selama ini, pemrosesan hukum yang lambat terhadap kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis juga disebabkan oleh rendahnya komitmen perusahaan media untuk membawa permasalahan ke ranah hukum dan kurangnya inisiatif dari Dewan Pers.
“Seringkali, ketika kita sudah melapor ke kepolisian, pihak perusahaan media justru tidak committed untuk lanjut. Sikap seperti ini justru memperkuat impunitas terhadap kasus kekerasan jurnalis. Jadi faktornya tidak hanya dari penegak hukum, tapi juga ada di perusahaan media,” jelas Gading.
Sementara itu, Dewan Pers tidak kunjung mengaktifkan Pedoman Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Wartawan. Dalam pedoman tersebut, Dewan Pers menetapkan tanggung jawab perusahaan pers, organisasi profesi wartawan, dan Dewan Pers dalam menangani kasus kekerasan.
Perusahaan pers wajib melakukan mendampingi wartawan selama proses hukum di kepolisian atau peradilan. Perusahaan pers juga dilarang melakukan perdamaian dengan pelaku kekerasan tanpa persetujuan dari wartawan yang menjadi korban.
Sementara itu, Dewan Pers bertanggung jawab untuk mengoordinasi pelaksanaan pedoman ini, mengingatkan tanggung jawab perusahaan pers dan organisasi profesi wartawan seperti yang telah diatur, ikut mengawal proses hukum dan mengambil langkah-langkah yang dibutuhkan untuk mempercepat prosesnya.
“Seharusnya, tanpa pelaporan dari jurnalis yang bersangkutan, Dewan Pers harus secara proaktif mendatangi perusahaan media, melakukan konsolidasi, dan koordinasi langsung dengan jurnalis. Tapi kalau pedoman itu tidak diaktifkan dan tidak ada inisiatif dari Dewan Pers untuk mengimplementasikannya, ya sama aja kayak macan ompong,” kata Gading.
Dengan aktifnya Pedoman Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Wartawan dan berlakunya UU Pers, perlindungan terhadap kerja-kerja jurnalistik akan jadi lebih kuat. “Tapi hingga detik ini, belum ada tanda-tanda dari Dewan Pers untuk mengaktifkan pedoman ini,” kata Gading. “Padahal, ketika proses pelaporan ke kepolisian didampingi oleh organisasi pers, perusahaan media, dan Dewan Pers seharusnya bargaining kita sebagai korban dan kuasa hukum jadi lebih kuat,” lanjutnya.
Lemahnya perlindungan hukum terhadap jurnalis ini pun yang menjadi motivasi awal dibentuknya Komite Keselamatan Jurnalis pada April lalu. “Kita menyadari bahwa kita nggak bisa advokasi atau kerja sendiri. Karena itu KKJ terdiri dari koalisasi berbagai organ, seperti LBH Pers, AJI, SAFEnet, SINDIKASI, YLBHI, dan lain-lain,” kata Gading yang juga tergabung dalam KKJ.
KKJ melakukan dua tugas utama, yaitu pendampingan jurnalis yang menjadi korban kekerasan ke ranah hukum dan melakukan kampanye ke publik untuk meningkatkan kesadaran akan keselamatan jurnalis dan kasus-kasus kekerasan yang terjadi selama ini.
“Desakan dari masyarakat, korban, perusahaan media, dan Dewan Pers jadi penting. Kita harus berkolaborasi dan saling terintegrasi agar ada desakan yang kuat dan lebih luas lagi,” kata Gading.