Desakan agar Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terhadap revisi UU KPK terus digaungkan. Perppu jadi harapan publik untuk menyelamatkan KPK dari upaya pelemahan. Apa yang akan terjadi jika Perppu tak dikeluarkan?
Sebetulnya, Jokowi memang sedang mempertimbangkan untuk mengeluarkan Perppu UU KPK. Namun, sampai hari ini, belum ada tanda-tanda kalau mantan Gubernur DKI Jakarta itu bakal mengeluarkan Perppu. Situasi pun semakin diperkeruh oleh sikap partai koalisi pendukung Jokowi yang dengan tegas menolak penerbitan Perppu.
Misalnya saja pernyataan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh yang menyebut ada potensi pemakzulan atau impeachment kalau Jokowi “salah langkah.” Padahal, Perppu merupakan kewenangan presiden, dan penerbitan Perppu sama sekali tak bisa dijadikan dasar pemakzulan.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai bahwa masa depan pemberantasan korupsi pun bakal terancam. Apalagi kalau sampai Jokowi akhirnya tak menerbitkan Perppu. Maka kondisi penegakan hukum terhadap koruptor pun akan kendur dan tentu semakin rumit.
Baca Juga: Niat Presiden Terbitkan Perppu Terhambat Partai Koalisi
Pada pada 4-5 Oktober 2019, LSI melakukan survei melalui wawancara telepon terhadap 1010 responden. Dari hasil survei tersebut, setidaknya ada sejumlah kesimpulan, yakni 1) Persepsi masyarakat terhadap revisi UU KPK mayoritas mengatakan akan melemahkan KPK (70,9%); 2) Soal penerbitan Perppu, sebanyak 76,3% menghendaki Presiden segera mengeluarkan kebijakan tersebut agar UU KPK dikembalikan seperti sedia kala.
Memang saat ini sedang ada proses gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai upaya untuk membatalkan UU KPK yang baru disahkan. Namun, Perppu tetap saja mendesak untuk diterbitkan Jokowi. Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menyebut ada beberapa konsekuensi logis jika kebijakan pengeluaran Perppu ini tidak dilaksanakan Presiden Jokowi.
“Pertama itu penindakan kasus korupsi tentu akan melambat. Ini diakibatkan dari pengesahan UU KPK yang baru, yang mana nantinya berbagai tindakan pro justicia akan dihambat karena harus melalui persetujuan dari Dewan Pengawas. Mulai dari penyitaan, penggeledahan, dan penyadapan,” kata Kurnia dalam keterangan resmi kepada Asumsi.co, Rabu (08/10/19).
Konsekuensi lainnya jika Perppu tak terbit: KPK tak lagi menjadi lembaga negara independen. Menurut Kurnia, berdasarkan Pasal 3 UU KPK yang baru menyebutkan bahwa KPK adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
“Ini mengartikan bahwa status kelembagaan KPK tidak lagi bersifat independen. Padahal sedari awal pembentukan KPK diharapkan menjadi bagian dari rumpun kekuasaan keempat, yakni lembaga negara independen dan terbebas dari pengaruh kekuasaan mana pun, baik secara kelembagaan ataupun penegakan hukum,” ujarnya.
Di sisi lain, upaya-upaya pelemahan KPK pun akan terus bertambah. Kurnia menyebut selama ini atau dalam periode pertama pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, berbagai pelemahan terhadap KPK telah terjadi. Mulai dari penyerangan terhadap Novel Baswedan, pemilihan Pimpinan KPK yang sarat persoalan, ditambah lagi dengan pembahasan serta pengesahan UU KPK.
“Tentunya ini akan berimplikasi pada pandangan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan selama ini, bukan tidak mungkin anggapan tidak pro terhadap pemberantasan korupsi akan disematkan pada pasangan Jokowi-JK,” ujarnya.
Korupsi memang jadi momok menakutkan bagi sebuah negara berkembang seperti Indonesia. Di saat negara ingin meningkatkan daya saingnya dalam berbagai sektor seperti ekonomi dan bisnis, di saat itu pula korupsi mengintai dan bakal jadi tantangan serius pemerintah.
Kurnia khawatir kalau perilaku korupsi sudah jadi budaya, sektor-sektor yang sedang diprioritaskan negara tadi akan terganggu. Misalnya saja, jika Perppu urung diterbitkan, iklim investasi pun akan terhambat, apalagi seperti yang diketahui bahwa saat ini pemerintah sangat gencar menawarkan investasi luar negeri agar bisa membantu pembangunan berbagai proyek strategis di Indonesia.
“Tentu hal utama yang menjadi landasan untuk menciptakan iklim investasi yang sehat adalah kepastian hukum. Jika KPK dilemahkan secara sistematis seperti ini, bagaimana mungkin Indonesia bisa memastikan para investor akan tertarik menanamkan modalnya disaat maraknya praktik korupsi,” kata Kurnia.
Tak hanya sektor investasi saja yang bakal terhambat, tapi nantinya akan ada banyak hal yang juga akan ikut terdampak dari perilaku korup tersebut. Belum lagi, indeks persepsi korupsi yang juga dikhawatirkan akan menurun drastis
Menurut Kurnia, saat ini indeks persepsi korupsi Indonesia berada pada peringkat 89 dari total 180 negara dengan skor 38. Setelah dua tahun sebelumnya IPK Indonesia stagnan di angka 37. Salah satu penilaian dalam menentukan IPK adalah sektor penegakan hukum.
Sederhananya, lanjut Kurnia, bagaimana mungkin IPK Indonesia akan meningkat jika sektor penegakan hukum, khususnya tindak pidana korupsi, yang selama ini ditangani oleh KPK justru bermasalah dikarenakan UU nya telah dilakukan perubahan
Di sisi lain, tak terbitnya Perppu juga akan menghambat pencapaian program pemerintah. Pada titik ini jelas bahwa kejahatan korupsi memang menyasar berbagai sektor strategis di Indonesia. Mulai dari pangan, infrastruktur, energi dan sumber daya alam, pendidikan, pajak, kesehatan, dan berbagai sektor lainnya.
Dengan kondisi seperti ini, Kurnia menilai pemerintah seharusnya memikirkan tentang penguatan KPK, agar setiap penyelenggaraan program tersebut dapat diikuti dengan penindakan jika ada pihak-pihak yang ingin menyelewengkan dana yang pada akhirnya akan berakibat menghambat berbagai capaian penting. Namun, kondisi saat ini justru bertolak belakang, KPK secara institusi dan kewenangan terlihat sedang dilemahkan oleh DPR dan pemerintah.
Belum lagi, Jokowi akan dianggap mengabaikan amanat reformasi jika nanti tak mengeluarkan Perppu. Pasalnya, salah satu amanat reformasi pada tahun 1998 lalu adalah pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hal ini termaktub dalam TAP MPR Nomor XI/MPR/1998, yang mana dalam Pasal 3 ayat (3) aturan a quo tegas menyebutkan bahwa upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dilakukan secara tegas dengan melaksanakan konsisten undang-undang tindak pidana korupsi.
“Menjadi mustahil mewujudkan hal tersebut jika kondisi saat ini menggambarkan adanya grand design dari DPR dan pemerintah untuk memperlemah lembaga anti korupsi Indonesia melalui revisi UU KPK.”
Kata Kurnia, masyarakat masih ingat betul saat masa kampanye tahun 2014 lalu, Jokowi sempat mengeluarkan “Nawa Cita” yang berisi sembilan agenda prioritas jika nantinya terpilih menjadi Presiden selama lima tahun ke depan.
“Misalnya saja, pada poin ke-4, tegas disebutkan bahwa Joko Widodo-Jusuf Kalla menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya. Publik dengan mudah menganggap bahwa Nawa Cita ini hanya ilusi belaka saja jika Presiden tidak segera bertindak untuk menyelamatkan KPK.”
Mirisnya, nanti masyarakat pun akan hilang kepercayaan dengan sikap Jokowi tersebut. Bayangkan saja, Jokowi sudah dua kali menang dalam kontestasi pemilihan presiden, dengan catatan pada Pemilu 2014 lalu, Jokowi-JK berhasil mengantongi 70 juta suara. Lalu, pada Pemilu 2019, Jokowi yang berpasangan dengan Ma’ruf Amin berhasil mengantongi total 85 juta suara dan bakal memimpin Indonesia selama lima tahun ke depan sampai tahun 2024. Para konstituennya tentu tidak berharap adanya kemunduran dalam upaya pemberantasan korupsi.
“Wajar jika para pemilih Joko Widodo mendasarkan pilihannya atas janji politik yang telah disampaikan dan berharap akan realisasi yang jelas. Namun, kondisi saat ini justru terbalik, narasi penguatan yang selama ini didengungkan oleh Presiden seakan luput dari kebijakan pemerintah.”
Sebagai tambahan, citra Indonesia pelan-pelan akan bertambah buruk di pentas internasional. Kurnia membeberkan bahwa United Convention Against Corruption (UNCAC) telah mengeluarkan sikap terkait dengan pelemahan KPK.
Kurnia menyebut, lembaga itu menilai bahwa revisi UU KPK akan mengancam prinsip independensi KPK dan bertolak belakang dengan mandat dalam Pasal 6 jo Pasal 36 UNCAC, yang menyebutkan bahwa mengharuskan setiap negara untuk memastikan keberadaan badan anti korupsi yang khusus dalam mencegah dan memberantas korupsi melalui penegakan hukum yang harus diberikan independensi yang diperlukan serta mampu menjalankan fungsinya secara efektif dan tanpa pengaruh dari hal-hal yang tidak semestinya.
“Pernyataan itu dilansir pada tanggal 27 September lalu, setidaknya lebih dari 90 organisasi dunia menyoroti persoalan pelemahan KPK ini. Tentu ini akan berdampak buruk bagi citra pemerintah yang selama ini selalu menggaungkan tata kelola pemerintah yang bersih dari korupsi,” ucap Kurnia.
Padahal, sebelum itu, Kurnia menyebut KPK dikenal memiliki reputasi baik di tingkat internasional. Misalkan saja, pada tahun 2013 lalu KPK mendapatkan penghargaan Ramon Magsaysay Award oleh pemerintah Filipina. Lembaga anti rasuah ini dinilai sebagai lembaga independen dan berhasil dalam melakukan upaya pencegahan dan penindakan kejahatan korupsi.
“Atas dasar itu kebijakan pemerintah yang membiarkan pelemahan terhadap KPK dapat dipastikan akan mendapat kecaman dari negara lain yang juga mempunyai konsentrasi sama pada isu anti korupsi.”