Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah satu-satunya partai pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dalam Pemilu 2019 yang secara tegas menyatakan bakal jadi oposisi. Bahkan, PKS mengaku tak bermasalah jika harus jadi oposisi sendirian. Berada di luar pemerintahan ialah cara menjalankan checks and balances. Dengan menjadi oposisi, PKS hendak mengawasi jalannya pemerintahan dan mengkritik kebijakan-kebijakan yang menyimpang dari kepentingan rakyat.
Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera mengatakan sebagian besar elite PKS berpendirian sama meski partai belum secara resmi menyatakan sikap. Kali ini mereka akan kembali berada di luar pemerintahan. “Bagi PKS, yang lebih utama adalah kejelasan sikap partai memilih posisi di mana,” kata Mardani dalam diskusi bertajuk “Polemik: Utak Atik Manuver Elite” di Jalan Wahid Hasyim, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (27/07/19) seperti dilansir Antara.
Mardani dan PKS pun tak segan jika nanti akan terus mengkritik kebijakan Jokowi-Ma’ruf selaku presiden dan wakil presiden terpilih periode 2019-2024. Apalagi, masyarakat sangat berharap Jokowi bisa membentuk pemerintahan yang kuat dengan bantuan menteri-menteri yang kompeten, sehingga kontrol terhadap pemerintahan harus terus dilakukan. “Kalau menteri sontoloyo, apalagi ‘genderuwo’ akan berat, kami akan ‘santap,’” kata Mardani
Sebelumnya, Presiden Jokowi sempat mengungkapkan kriteria menteri ideal untuk kabinet periode keduanya. “Eksekutor kuat, tahu manajemen–artinya manajerialnya baik–memiliki keberanian, integritas, dan lain-lain,” kata Jokowi usai membubarkan Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf di Jakarta, Jumat (26/07).
Mardani mengungkapkan bahwa Indonesia akan menghadapi badai-badai yang lebih besar dalam beberapa tahun mendatang. Misalnya saja tekanan perekonomian, perlambatan pertumbuhan ekonomi, penurunan setoran pajak, pembengkakan utang negara. Ada pula tantangan-tantangan penegakan hukum, HAM, dan demokrasi, yang jauh dari memadai pada periode pertama. Jadi, menurutnya, kabinet terbaik sekalipun memerlukan pengawasan oposisi.
Mardani yang juga merupakan anggota Komisi II DPR RI itu pun mendorong agar Jokowi tak terlalu terpaku pada partai politik pengusungnya. Ia menyebut pada periode keduanya Jokowi seharusnya sudah tidak memiliki beban dari partai politik pengusung.
“So, nothing to lose.Jadilah negarawan, jangan sibuk mikirin parpol. Pilih zaken kabinet, pilih anak muda, pilih perempuan, difabel, yang bagus-bagus begitu saja. Partai sedikit, yang bagus-bagus saja,” ucapnya.
Sekadar informasi, dalam sejarahnya, elektabilitas PKS memang cenderung meningkat saat mereka menjadi oposisi ketimbang bergabung dalam pemerintahan. Pada Pemilu 2009, PKS mendapat perolehan suara sebanyak 8.206.955 suara atau 7,88%. Saat itu, PKS mendukung pasangan capres-cawapres terpilih Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono.
Kemudian, pada Pemilu 2014, perolehan suara PKS turun menjadi 8.480.204 atau 6,79%. Namun, PKS akhirnya memilih sikap berbeda sebagai partai oposisi selama pemerintahan Presiden Joko Widodo. Efeknya positif, suara PKS meningkat tajam pada Pileg 2019, yakni dengan perolehan 11.493.663 suara atau 8,21%.