Taman Ismail Marzuki (TIM) di Cikini, Jakarta Pusat, mulai direvitalisasi pada Rabu (03/07). Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meresmikannya dengan peletakan batu pertama. “Ditargetkan bisa selesai Juni 2021. Jadi, saat merayakan ulang tahun Jakarta ke-495, kita punya wajah baru Jakarta dalam bentuk TIM yang baru,” kata Anies saat memberikan sambutan di TIM, Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (03/07).
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggelontorkan dana APBD sebesar Rp1,8 triliun untuk proyek ini.
TIM yang baru direncanakan berbeda dari TIM yang digagas Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin dulu. Anies menyebut TIM baru diharapkan bisa menjadi pusat seni yang tak hanya dikenal di Indonesia, namun hingga ke Asia, bahkan ke seluruh dunia. “Tempat ini bagi budayawan nasional dan internasional untuk bisa mengekspresikan karyanya,” ujarnya.
Proyek revitalisasi TIM terbagi dalam dua tahap. Direktur Utama PT Jakarta Propertindo, Dwi Daryoto, selaku BUMD yang dipercaya untuk menjalankan proyek revitalisasi, mengatakan tahap pertama yang akan dilakukan adalah pengerjaan struktur untuk bagian kiri TIM. “Juga hotel, pusat sajian masakan dan galeri seni, plus ruang publik yang hijau dan terbuka,” katanya. Akan ada pula penambahan area parkir terbatas untuk kendaraan roda empat.
Dalam kesehariannya, TIM memang sering dimanfaatkan sebagai pusat kegiatan. Mahasiswa, akademisi, komunitas, pegiat sosial, hukum, politik, sastrawan, dan lain-lain kerap menggunakan TIM sebagai tempat berhimpun, berdiskusi, hingga pentas seni.
TIM diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada 10 November 1968. Kompleks itu menggunakan nama Ismail Marzuki (1914-1957), seorang komponis pejuang kelahiran Betawi (Jakarta) yang telah menciptakan lebih dari 200 lagu, termasuk lagu-lagu perjuangan seperti “Halo-Halo Bandung” dan “Berkibarlah Benderaku.”
Ali membangun TIM untuk menyatukan para seniman Jakarta dalam satu wadah. Dulu para seniman di Jakarta masih terpecah-belah oleh kekuatan politik, sehingga menurutnya sangat penting untuk disatukan kembali.
TIM berdiri di atas tanah seluas sembilan hektar. Dulunya, lokasi tempat berdirinya TIM saat ini, dikenal sebagai ruang rekreasi umum Taman Raden Saleh (TRS). Pada masa itu, area TRS masih rimbun dengan pepohonan, sehingga para pengunjung bisa menikmati kesejukan kota.
Tak hanya itu, aktivitas lain pun berlangsung di tengah-tengah kondisi kota yang rindang itu, seperti menyaksikan balap anjing di track yang kini berubah menjadi kantor dan ruang kuliah mahasiswa fakultas perfilman dan televisi Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
Ada pula lapangan bermain sepatu roda berlantai semen. Sementara fasilitas lainnya seperti dua gedung bioskop, masih ada sampai hari ini. Ada pula Garden Hall dan Podium untuk melengkapi suasana hiburan malam bagi warga yang suka nonton film. Hal-hal itu tak lagi bisa ditemukan setelah Ali menyulap tempat ini menjadi Pusat Kesenian Jakarta TIM.
Acara-acara seni dan budaya dipertunjukkan secara rutin di pusat kesenian ini, termasuk pementasan drama, tari, wayang, musik, pembacaan puisi, pameran lukisan dan pertunjukan film. Berbagai jenis kesenian tradisional dan kontemporer, baik dari Indonesia maupun dari luar negeri juga dapat ditemukan di tempat ini.
Panggung TIM begitu semarak. Pernah ada Rendra dan Bengkel Teater, koregrafer kondang Sardono W. Kusumo, dan pebalet Farida Oetojo.
Slamet Abdul Sjukur, yang lama bermukim di Prancis, pernah meramaikan TIM dengan konser piano Sumbat yang membuat penonton terpana. Sutradara teater Arifin C. Noer, Teguh Karya, Suyatna Anirun, menghibur publik dengan kisah-kisah mereka. Ada pula koreografer Bagong Kusudiardjo, Huriah Adam, pelukis Affandi, Trisno Soemardjo, Hendra Gunawan, dan lain-lain.